Tribuana (Bagian 12)
Siapa yang tidak merasa gelisah jika hati sedang dirundung rindu? ketika hati sedang dinaungi cinta? namun ketika itu juga ada luka perih yang menggores asmara yang sudah terlanjur membekas. Resah meracuni hati. Semakin mencoba untuk dilupakan, justru semakin terasa berat... Kian tenggelam, kian hanyut dan tidak menepi.... terasa bimbang.
Itulah yang sedang dirasakan oleh Hyang Jagatnata. Tidak mudah berpaling dari hati yang telah terpikat.
ah' Lokawati...
Hyang Jagatnata masih menaruh rasa penasaran kepada dewi Lokawati, maka secara diam-diam ia pergi meninggalkan Suralaya tanpa mengendarai lembu Andini. Ia terbang melintasi jagat pramudita menuju Medang Kemulan.
Angin bertiup sepoi. Udara sejuk perbukitan mengantarkan suasana nyaman dan damai. Burung-burung bersiul bersahutan menyambut sinar mentari pagi yang mulai mengintip dari celah2 awan dan halimun untuk berbagi kehangatan kepada semesta, kepada titik-titik embun yang menjatuhi dedaunan.
Sanghyang Jagatnata berdiri menatap hamparan sawah yang telah menguning. Buah-buah padi yang telah berisi merunduk seakan malu dipandang olehnya.
Hasratnya kian bergelora. Bergemuruh seperti ombak di lautan. Lalu, Sanghyang Jagatnata melakukan sedakep sinuwun tunggal, menyatukan rasa, menjapakan mantra... mencala putra-mencala putri.
Seiring hembusan angin, tubuh Sanghyang Jagatnata sirna berubah wujud menjadi seekor burung pipit. Burung itu terbang melintasi dataran pesawahan untuk mencari dan mencari, hingga akhirnya berlabuh pada salah satu tangkai padi dan memagutnya.
Burung pipit jelmaan Hyang Jagtnata itu bertengger di salah satu tangkai padi, jari-jari kecilnya mencengkeram erat, dan paruhnya memagut-magut buah-buah padi yang merunduk-runduk saat paruh kecil sang pipit menyentuhnya. Namun, belum begitu lama burung pipit mencumbui tangkai padi, tiba-tiba angin yang tadinya berhembus sepoi-sepoi berubah sedikit kencang, terus dan terus semakin kencang... Tanaman padi mulai bergoyang-goyang tertiup angin, sang pipit pun jadi merasa kesulitan untuk hinggap. Merasa terganggu dan seperti sedang dipermainkan, burung pipit segera mengepakan kedua sayapnya dengan sangat cepat hingga mengeluarkan tiupan angin yang tidak kalah kencang. Dua tiupan angin beradu. Saat itu juga secara bersamaan dua sosok tubuh tampak berdiri berhadapan. Burung pipit telah kembali berubah kewujud asalnya menjadi Sanghyang Jagatnata, sedangkan hembusan angin berubah wujud menjadi dewi Uma.
Hyang Otipati terkejut ketika tahu bahwa hembusan angin yang mengganggunya itu berasal dari dewi Uma, istrinya. Tatapan dewi Uma menunjukan kekecewaan kepada Sanghyang Jagatnata. Betapa tidak, seorang Raja Tribuana meninggalkan kahyangannya hanya untuk untuk menemui setangkai padi Lokawati. Sudah menjadi padi masih saja ingin dinikmati. Itu yang terucap oleh Dewi Uma.
Sanghyang Jagatnata sangat maklum dengan sindiran dewi Uma yang sedang terbakar cemburu. Bagaimana pun dewi Uma adalah permaisurinya, walau wujudnya telah menjadi seorang raksesi, ia tetap seorang Kameswari, seorang batari di kahyangan Suralaya.
Telah lama dewi Uma menutup diri tidak pernah nampak dipaseban agung. Tidak pernah lagi duduk di dampar kencana Mercupunda, karena ia merasa malu dengan keadaan dirinya yang sudah tidak cantik seperti dulu.
Dewi Uma menuntut dirinya ingin cantik seperti semula, ingin bersanding lagi dengan Hyang Jagatnata di dampar kencana. Adakah
Dia ingin kembali seperti dulu, duduk di dampar kencana mendampingi Hyang Jagatnata. Adakah hal itu terpikir oleh Hyang Jagatnata? begitu yang diucapkan dewi Uma.
Dewi Uma meminta Hyang Jagatnata menemui seorang wanita yang tengah bertapa di sebuah hutan belantara yang angker, alas Kendrayana.
Sanghyang Jagatnata tidak merasa keberatan, ia memenuhi keinginan istrinya, maka keduanya lalu pergi meninggalkan Medang Kemulan menuju alas Kendrayana.
Setelah sampai di alas Kendrayana, mereka langusung pertapaan yang dimaksud. Sanghyang Jagtanata terkesiap melihat wajah wanita yang sedang bertapa itu. Wajah itu persis sama dengan wajah dewi Uma disaat masih muda dulu. Sanghyang Jagatnata lalu menggugah tapa brata wanita tersebut. Jagatnata menanyakan apa yang diinginkannya sehingga melakukan tapa brata di alas angker Kendrayana. Wanita yang mengaku bernama Permoni itu menyatakan maksud dan keinginannya. Ia berkeinginan menjadi seorang betari dan ingin sekali menikah dengan seorang dewa. Sebab, tidak ada seorang kesatria atau raja yang mampu menandingi kesaktiannya yang setingkat dengan para dewa.
Sanghyang Jagatnata memenuhi keinginan Permoni, namun dengan satu syarat bahwa Permoni harus mau bertukar raga dengan dewi Uma. Setelah berpikir sejenak, Permoni akhirnya menyetujui. Dengan kesaktiannya, Jagatnata membimbing keduanya. Seketika berpindahlah raga Permoni yang canti jelita ke dewi Uma, dan raga dewi Uma yang berbentuk raseksi berpindah ke Permoni.
Dewi Uma sangat gembira saat dirinya berubah menjadi cantik kembali, sedangkan Permoni sempat merasa cemburu
melihat raga jelitanya berdampingan dengan Sanghyang Jagatnata. Ya, kini Permoni berubah menjadi seorang raseksi (raksasa perempuan).
Sanghyang Jagatnata berjanji akan menjodohkan Permoni dengan salah satu putranya. Dan selanjutnya Hyang Jagatnata mencipta sebuah istana di tengah hutan Kendrayana yang diperuntukan kepada Permoni. Istana itu dinamakan Setra Gandamayit, dan sesuai dengan janji Hyang Jagatnata, Permoni diangkat sebagai seorang batari di Setra Gandamayit, dengan nama Betari Durga.
Kelak Sanghyang Jagatnata menjodohkan Permoni dengan Batara Kala. Mereka berdua akan menjadi penghuni istana Gandamayit dengan menurunkan beberapa orang anak, yaitu Batara Siwahjaya, Batari Khalayuwati, Batara Kalayuana, Batara Kalagutama, Batara Kartineya, dan Dewasrani.
Posting Komentar untuk "Tribuana (Bagian 12)"