Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tribuana (Bagian 7, Dewi Uma)

Cahaya sang surya memancar keemasan diufuk timur, sinarnya menghangatkan titik-titik embun yang membasahi dedaunan. Kicau burung besahutan menyapa pagi dengan segala kebahagiaan yang alami. Marcapada kembali terisi dengan suasana kedamaian.
Pagi itu puncak Tengguru dikejutkan oleh penampakan sosok ‘akyan’ (wujud halus) seorang bocah bayi yang terbang melayang melintasi hutan-hutan pegunungan dan bermain-main di depan gerbang gaib Selamatangkep. Cingkarabala dan Balaupata, dua raksasa penjaga gerbang yang merasa heran dengan sosok bayi ajaib tersebut mencoba menangkapnya namun tidak berhasil. Sosok bayi itu wujudnya halus bercahaya, ia tidak dapat disentuh, dipegang dan dirsakan. Lebih mengherankan lagi bagi Cingkarabala dan Balaupata ketika sosok bayi ajaib itu sanggup menembus Selamatangkep dengan sangat mudah. Cingkarabala dan Balaupata terus mengejar dan memasuki wilayah kahyangan Suralaya. Sosok bayi itu seperti menggoda para pengejarnya, terkadang ia hinggap diantara dahan-dahan pohon kahyangan yang indah sehingga menyempurnakan ke-elokan taman kahyangan. Tingkah pola Cingkarabala dan Balaupata yang berkejar-kejaran seperti anak kecil yang sedang menangkap seekor capung itu sempat terlihat oleh Hyang Ismaya, Antaga dan Narada. Ketiganya lalu mendatangi Cingkarabala dan Balaupata, saat mereka mendekati dua raksasa penjaga gerbang Selamatangkep barulah mereka memahami apa yang sedang dilakukan dua raksasa itu. Baik Hyang Ismaya, Hyang Antaga dan Batara Narada sama-sama takjub melihat sosok bayi indah yang berwujud halus, bayi itu sekonyong-konyong mendekati mereka bertiga, Ismaya mencoba menangkap tapi yang tertangkap hanya ruang kosong, begitu juga dengan Hyang Antaga dan Batara Narada. Petruk dan Gareng pun ikut mencoba menangkap tapi sia-sia. Sosok bayi halus itu masih terus mempermainkan mereka, selanjutnya lama kelamaan terbang menjauh dan hilang dari pandangan mata mereka.
Belum selesai diantara mereka membicarakan kejadian aneh yang baru saja terjadi, tiba-tiba datang dua orang manusia pria dan wanita. Yang pria berbusana mewah memperkenalkan diri sebagai Prabu Umaran, bangsawan dari negeri Merut dan yang wanita adalah istrinya bernama Dewi Nurweni. Bangsawan dari negeri Merut itu menjelaskan bahwa mereka tengah mengejar sosok bayi dengan wujud halus yang terbang melayang-layang hingga membawa mereka ke puncak Tengguru. Mereka mengakui bahwa bayi itu adalah putri mereka yang semenjak lahir wujudnya sudah berupa ‘akyan’ (jasad halus) dan lalu terbang meninggalkan kediaman mereka. Hyang Ismaya dan Antaga menyarankan kepada Batara Narada untuk melaporkan peristiwa itu kepada Hyang Manikmaya, dan agar Prabu Umaran juga Dewi Nurweni dipertemukan dengan Hyang Manikmaya. Mereka lalu menghadap Sang Hyang Manikmaya di istana Jonggring Salaka. Prabu Umaran memohon pertolongan Hyang Manikmaya untuk menangkap bayi anaknya. Sang Hyang Manikmaya menyanggupinya, ia mencoba akan membantu menangkap bayi itu dan akan menyerahkannya kepada Prabu Umaran dan Dewi Nuweni.
Dengan mengendarai lembu Andini, Hyang Manikmaya terbang meninggalkan kahyangan Suralaya. Mereka melintasi daratan dan lautan mencari sosok bayi putri Prabu Umaran. Menjelang malam hari, di angkasa raya Hyang Manikmaya melihat titik cahaya yang sedang melayang-layang, cahayanya bagaikan bintang timur yang bersinar di musim panas, elok dan indah dipandangan mata. Hyang Manikmaya menyuruh lembu Andini untuk mendekatinya, dan ketika terlihat lebih dekat tampaklah kalau cahaya yang berkedip bersinar itu adalah sosok bayi yang sedang terbang melayang-layang. Hyang Manikmaya tidak salah menduga bahwa bayi itu tidak lain adalah bayi yang dimaksudkan oleh Prabu Umaran. Bayi itu mendekati Hyang Manikmaya, putra Hyang Tunggal pun mencoba menangkapnya tapi tidak berhasil. Hyang Manikmaya merasa heran bercampur takjub beberapa kali dia mencoba menangkap tapi tidak berhasil, dan ketika sosok bayi itu mencoba menjauh Hyang Manikmaya mengejarnya. Dua sosok melayang-layang diangkasa diantara gelap dan terangnya gugusan sinar bintang dan rembulan. Tertangkap dalam pelukan tetapi hilang, teraih dalam genggaman tetapi kosong. Sang Hyang Manikmaya lalu bersemedi memohon petunjuk kepada ayahandanya untuk dapat menangkap bayi tersebut. Sang Hyang Tunggal memberi petunjuk bahwa untuk menangkap bayi itu harus dipegang pergelangan tangan dan kakinya secara bersamaan, dan untuk melakukan itu Hyang Manikmaya harus merelakan tangannya bertambah dua, sehingga tangan Manikmaya nantinya akan menjadi empat. Dan dengan demikian kutukan terdahulu akan dijalani oleh Manikmaya sebagai seorang Shiwa.
Setelah berubah tangannya menjadi empat, Hyang Manikmaya kembali mengejar sosok bayi ajib anak dari Prabu Umaran. Kini dengan keempat tangannya Hyang Manikmaya dapat menangkap pergelangan tangan dan kaki bayi itu secara bersamaan, dan tatkala masing-masing pergelangan tangan dan kaki bayi terpegang oleh Manikmaya, seketika itu juga sosok ‘akyan’ (wujud halus) bayi hilang dan berubah menjadi wujud jasad wadag seorang gadis jelita berparas cantik rupawan. Kaget bukan kepalang tetapi juga terpesona melihat kecantikannya. Selanjutnya, gadis itu dibawa oleh Hyang Manikmaya ke negeri Merut untuk diserahkan kepada Prabu Umaran dan Dewi Nurweni. Oleh mereka gadis itu diberi nama Uma. Dihadapan Prabu Umaran dan Dewi Nurweni, Hyang Manikmaya menyampaikan isi hatinya yang telah terpikat oleh Uma. Prabu Umaran dan Dewi Nurweni merestui, maka Dewi Uma pun dinikahkan dengan Hyang Manikmaya dan diboyong ke kahyangan Suralaya.

1 komentar untuk "Tribuana (Bagian 7, Dewi Uma)"

Chareesma 9 Januari 2015 pukul 12.49 Hapus Komentar
Cerita yang menarik
Tetap semangat berkarya Pak