Kisah Arjunasasrabahu
Terlahir dengan nama Arjunawijaya, putra tunggal Prabu Kartawijaya
ini, setelah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja negara Maespati
dikenal dengan Prabu Harjunasasrabahu. Gelar ini diberikan karena
ketika ia bertiwikrama, wujudnya berubah menjadi brahala sewu – raksasa
sebesar bukit, berkepala, seratus, bertangan seribu yang keseluruh
tangannya memegang berbagai macam senjata sakti.
Tiwikrama menjadi brahala-sewu dilakukan oleh Prabu Arjuna Wijaya tatkala berperang melawan Bambang Sumantri, duta kepercayaannya dalam meminang putri Magada. Dewi Citrawati. Bambang Sumantri yang dengan kesaktiannya telah berhasil mengalahkan lebih dan seribu raja dari berbagai negara yang ingin memperebutkan Dewi Citrawati, hanya bersedia menyerahkan Dewi Citrawati apabila Prabu Arjuna Wijaya berhasil mengalahkan dirinya. Ini sesuai dengan tekad Bambang Sumantri sejak meninggalkan pertapaan Ardisekar, di mana ia hanya akan mengabdi pada raja yang akan mengalahkan kesaktiannya. Arjuna Wijaya adalah satria titisan Bhatara Wisnu. merupakan raja besar yang disembah oleh sesama raja. Ia sakti mandraguna dan pilih tanding. Meskipun demikian, ia termasuk raja yang cinta damai, selalu berusaha menyelesaikan setiap persengketaan dengan musyawarah. Karena itulah wibawanya memancar keseluruh negeri dan negara-negara taklukannya. Selain gagah perkasa, Prabu Arjuna Wijaya merupakan satria yang sangat tampan. Sepintas lalu, wajahnya mirip Bhatara Kamajaya . Cahaya yang keluar dart mukanya mengalahkan cahaya bintang, bahkan kadang-kadang seperti cahaya matahari di pagi atau senja hari. Merah merona penuh pencaran keemasan.
Tiwikrama menjadi brahala-sewu dilakukan oleh Prabu Arjuna Wijaya tatkala berperang melawan Bambang Sumantri, duta kepercayaannya dalam meminang putri Magada. Dewi Citrawati. Bambang Sumantri yang dengan kesaktiannya telah berhasil mengalahkan lebih dan seribu raja dari berbagai negara yang ingin memperebutkan Dewi Citrawati, hanya bersedia menyerahkan Dewi Citrawati apabila Prabu Arjuna Wijaya berhasil mengalahkan dirinya. Ini sesuai dengan tekad Bambang Sumantri sejak meninggalkan pertapaan Ardisekar, di mana ia hanya akan mengabdi pada raja yang akan mengalahkan kesaktiannya. Arjuna Wijaya adalah satria titisan Bhatara Wisnu. merupakan raja besar yang disembah oleh sesama raja. Ia sakti mandraguna dan pilih tanding. Meskipun demikian, ia termasuk raja yang cinta damai, selalu berusaha menyelesaikan setiap persengketaan dengan musyawarah. Karena itulah wibawanya memancar keseluruh negeri dan negara-negara taklukannya. Selain gagah perkasa, Prabu Arjuna Wijaya merupakan satria yang sangat tampan. Sepintas lalu, wajahnya mirip Bhatara Kamajaya . Cahaya yang keluar dart mukanya mengalahkan cahaya bintang, bahkan kadang-kadang seperti cahaya matahari di pagi atau senja hari. Merah merona penuh pencaran keemasan.
Ketika ia mendapat wangsit dari Bhatara Narada, kalau Dewi Citrawati,
putri negeri Magada yang kini dalam pinangan raja raja lebih dari
seribu negara merupakan titisan Bhatari Sri Widowati, hatinya menjadi
gelisah. Mungkinkah, untuk mendapatkan Dewi Citrawati dan menyelamatkan
negara Magada, ia harus berperang dan menumpas sekian banyak raja serta
membunuh ribuan prajurit tak berdosa ?.
Seorang diri ia mampu melakukan hal itu. Tetapi tindakan itu
bertentangan dengan hati nuraninya yang cinta damai Sementara menempuh
perdamaian di negara Magada suatu hal yang sulit dilaksanakan, karena
lebih dari seribu raja dari berbagai negara juga sangat menginginkan
Dewi Citrawati sebagai istrinya.
Dari sekian banyak raja yang menginginkan Dewi Citrawati, Prabu
Darmawisesa dari negeri Widarba, merupakan raja yang sangat berpengaruh
dan ditakuti. Kini bersama lebih dari tujuh puluh lima raja sekutunya
lengkap dengan ribuan prajuritnya, telah mengepung negara Magada dari
berbagai penjuru. Tujuannya jelas. Bila lamarannya terhadap Dewi
Citrawati ditolak, Prabu Darmawisesa akan merebutnya dengan kekerasan.
Tatkala Prabu Arjuna Wijaya dalam kebimbangan untuk menentukan sikap,
datanglah Bambang Sumantri menghadap untuk mengabdikan diri di negara
Maespati. Melihat kesungguhan hati dan kemantapan tekad Sumantri. Prabu
Arjuna Wijaya menerima pengabdian Sumantri dengan satu persyaratan,
Sumantri harus berhasil menjadi utusan pribadinya dan duta resmi Negara
Maespati melamar dan memboyong Dewi Citrawati ke negara Maespati.
Persyaratan tersebut diterima oleh Bambang Sumantri. Dengan
kesaktiannya. Sumantri akhirnya dapat menaklukan Prabu Darmawisesa dan
sekalian para raja lainnya. memenuhi persyaratan pernikahan Dewi
Citrawati berupa Putri Domas (800 orang), dan memboyong Dewi Citrawati
dan Magada ke Maespati.
Namun sebelum memasuki kota negara Maespati, Bambang Sumantri
mengajukan persyaratan kepada Prabu Arjuna Wijaya agar menjemput sendiri
Dewi Citrawati di perbatasan kota dengan cara seorang satria, berhasil
mengalahkan Sumantri dalam satu peperangan.
“Mohon Sri Paduka jangan salah mengerti akan sikap hamba, menduga
yang tidak-tidak, terutama mengenai diri dan itikad hamba. Sedikitpun
tak terbersit di hati hamba suatu niat atau keinginan untuk memperistri
Tuan Puteri Dewi Citrawati, karena hamba sudah berprasetya sejak dulu
untuk hidup sebagai satria pinandhita tidak akan menikah seumur
hidupnya. Karena itulah hamba tidak rela menyerahkan putri ulama seperti Dewi Citrawati
secara begitu saja kepada Paduka, layaknya seorang raja taklukkan
menyerahkan seorang putri sebagai upeti. hamba ingin Dewi Citrawati
direbut dengan peperangan dasyat seorang raja. Hamba berharap peperangan
ini akan meningkatkan pamor dan kewibawaan Paduka, bukan saja kepada
Dewi Citrawati dan sekalian para putri yang berjumlah 800 orang, tetapi
juga terhadap para raja dari lebih seribu negara yang kini berada di
luar kota Maespati. Merekalah yang akan menjadi saksi sejarah
keperkasaan dan kebesaran Paduka. Karena itulah hamba berharap perang
tanding diantara kita harus berlangsung dahsyat dan hebat.”
Demikian isi surat Sumantri kepada Prabu Arjuna Wijaya, yang
ditanggapi Prabu Arjuna Wijaya dengan kelapangan dada. Apa yang
diinginkan Sumantri menjadi kenyataan. Perang maha dahsyat dan
mengerikan terjadi antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Sumantri di
lapangan maha luas yang terbentang diantara pegunungan Salva dan Malawa,
di luar kota negara Maespati. Para brahmana dan pujangga melukiskan,
peperangan antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri merupakan
perang maha dahsyat dan maha mengerikan selama alam raya gumelar.
Suasana perang ini lebih hebat dan lebih dahsyat daripada perangnya
Kumbakarna melawan Prabu Sugriwa yang dibantu Hanoman dan jutaan laskar
kera, atau perangnya Prabu Rama Wijaya melawan Prabu Rahwana dalam
perang Alengka.Perang itu juga lebih dahsyat dan lebih mencekam dari
pada perang tanding antara Arjuna melawan Adipati Karna atau perangnya
Resi Bhisma melawan Resi Seta, atau perangnya Bima melawan Prabu
Duryudana dalarn perang Bharatayudha, bahkan lebih dahsyat dari
keseluruhan perang Bharatayudha itu sendiri.
Perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri
juga terasa agung dan indah. Mereka tampil dengan pakaian kebesaran
seorang senapati prajurit yang serba sama baik warna maupun bentuknya.
Mereka juga menyandang gendewa perang lengkap dengan anak-anak panah
saktinya. Bentuknya sama satu dengan lainnya, hanya warna tali selempang
gandewa yang berbeda. Selempang gandewa Prabu Arjuna Wijaya berwarna
merah, sedangkan selempang gandewa Bambang Sumantri berwarna kuning
gading.
Mereka juga sama-sama menaiki kereta perang kadewatan yang
masing-masing ditarik oleh empat ekor kuda. Prabu Arjuna Wijaya menaiki
kereta perang milik Dewa Wisnu yang sengaja didatangkan dari Kahyangan
Untarasegara, ditarik empat ekor kuda berbulu hitam dan putih. Sedangkan
Bambang Sumantri menaiki kereta perang milik Prabu Citragada, yang
ditarik empat ekor kuda berbulu merah dengan belang putih pada keempat
kakinya. Kereta ini dahulu merupakan kereta perang kadewatan milik
Bhatara Indra yang diberikan kepada Prabu Citradarma, raja negara
Magada.
Tak ayal lagi, kedua kereta perang itu memiliki bentuk, kemewahan dan
keagungan yang hampir sama. Perbedaannya hanya terletak pada pariji
perang yang tertancap berkibar di bagian buritan kereta. Panji perang
Prabu Arjuna Wijaya berwarna kuning emas dengan lambang burung garuda
yang siap menerkam lawan, sedangkan panji perang Bambang Sumantri
berwarna putih
dengan lambang ular naga tegak berdiri dengan mulut terbuka dan lidah
bercabang menjulur ke luar siap mematuk lawan. Keagungan semakin nampak
manakala kedua kereta perang mereka telah saling berhadapan. Mereka tak
ubahnya Bhatara Asmara dan Bhatara Candra yang sedang saling berhadapan.
Kebesaran dan kedahsyatan perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya
melawan Bambang Sumantri, selain karena arena peperangan yang demikian
luas, jumlah serta mereka yang menyaksikan, juga kehebatan pameran
kesaktian dan tata gelar perang yang mereka peragakan. Perang tanding
itu berlangsung di sebuah padang tandus yang sangat luas, yang
membentang antara pegunungan Salva dan Malawa. Disaksikan oleh Dewi
Citrawati, wanita titis Bhatari Sri Widowati beserta 800 wanita
pengiringnya (putri domas), ribuan dayang, lebih dari seribu raja dan
permaisurinya, lengkap dengan para patihnya dan hulubalang kerajaan,
ribuan rakyat Maespati, jutaan prajurit dari lebih seribu negara dan
juga disaksikan oleh ratusan dewa dan hapsari dipimpin langsung oleh
Bhatara Narada dan Bhatara Indra yang sengaja turun dari Kahyangan
Jonggring Saloka dan Kahyangan Ekacakra.
Berbagai tata gelar perang juga diperagakan dalam perang tanding ini.
Dari tata perkelahian tangan kosong, gelar perang keris, tombak dan
trisula, juga tata gelar perang kereta disertai ketrampilan menguasai
kuda dan kereta, serta kemahiran memainkan anak panah. Kelak mereka baru
menyadari, bahwa apa yang diperagakan oleh Prabu Arjuna Wijaya dan
Bambang Sumantri, sesungguhnya merupakan pelajaran tata gelar dan teknik
peperangan maha tinggi yang hanya bisa diperagakan oleh Dewa Wisnu dan
Dewa Surapati, yang tidak akan terulang lagi selama jagad raya gumelar.
Berbagai ilmu kesaktian dan senjata sakti diperagakan dan gumelar
dalam perang tanding ini. Ketika senjata sakti panah Dadali milik
Sumantri lepas dari busurnya dan begitu melesat di udara pecah menjadi
ribuan anak panah dengan pamor berujud bara api menyala merah, Prabu
Arjuna Wijaya segera melepaskan senjata sakti panah Tritusta. Begitu
lepas dari busurnya, panah tersebut pecah menjadi ribuan anak panah yang pamornya memancarkan cahaya keputihan.
Ribuan anak panah dari kedua belah pihak itu saling bertempur dahsyat
di udara, tak ubahnya orang yang sedang berperang. Saling tangkis,
saling menyambar dan saling mengejar serta saling menyerang. Benturan
keras kedua senjata itu menimbulkan desis suara yang melengking,
memekakkan telinga.
Melihat pertempuran ribuan anak panah yang tiada akhir itu, Prabu
Arjuna Wijaya segera melepaskan panah angin, yang begitu melesat di
udara menimbulkan angin besar yang menyapu habis sernua anak panah
tersebut. Menghadapi kenyataan itu, Sumantri segera melepaskan panah
Bojanggapasa, yang begitu melesat ke udara memecah menjadi jutaan ular
naga yang memenuhi arena pertempuran. Untuk mengetahui keampuhan pusaka
lawan, Prabu Arjuna Wijaya segera melepas panah sakti Paksijaladra.
Seketika di udara muncul jutaan burung garuda, terbang menukik menyambar
ular-ular naga ciptaan Sumantri.
Akhir dari perang tanding tersebut, memberi pengaruh sangat besar
bagi Prabu Arjunasasrabahu. Kini yakinlah semua orang, bahwa ia seorang
raja penjelmaan Dewa Wisnu. la dikenal sebagai raja maha sakti dan
kewibawaannya memancar ke seantero jagad raya. Para raja yang sejak
semula sudah tunduk dan bersekutu dengan kerajaan Maespati, kini semakin
menghormatinya.
Sementara para raja yang dahulunya ragu untuk tunduk dan bersatu,
kini dengan sukarela menyatakan bernaung dibawah panji kebesaran negara
Maespati.
Di bawah pemerintahan Prabu Arjunasasrabahu dengan patihnya Suwanda,
Maespati berkembang menjadi negara adikuasa yang rnenguasai hampir
dua-pertiga jagad raya Meski demikian, Prabu Arjunawijaya tetap
memerintah dengan sikap yang adil dan arif bijaksana. Prabu
Arjunasasrabahu dikenal sebagai raja yang cinta damai dan selalu
berusaha menyelesaikan perselisihan dengan negara tetangga secara
musyawarah. Dialah raja yang melaksanakan prinsip dan semboyan
perdamaian ; Sugih tanpo bondo, ngruruk tanpo bolo, Menang tanpo
angasorake. (kaya tanpa harta benda, menyerang tanpa prajurit, menang
tanpa merasa mengalahkan).
Prabu Arjunasasrabahu adalah Maharaja terbesar yang pernah ada di
jagad raya. la tidak hanya memerintah hampir duapertiga luas jagad raya
dan membawahi lebih dari dua ribu raja dari berbagai negara, tetapi ia
juga seorang raja yang hidup dengan seorang permaisuri, Dewi Citrawati,
dan lebih dari 800 orang selir. Karena itu tak mengherankan apabila
sebagian besar penghuni istana Maespati adalah wanita-wanita cantik,
sehingga keadaan taman keputrian istana Maespati tak ubahnya kahyangan
Ekacakra, tempat para bidadari.
Prabu Arjunasasrabahu adalah raja yang sangat mencintai dan
memanjakan istri-istrinya, terutama permaisuri Dewi Citrawati. Apa saja
yang menjadi keinginan Dewi Citrawati selalu berusaha untuk dipenuhinya.
Suatu ketika Dewi Citrawati menyampaikan satu keinginan yang rasanya
mustahil dapat terpenuhi oleh manusia lumrah di Marcapada. Bahkan
Dewapun belum tentu kuasa untuk memenuhi keinginannya tersebut. Dewi
Citrawati ingin mandi bersama 800 orang selirnya di sebuah sungai atau
danau. Keinginan yang aneh inipun berusaha di penuhi oleh Prabu
Arjunasasrabahu.
Dengan disertai Patih Suwanda, dan dikawal beberapa ratus orang
prajurit, Prabu Arjunasasrabahu membawa Dewi Citrawati dan 800 orang
selirnya lengkap dengan para dayangnya masing-masing meninggalkan istana
Maespati pergi kesebuah dataran rendah antara pegunungan Salva dan
Malawa, dimana ditengahnya mengalir sebuah sungai.
“Dinda Patih Suwanda, aku akan bertiwikrama tidur melintang
membendung aliran sungai agar tercipta danau buatan untuk tempat mandi
dan bercengkrama dinda Dewi Citrawati dan para selir. Selama aku tidur
bertiwikrama, keselamatan dinda Citrawati dan para garwa ampil,
sepenuhnya aku serahkan pada dinda Patih Suwanda.” kata Prabu
Arjunasasrabahu kepada patih Suwanda.
Prabu Arjunasasrabahu kemudian bertiwikrama, tidur melintang
membendung aliran sungai. Dengan tubuh sebesar bukit dengan panjang
hampir mencapai 500 meter, dalam waktu tidak terlalu lama, lembah antara
pegunungan Salva dan Malawa berubah menjadi sebuah danau buatan yang
sangat luas. Dengan suka cita Dewi Citrawati terjun kedalam air, diikuti
oleh para selir dan para dayang. Mereka berenang kesana-kemari,
bercanda, bersuka cita penuh kegembiraan dan gelak tawa. Hampir semua
prajurit yang menyaksikan hal itu, menelan air hur dan tubuh prungsang
menahan hawa nafsu menyaksikan seribu lebih wanita cantik bertubuh seksi
dalam keadaan polos tumplek uyel (menyatu saling bergerak tak karuan)
di dalam air yang jernih, dengan berbagai tingkah polah yang lucu-lucu
dan aneh-aneh. Hanya Patih Suwanda yang bersikap tenang dan dapat
mengendalikan dirinya.
Luapan air sungai yang terbendung semakin lama semakin meninggi,
meluas melebar menggenangi perbukitan dan daerah sekitarnya. Mengalir
deras ke daratan yang lebih rendah, laksana air bah melanda persawahan
dan perbukitan. Kejadian ini sama sekali tak disadari oleh Prabu
Arjunasasrabahu, karena ia dalam keadaan tidur berTiwikrama.
Sementara itu diantara kedua betis raksasa jelmaan Prabu
Arjunasasrabahu muncul daerah kering. Di tempat itulah dibuat
pesanggrahan mewah semacam istana sebagai tempat tinggal Dewi Citrawati
dan para selir berikut dayang-dayangnya. Adapun Patih Suwanda, beberapa
para raja dan prajurit Maespati membuat pesanggrahan di luar betis yang
melintang itu. Banyak sekali ikan-ikan yang menggelepar di tanah kering
atau kubangan sisa-sisa air. Hal mi sangat menggembirakan para putri
domas dan para dayang, yang saling berebut menangkap ikan sambil
bercanda. Macam-macam ulah para putri domas itu. Ada yang menaruh
ikannya pada kain kembennya dengan cara dibungkus, tapi ada pula yang
dengan seenaknya diselipkan di lengkang dadanya. Manakala ikan-ikan itu
bergerak-gerak, ia akan tertawa geli penuh suka cita.
Tak terduga luapan air bengawan yang berbalik arah ke arah hulu,
melanda lembah dan perbukitan, melanda pula daerah perbukitan Janakya di
wilayah negara Sakya, dimana Rahwana, raja Alengka beserta para
hulubalangnya sedang membangun pesanggrahan. Dalam sekejap, bangunan
pesanggrahan Rahwana ludes dilanda air bah. Rahwana dan para
hulubalangnya yang bisa
terbang, segera terbang menyelamatkan diri ke puncak gunung, diikuti
oleh para raksasa pengikutnya berlari-lari cepat mendaki bukit yang
lebih tinggi. Namun banyak pula diantara para raksasa yang tidak sempat
menyelamatkan diri, mati hanyut dilanda air bah.
Kejadian tersebut menimbulkan kemarahan Rahwana. la segera menyuruh
Detya Kala Marica, abdi kepercayaarmya yang ahli dalam telik sandi untuk
melakukan penyelidikan. Dalam waktu singkat Kala Marica telah kembali
menghadap Rahwana, melaporkan hasil penyelidikannya. Dilaporkan oleh
Detya Kala Marica, bahwa yang menyebabkan meluapnya aliran sungai dan
menghancurkan pesanggrahan adalah akibat ulah Prabu Arjunasasrabahu,
raja negara Maespati, yang tidur melintang di muara sungai. “Beliau
sedang melakukan Tiwikrama. Tubuhnya berubah menjadi raksasa sebesar dan
setinggi seratus bukit. Itulah mengapa air sungai terbendung dan
berbalik arah melanda perbukitan.” kata Kala Marica. “Hemmm.. siapa itu
Arjunasasrabahu, paman ?” tanya Rahwana.
“… Prabu Arjunasasrabahu adalah raja negara Maespati yang terkenal
sakti mandraguna dan pilih tanding. Beliau bertiwikrama membendung
aliran sungai untuk menyenangkan permaisurinya dan para putri domas
serta selir-selir yang jumlahnya ribuan orang. Para selir Prabu
Arjunasasrabahu bukanlah wanita sembarangan, tetapi wanita-wanita cantik
putri para raja taklukan yang secara sukarela tunduk pada kekuasaan
negara Maespati. Namun dan kesernua para putri itu, yang paling cantik
adalah permaisuri Dewi Citrawati. Beliau adalah putri Magada yang pernah
menjadi rebutan ribuan raja karena diyakini sebagai penjelmaan Bhatari
Sriwidawati.”
“Hemmm, sangat kebetulan! Kalau begitu aku akan rebut Dewi Citrawati
dari tangan Arjunasasrabahu!” kata Rahwana lantang. la kemudian
memerintahkan Aditya Mintragna, Karadusana dan Trimurda untuk menyiapkan
pasukan perang, menggempur negara Maespati. Dengan sikap hati-hati
Patih Prahasta berusaha menasehati dan mengingatkan Prabu Rahwana akan
akibat buruk dari peperangan tersebut. Diingatkan pula oleh Patih
Prahasta, akan kesaktian dan keperwiraan Prabu Arjunasasrabahu dan patih
Suwanda yang sulit tertandingi oleh lawan siapapun, termasuk Prabu
Rahwana sendiri. Namun Rahwana tetap kukuh dengan kamauannya.
“Di jagad raya ini tidak ada seorangpun titah yang dapat mengalahkan
Rahwana. Inilah janji Dewa Syiwa kepadaku!” kata Rahwana lantang.
Peperangan tak dapat dihindarkan dan berlangsung dengan seru antara
pasukan Alengka sebagai penyerang dan pasukan Maespati yang berusaha
mempertahankan kehormatan dan kedaulatan negaranya. Korbanpun
berjatuhan, bergelimpangan. Ribuan raksasa dipihak Alengka dan ribuan
prajurit di pihak Maespati. Ketika banyak para senopati perang Alengka
mati dalam peperangan dan pasukan terdesak mundur, Rahwana akhirnya maju
perang sendiri menghadapi para senopati perang Maespati.
Rahwana bertiwikrama , merubah wujud menjadi raksasa sebesar bukit,
berkepala sepuluh dan bertangan dua puluh yang masing-masing tanganya
memegang berbagai jenis senjata. Sepak terjang Rahwana sangat
menakutkan. Dalam sekejap ratusan prajurit Maespati menemui ajaInya.
Untuk menghadapi amukan dan sepak terjang Rahwana, beberapa raja yang
menjadi senopati perang Maespati, seperti Prabu Wisabajra, Prabut
Kalinggapati, Prabu Soda, Prabu Candraketu dan Patih Handaka Sumekar,
mencoba menghadangnya. Namun bagaimanapun saktinya mereka, mereka
bukantah tandingan Rahwana. Para raja itu akhirnya gugur ditangan
Rahwana. Menyaksikan hal itu, akhirnya Patih Suwanda maju sendiri
memimpin pasukan Maespati. Dengan tata gelar perang “Garuda Nglayang” pasukan Maespati bergerak cepat,
memukul mundur dan memporak porandakan pasukan Alengka. Sepak terjang
Patih Suwanda sangat trengginas. Tak satupun para Senopati perang
Alengka, baik Tumenggung Mintragna, Karadusana, Trimurda, juga patih
Prahasta yang mampu menandingi kesaktian Patih Suwanda. Mereka lari
tunggang langgang menyelamatkan diri. Beberapa putra Rahwana antara lain
Kuntalamea, Trigarda, Indrayaksa dan Yaksadewa yang nekad berperang
mati-matian melawan Patih Suwanda, akhirnya mati juga di medan perang.
Mengetahui beberapa orang putranya tewas dalam peperangan dan tak
satupun para senapati perangnya yang dapat menandingi kesaktian dan
keperkasaan Patih Suwanda, akhirnya Rahwana maju sendiri ke medan laga.
Perang tanding pun berlangsung dengan seru Berkali-kali Patih Suwanda
berhasil memenggal putus kepala Rahwana Namun Rahwana selalu dapat hidup
kembali dari kematian. Hal ini berkat Ajian Rawarontek, ajaran dan
pemberian Prabu Danaraja (Prabu Danapati atau Prabu Bisawarna), raja
negara Lokapala yang masih kakak Rahwana satu ayah, sama-sama putra resi
Wisrawa.
Merasa kewalahan menghadapi patih Suwanda, Rahwana berTiwikrama .
Tubuhnya berubah menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh dan
bertangan duapuluh. Perubahan wujud ini sama seakali tidak menakutkan
Patih Suwanda. Tiwikrama yang dilakukan Rahwana tidaklah sehebat dan
semenakutkan Tiwikrama yang dilakukan Prabu Arjunasasrabahu. Dengan
cepat Patih Suwanda melepaskan senjata Cakra, yang begitu melesat
langsung menebas putus kesepuluh kepala Rahwana. Kesepuluh kepala itu
jatuh bergelimpangan di tanah, namun dalam sekejap menyatu kembali pada
badannya.
Patih Suwanda mulai kehilangan akal dan kesabaran menghadapi
kesaktian Rahwana. Sementara itu di Sorgamaya, arwah Sukasrana, adik
Patih Suwanda, masih bergentayangan melihat pertempuran tersebut. la,
berkesimpulan, inilah saat yang tepat untuk membalas dendam pada
kakaknya, dan memenuhi janjinya unluk bersama-sama arwah kakaknya,
Sumantri (Patih Suwanda) pergi ke Sorgaloka. Dengan cepat arwah
Sukasrana menyatu hidup dalam taring Rahwana. Perang tanding pun kembali
berlangsung antara Patih Suwanda melawan Rahwana. Patih Suwanda telah
berketetapan hati hendak mencincang habis kepala Rahwana agar tidak bisa
hidup kembali. Karena itu tatkala kepala Rahwana lepas dari lehernya
terbabat senjata cakra, Patih Suwanda segera memungut kepala Rahwana.
Tak terduga, saat ia memegang rambut kepala Rahwana, tanpa disadari
tubuh Rahwana menyatu kembali berkat daya kesaktian Aji Rawarontek.
Begitu kepalanya menggeliat dan membuka mata, berkat pengaruh arwah
Sukasrana, tangan Rahwana langsung mengangkat tubuh Patih Suwanda dan
menggigit lehernya hingga putus. Saat itu juga Patih Suwanda menernui
ajalnya. Arwahnya berdampingan dengan arwah Sukasrana terbang menuju ke
sorgaloka. Mengetahui Patih Suwanda gugur dalarn pertempuran, beberapa
orang prajurit Maespati lari ke pesanggrahan Prabu Arjunasasrabahu
memberitahukan kejadian tersebut. Prabu Arjunasasrabahu yang mendengar
laporan tewasnya patih Suwanda oleh Prabu Rahwana, segera bangun dari
tidurnya dan mengakhiri Tiwikramanya. la meminta para raja-raja
pengikutnya untuk segera mengumpulkan sisa-sisa laskar Maespati yang
bercerai berai, dan dia sendiri yang akan memimpin pasukan Maespati
menghadapi Rahwana. Di tengah perjalanan, Prabu Arjunasasrabahu diternui
olch Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa yang sengaja menghadang
langkah Prabu Arjunasasrabahu atas perintah Bhatara Guru.
“Cucu Ulun, Arjunasasrabahu. Mengemban perintah Hyang Jagad
Pratingkah, Ulun menghadang lakumu yang akan menggelar perang menghadapi
Rahwana. Titah Hyang Jagad Pratingkah, Ulun harus membatalkan perang
melawan Rahwana. Berilah kesempatan Rahwana untuk hidup lebih lama. Ulun
tahu, Rahwana titah maha sakti yang sepak terjangnya direstui Hyang
Siwa dan Durga. Tapi, Rahwana tetap bukan tandinganmu !” kata Bhatara
Narada kepada Prabu Arjunasasrabahu.
“Bukan maksud hamba untuk menentang perintah Hyang Jagad Pratingkah.
Pukulun Kanekaputra tahu, Rahwana telah membunuh adik hamba, Patih
Suwanda. Karena itu Rahwana harus dihukum kata Prabu Arjunasasrabahu.
‘Ulun tahu akan kecintaanmu terhadap Patih Suwanda, dan dendam ulun
pada Rahwana. Tapi saat ini Rahwana belum saatnya mati. Takdir dewata,
ia memang harus mati melalui tanganmu, tapi bukan pada penitisanmu yang
sekarang, melainkan pada penitisanmu yang akan datang.” kata Bhatara
Narada.
“Hamba berjanji, hamba tidak akan membunuh Rahwana. Hamba hanya akan
menghukumnya, memberi pelajaran agar dapat mengkontrol tindak angkara
murkanya. Karena itu perkenankanlah hamba melanjutkan perjalanan,
menggelar perang menghadapi Rahwana dan laskar Alengka !” kata Prabu
Arjunasasrabahu.
“Kalau itu yang menjadi tujuan ulun, ulun mengiringi langkahmu. Tapi
ingat, Ulun harus menetapi janji untuk tidak membunuh Rahwana !” kata
Bhatara Narada setelah merasa gagal membujuk Prabu Arjunasasrabahu untuk
membatalkan perang.
Perang sampyuh tak bisa dihindarkan lagi antara prajurit Maespati
melawan laskar raksasa negara Alengka. Dengan tata gelar perang “Garuda
Nglayang” sebagaimana yang diterapkan oleh Patih Suwanda, pasukan
Maespati di bawah pimpinan Prabu Arjunasasrabahu berhasil memukul mundur
dan memporak porandakan laskar raksasa Alengka. Tak terbilang
jumlahnya, mungkin ribuan laskar Alengka mati di medan peperangan.
Mengetahui pasukannya lumpuh bercerai berahi, akhirnya Rahwana sendiri
yang maju perang menghadapi Prabu Arjunasasrabahu. Nasehat Patih
Prahasta agar Rahwana menank mundur sernua pasukan dan menyatakan kalah,
ditolak mentah-mentah oleh Rahwana. Rahwana merasa yakin, dengan aji
Rawarontek yang dapat menolongnya luput dari kematian, ia akan dapat
mengalahkan dan membunuh Prabu Arjunasasrabahu, sebagai mana ia
mengalahkan dan membunuh Patih Suwanda.
Rahwana mengamuk, membabi-buta. Setlap sabetan pedangnya selalu
memakan korban nyawa prajurit Maespati. la terus mendesak maju berusaha
mendekati kereta Prabu Arjunasasrabahu. Hati Rahwana tercekat kagum
manakala ia melihat, betapa agungnya Prabu Arjunasasrabahu berdiri gagah
di atas kereta perangnya. Cahaya semacam pelangi melingkari tubuh Raja
Maespati itu, yang menandakan ia raja kekasih dewata, penitisan Bhatara
Wisnu.
Rahwana ingin menunjukkan kesaktiannya. Sambil membaca mantera sakti,
ia melepaskan senajuta Branaspati yang begitu melesat di udara dari
pamornya langsung menyemburkan gumpalan-gumpalan api sebesat gelugu
(batang kelapa/nyiur) dan sangat panas tiada terkira, membakar hangus
prajurit Maespati.
Melihat hal itu, Prabu Arjunasasrabahu bertidak cepat. Sambil membaca
mantera sakti, ia melepaskan seniata Bayusayuta, yang begitu melesat di
udara dari pamornya menyembur angin besar dan kencang yang mengandung
hawa dingin. Dengan suara mendesis, angin itu mematikan dan meniup habis
gumpalan-gumpalan api Rahwana.
Merasa kalah sakti dalam olah senjata, Rahwana kemudian
bertriwikrama. Tubuhnya menjadi sebesar bukit, berkepala sepuluh dan
bertangan seratus yang masing-masing tangannya memegang berbagai macam
senjata tajam. Rahwana terbang hendak menerkam dan membinasakan
lawannya. Menghadapi serangan Rahwana yang demikian ganas dan
mengerikan, Prabu Arjunasasrabahu segera melepaskan panah Trisula, yang begitu melesat
di udara pecah menjadi ratusan anak panah, yang dengan cepat memangkas
putus kesepuluh kepala Rahwana, keseratus tangan dan kakinya.
Potongan-potongan kepala , tangan, kaki dan gembung Rahwana jatuh
berserakan di atas tanah. Namun berkat daya kesaktian Aji Rawarontek,
begitu menyentuh tanah potongan-potongan tubuh itu secepatnya bergerak
menyatu, dan Rahwana pun hidup kembali.
Masih dalam keadaan bertriwikrama, Rahwana terbang ke udara, sambil
berlindung di balik gumpalan mega, ia mengeluarkan kesaktiannya. Dari
keseluruh anggota tubuhnya, termasuk lubang hidung dan telinga – (dalam
keadaan triwikrama, tangan Rahwana berjumlah seratus dan berkepala
sepuluh) – keluar ribuan macam senjata seperti gada, limpung, pedang,
tombak dan anak pariah, yang meluncur cepat menyerang prajurit Maespati.
Bersarnaan itu pula, Rahwana mengeluarkan ajian “Gunturgeni’, dimana
ketika ia berteriak dari mulutnya keluar ribuan kilat menyambar dengan
daya hangus yang luar biasa.
Menyaksikan hal itu, Prabu Arjunasasrabahu tetap tenang. la segera
melepaskan senjata Trisula, yang begitu melesat di udara memecah menjadi
ratusan naga sebesar bukit yang langsung menelan habis semua senjata
ciptaan Rahwana. Bersarnaan dengan itu pula, Prabu Arjunasasrabahu
melepaskan senjata Candrasa yang melesat tepat menghantam hancur tubuh
Rahwana. Dalam keadaan berkeping-keping serpihan Rahwana jatuh ke tanah.
Peristiwa pun terulang kembali. Berkat daya kesaktian aji Rawarontek,
begitu menyentuh tanah potongan-potongan tubuh Rahwana bergerak saling
menyatu, dan Rahwana pun hidup kembali.
Menghadapi kejadian yanh terus berulang, hilang kesabaran Prabu
Arjunasasrabahu. la segera bertriwikrama. Dalam sekejap tubuhnya berubah
meniadi brahalasewu- Raksasa hampir sebesar gunung, berkepala seratus
dan bertangan seribu, di mana masing-masing tangannya memegang berbagai
jenis senjata. Melihat tubuh raksasa yang demikian besar dengan bentuk
yang sangat menakutkan, Rahwana mengigil ketakutan. Cepat ia terbang
melarikan diri dan berlindung di balik gumpalan awan, sambil berterjak
minta tolong.
Teriakan Rahwana yang dilambari ajian Guntur sewu itu terdengar oleh
Bhatari Durga yang bertahta di Kahyangan Setragandamayit. Bhatari Durga
segera keluar dari istananya dan secepat kilat menuju ke arah Rahwana.
Begitu mengetahui Rahwana dalam kesulitan menghadapi raksasa penjelmaan
Prabu Arjunasasrabahu, Bhatari Durga segera menciptakan awan hitam untuk
melindungi tubuh Rahwana. Hal ini ia lakukan karena ia merasa
bertanggung jawab menjaga keselamatan Rahwana, yang secara tidak
langsung adalah putranya sendiri dengan Bhatara Syiwa (=Bhatara Guru).
Prabu Arjunasasrabahu yang mengetahui ulah Bhatari Durga melindungi
Rahwana segera melepaskan pariah “Prahara” yang begitu melesat di udara
dari pamornya menyembur badai awan panas. Awan hitam seketika tersibak
hilang. berubah menjadi rintikan hujan. Dalam suasana alam yang terang
benderang nampak dengan jelas tubuh Bhatari Durga yang berada di sebelah
Rahwana.
Prabu Arjunasasrabahu siap melepaskan panah Trisula, Namun sebelum
panah Trisula dilepaskan, Bhatari Durga yang mengetahui daya keampuhan
pusaka itu, secepat kilat lari kembali ke Setragandamayit sambil
berteriak minta ampun. Prabu Arjunasasrabahu yang tidak mau kehilangan
sasaran, mengarahkan pariah Trisula ke tubuh Rahwana. Begitu terkena
hantaman pusaka
tersebut, tubuh Rahwana hancur menjadi beberapa bagian, berterbangan di udara dan akhirnya jatuh berserakan di tanah.
Aji Rawarontek kembali menolong Rahwana dari kematian. Namun saat
tubuhnya menyatu kembali, Prabu Arjunasasrabahu segera bertindak cepat,
menangkap tubuh Rahwana. Bersamaan dengan itu, Bhatara Narada dan
Bhatara Mahadewa datang menegur Prabu Arjunasasrabahu.
“Cucu Ulun, Prabu Arjunasasrabahu. Hentikan triwikramamu. Bukankah
Ulun telah berjanji tidak akan membunuh Rahwana,” kata Bhatara Narada.
Mendapat teguran Bhatara Narada, Prabu Arjunasasrabahu menyudahi
triwikramanya, kembali kewujud aslinya. “Hamba tidak akan membunuh
Rahwana, tetapi hamba punya kewajiban untuk menyiksa dan menghajarnya
sebagai
pelajaran tata kesusilaan bagi aditya ambek angkara murka ini!” jawab Prabu Arjunasasrabahu.
“Syukurlah kalau ulun tetap memenuhi apa yang telah ulun janjikan
kepada dewata!” kata Bhatara Narada yang segera meninggalkan Prabu
Arjunasasrabahu diikuti kemudian oleh Bhatara Mahadewa.
Sepeninggal Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa, Prabu
Arjunasasrabahu segera mengikat tubuh Rahwana dengan rantai. Kemudian,
tubuh yang sudah tak berdaya itu diikat pada belakang kereta perang
Prabu Arjunasasrabahu dan ditarik mengelilingi alun-alun negeri Maespati
sampai beberapa kali putaran, baru ditarik menyusuri jalan-jalan di
kota negara Maespati.
Berkat daya kesaktian ajian Rawarontek, Rahwana memang tidak bisa
mati. Tapi !a bisa mengalami penderitaan, dan penderitaan yang tengah ia
alami sekarang ini merupakan penderitaan yang maha berat yang arus ia
alami baik secara lahir dan batin. Dalam keadaan terseret, tubuh Rahwana
bukan saja harus berbenturan dengan batu lubang jalanan dan roda
kereta, tetapi ia juga harus menanggung penghinaan yang luar biasa
besarnya, dimana dalam keadaan sebagai pecundang dan pesakitan, tubuhnya
yang terseret kereta itu harus menjadi tontonan ribuan rakyat Maespati.
Tidak itu saja.
Rakyat Maespati yang membencinya ikut menambah derita lahir batinnya.
Mereka melempari tubulnya dengan batu, kayu, telur busuk dan juga
kotoran hewan. Bila berkesempatan sebagian rakyat Maespati meludahi
mukanya.
Setelah semua lorong-lorong jalan ibu negara Maespati dilalui, Prabu
Arjunasasrabahu mengarahkan keretanya menuju ke pesanggrahan dimana Dewi
Citrawati dan para selir beserta para dayang berkemah. Prabu
Arjunasasrabahu ingin menunjukan kepada istrinya, wujud raksasa Rahwana
yang telah membunuh Patih Suwanda.
Apa yang dialami Prabu Rahwana diketahui pula oleh Detya Kala Marica.
Raksasa cerdik dan licik ini merasa iba atas penderitaan yang dialami
rajanya, juga rasa sakit hati rajanya diperlakukan sedemikian hina.
Marica ingin membalas dendam, membuat sakit hati Prabu Arjunasasrabahu.
Ketika tubuh Rahwana masih terseret-seret di sepanjang jalanan ibu
negara Maespati. Marica mendahului pergi ke pesanggrahan Dewi Citrawati.
Dengan merubah wujudnya menjadi seorang punggawa istana, Marica
berhasil menemui Dewi Citrawati. Dengan menghiba dan kata-kata pedih
diciptakannya sebuah laporan palsu, bahwa Prabu Arjunasasrabahu beserta
para raja pengikutnya telah tewas dalam peperangan melawan Rahwana.
Disampaikan pula pesan Prabu Arjunasasrabahu, mengingat Rahwana raja
yang ambek angkara murka, maka apabila Prabu Arjunasasrabahu tewas dalam
peperangan, maka Dewi Citrawati, sernua para selir berikut dayangdayang
harus melakukan bela pati.
Kata-kata Marica yang disertai mantra “kemayan” itu berhasil
membutakan alam pikiran bawah sadar Dewi Citrawati, yang dengan mudahnya
menerima saja semua laporan Marica. Tanpa pikir panjang, demi bakti
setianya pada suami, Dewi Citrawati segera menghunus patrem (keris
kecil) dan melakukan bunuh diri. Tindakan Dewi Citrawati tersebut segera
diikuti oleh para selir dan dayang. Terjadilah bunuh diri masal yang
mencapai hampir empat ribu orang. Sehingga dalam sekejap, pesanggrahan
yang dibangun dengan segala keindahan dan keelokannya itu dipenuhi oleh
mayat-mayat wanita cantik.
Namun masih ada seorang dayang yang belurn sempat melakukan bunuh
diri. Hal ini karena saat ia akan menusukan patrem ke ulu hatinya,
Marica yang merasa usahanya telah berhasil telah merubah wujudnya ke
wujud aslinya. Dayang itu pingsan karena takut melihat wajah Marica yang
mengerikan.
Betapa terkejut Prabu Arjunasasrabahu ketika ia memasuki
pesanggrahan, dijumpainya Dewi Citrawati, para selir dan dayang-dayang
sernuanya telah menjadi mayat, tumpang-tindih tak karuan. la tak tahu,
apa yang telah terjadi sesungguhnya hingga istri dan sernua selir serta
para dayang melakukan bunuh diri masal. Pada saat Prabu Arjunasasrabahu
dalam kebingungan, dayang yang selamat telah siuman dan segera mendekati
Prabu Arjunasasrabahu, melaporkan apa yang sesungguhnya telah terjadi.
Bunuh diri masal itu terjadi karena Dewi Citrawati, para selir dan
dayang melaksanakan pesan Prabu Arjunasasrabahu yang disampaikan oleh
raksasa Alengka yang menyaru sebagai punggawa istana Maespati.
Seketika muntab kernarahan Prabu Arjunasasrabahu. la bermaksud untuk
bertiwikrama, membunuh Rahwana dan menghancurkan alam seisinya sebagai
protes atas ketidak adilan dewata yang telah membiarkan istrinya yang
setia termakan bujukan Marica. Namun sebelurn niat itu dilaksanakan,
telah muncul Bhatara Waruna. Dewa laut itu datang menyabarkan Prabu
Arjunasasrabahu. Dikatakan kepada raja Maespati tersebut, bahwa apa yang
menimpa Dewi Citrawati berikut para selir dan dayang merupakan cobaan
dewata yang harus diterima dengan lapang dada. Kedatangannya menemui
prabu Arjunasasrabahu adalah untuk menolong sang Prabu dari kesedihan.
Dengan air sakti Tirta mulya” (=semacam air penghidupan “tirta amarta”)
ia sanggup menghidupkan kembali orang yang telah mati, khususnya yang mati karena terluka.
Prabu Arjunasasrabahu menerima kebaikan hati Bhatara Waruna. Dengan
percikan air sakti “Tirta mulya” Dewi Citrawati dapat dihidupkan
kembali. Demikian pula para selir dan dayang-dayang yang jumlahnya
hampir 4000 orang. Setelah itu Bhatara Waruna menjelaskan, bahwa yang
membuat pengkhianatan dengan memberikan laporan palsu adalah Datya Kala
Marica, hulubalang setia Rahwana, yang memang cerdik dan licik.
Mengetahui hal itu, Prabu Arjunasasrabahu bertekad akan segera mencari
dan membunuh Marica walau ia berlindung di balik Kahyangan sekalipun.
Dewi Citrawati melarangnya. Janganlah kebencian beralih menjadi
dendam. Toh berkat pertolongan Bhatara Waruna, ia dan semua selir dan
dayang-dayang telah hidup kembali. Karena itu Dewi Citrawati meminta
agar Prabu Arjunasasrabahu melupakan dendamnya terhadap Marica. Demi
menghormati keinginan istrinya, Prabu Arjunasasrabahu berjanji akan
melupakan dendamnya
terhadap Marica.
Sepeninggal Bhatara Waruna, datang menemui Prabu Arjunasasrabahu,
Brahmana Pulasta yang sengaja turun dari pertapaan Nayaloka yang berada
di kahyangan Madyapada. Brahmana raksasa yang tingkat ilmunya sudah
mencapai kesempumaan itu adalah kakek buyut Rahwana dari garis ayah,
Resi Wisrawa. Brahmana Pulasta adalah cucu Bhatara Sambodana yang
berarti cicit Bhatara Sambu. la, berputra Resi Supadma, ayah Resi
Wisrawa. Kedatangan Brahmana Pulasta menemui Prabu Arjunasasrabahu
adalah untuk memintakan pengampunan bagi cucu buyutnya, Rahwana. Karena
menurut ketentuan Dewata, belum saatnya Rahwana untuk menemui kematian.
la memang harus mati oleh satria penjelmaan Dewa Wisnu, tetapi bukan
pada penjelmaannya yang sekarang, tetapi pada penjeImaan Wisnu
berikutnya.
“Rahwana memang makluk yang ambek angkara murka. memang pantas
menderita dan mati untuk menebus dosa-dosanya. Tapi bukan sekarang.
Itutah ketentuan dewata yang aku ketahui. Karena itulah aku memohon
kemurahan hati Paduka untuk membebaskan Rahwana. Berilah ia kesempatan
untuk hidup dan memperbaiki perilakunya. Apapun persyaratan yang Paduka
minta, aku akan memenuhinya.” kata Brahmana Pulasta, lembut menghiba.
“Aku juga tidak akan membunuh Rahwana sebagaimana janjiku pada
Bhatara Narada. Apa yang aku lakukan sekedar memberi pelajaran pada
Rahwana agar ia menyadari, bahwa di jagad raya ini masih banyak titah
lain yang dapat mengalahkannya, walau tidak kuasa untuk membunuhnya.
Kalau aku membebaskan Rahwana, jaminan apa yang bisa sang Bagawan
berikan padaku?” kata Prabu Arjunasasrabahu.
“Jaminanku, aku berjanji, Rahwana akan tunduk pada Paduka dan mau
merubah sifat angkara murkanya. Aku yakin, Rahwana bersedia menyerahkan
negara dan tahta Alengka kepada Paduka dan menjadikan Alengka sebagai
negara bagian Maespati. Sebagai imbalan kemurahan hati Paduka
membebaskan Rahwana, aku bersedia menghidupkan semua prajurit Maespati
yang tewas dalam peperangan!” kata Brahmana Pulasta.
Menghargai permintaan brahmana sakti yang tingkat hidupnya sudah
setara dewa itu, Prabu Arjunasasrabahu memenuhi apa yang menjadi
keinginan Brahmana Pulasta. Rahwana segera dilepaskan dari ikatan rantai
yang membelit sekujur tubuhnyaBegitu terbebas, Rahwana langsung duduk
bersimpuh di hadapan Prabu Arjunasasrabahu. Sambil menyembah ia
menyatakan fobat
dan berjanji tidak akan berbuat kejahatan lagi. Rahwana juga menyatakan
tunduk pada Prabu Arjunasasrabahu dan rela menyerahkan tahta dan
kerajaan Alengka dalam kekuasaan raja Maespati, dan bersedia menjadi
raja taklukan.
Prabu Arjunasasrabahu menerima pertobatan Rahwana. Namun ia tak
menghendaki tahta dan negara Alengka. la hanya menasehati dan meminta
Rahwana untuk memerintah dengan adit dan memanfaatkan kekayaan negara
untuk kepentingan rakyatnya. Bukan untuk kepentingan diri sendiri dan
keluarganya.
Brahmana Pulasta pun memenuhi janjinya. Dengan mantera saktinya ia
berhasil menghidupkan kembali semua prajurit Maespati yang tewas dalam
peperangan, terkecuali Patih Suwanda. Inilah yang membuat sedih Prabu
Arjunasasrabahu. Ketika ia menanyakan hal itu kepada Brahmana Pulasta,
sang brahmana menjelaskan bahwa kematian Patih Suwanda sudah mencapai
kesempumaan sesuai takdir hidupnya. Ia menemui ajalnya sesuai dengan
karmanya terhadap Sukasrana, adiknya.
“Kalau aku paksakan untuk menghidupkan kembali Rayi Paduka, Patih
Suwanda, berarti aku nekad melanggar kehendak Sang Maha Pencipta. Aku
juga telah melanggar niat luhur Sukasrana. Karena arwah manusia suci itu
belum mau masuk ke sorgaloka tanpa bersama-sama arwah kakaknya,
Sumantri — nama kecil Patih Suwanda !” kata Brahmana Pulasta menegaskan.
Prabu Arjunasasrabahu akhimya dapat menerima penjelasan Brahmana
Pulasta dan merelakan kematian Patih Suwanda. Sepeninggal Brahmana
Pulasta dan Rahwana, Pancaka (api pembakaran mayat) segera disiapkan
untuk menyempurnakan jasad Patih Suwanda. Selesai upacara pembakaran
jenazah Patih Suwanda, mereka kembali ke ibunegeri Maespati.
Sejak peristiwa tersebut, negeri Maespati tumbuh menjadi negara adi
daya dan adi kuasa. Kejayaannya merambah sampai lebih dan tiga perempat
isi jagad raya. Prabu Arjunasasrabahu sendiri dikenal sebagai Raja yang
Gung Binatara (Maha Besar dan Maha Berkuasa) * Hampir seluruh raja di
jagad raya secara suka reta tunduk dan hormat kepadanya. Meskipun
demikian, ia tetap bersikap bijaksana, arif dan hormat terhadap sesama
titah marcapada.
Kebahagaian Prabu Arjunasasrabahu dilengkapi pula dengan kebahagiaan
keluarganya. Dari pernikahannya dengan Dewi Citrawati, Prabu
Arjunasasrabahu berputra Raden Ruryana. Oleh ayahnya sejak kecil Raden
Ruryana dididik dalam berbagai ilmu, baik ilmu tata kenegaraan maupun
ilmu jayakawijayan. Hal ini karena dialah satu-satunya pewaris tahta dan
negara Maespati.
Merasa tak ada lagi lawan yang berarti, dan tak ada lagi gangguan
yang mengancam negara Maespati dan negara-negara sekutunya, kehidupan
selanjutnya dari Prabu Arjunasasrabahu lebih banyak digunakan
bersenangsenang, memanjakan istri, para selir dan putra-putranya.
Akibatnya, semakin asyik hidup dalam kesenangan, Prabu Arjunasasrabahu
mulai melupakan tugas kewajiban menjaga kelestarian dan kesejahteraan
jagad raya (memayu hayuning, bawono).
Akibat dari kelalaian Prabu Arjuansasrabahu tersebut, tanpa
sepengetahuannya (tanpa ia sadari-pen), Dewa Wisnu loncat dari tubuhnya,
menitis pada Ramaparasu, putra bungsu dari lima bersaudara putra Resi
Jamadagni dan Dewi Renuka, raja negara Kanyakawaya yang hidup sebagai
brahmana di pertapaan Daksinapata. Ramaparasu sedang melaksanakan sumpah
dendamnya, ingin membunuh setiap satria yang dijumpainya. Sumpah itu
terlontar sebagai akibat dari perbuatan Prabu Citrarata, yang telah
menodai ibunya, Dewi Renuka, serta perbuatan Raja Hehaya yang telah
menghancurkan pertapaan Daksinapata dan membunuh Resi Jamadagni,
ayahnya.
Beberapa tahun kemudian, Prabu Arjunasasrabahu dan Ramaparasu saling
bertemu di sebuah hutan. Saat itu Prabu Arjunasasrabahu sedang melakukan
perburuan di hutan. Seperti biasa, setiap melakukan perburuan, Prabu
Arjunasasrabahu selalu mengajak serta Dewi Citrawati, semua para selir,
para dayang dan para raja sekutunya. Ikut serta dalam rombongan tersebut
ratusan prajurit pengawal dan para kerabat kerajaan Maespati lainnya.
Sehingga kegiatan perburuan tak ubahnya kegiatan wisata keluarga besar
Kerajaan Maespati.
Perkemahan besar pun dibangun di tengah hutan sebagai tempat tinggal
Dewi Citrawati, para selir dan dayang-dayang. Sementara Dewi Citrawati
dan para selir dan dayang tinggal di perkemahan dalam kawalan para
prajurit, Prabu Arjuansasrabahu disertai Prabu Kalinggapati, Prabu Soda,
Prabu Candraketu dan beberapa hulubalang melakukan perburuan binatang
ke tengah hutan. Pada saat melakukan perburuan itulah Prabu
Arjunasasrabahu di hadang oleh Ramaparasu. Ramaparasu sengaja
menghadangnya setelah mendapat petunjuk dari seorang brahmana, bahwa
raja yang sedang melakukan perburuan adalah Prabu Arjunasasrabahu, raja
penjelmaan Dewa Wisnu dari negara Maespati.
Atas anugerah dewata sesuai doa dan permohonan ayahnya, Resi
damadagni, Ramaparasu hanya akan mati oleh perantaraan titisan Dewa
Wisnu. Karena itu setelah ia lama malang melintang membunuh para satria,
dan merasa telah bosan hidup, ia berusaha mencari satria penjelmaan
Dewa Wisnu, untuk memintanya mengantarkan kembali ke alam kelanggengan.
Karena itu ketika dalam pengembaraannya ia bertemu dengan seorang
brahmana yang memberitahukan bahwa Dewa Wisnu menitis pada Prabu
Arjunasasrabahu, Ramaparasu berusaha mencari Prabu Arjunasasrabahu
sampai ke negara Maespati, dan akhimya menyusul ke hutan. Penghadangan
yang dilakukan oleh Ramaparasu, sangat menggembirakan hati Prabu
Arjunasasrabahu. Perawakan Ramaparasu yang tinggi besar, kekar dan
menakutkan itu dengan dua pusaka, Kapak dan Bargawastra, menerbitkan
suatu harapan besar di hati Arjunasasrabahu, bahwa yang menghadangnya ini adalah penjelmaan Dewa Wisnu — pada saat itu
Prabu Arjunasasrabahu telah menyadari Dewa Wisnu telah meninggalkan
dirinya. Karena itu ia pun ingin mati melalui perantaraan Dewa wisnu.
Ramaparasu menceritakan kisah hidup petualangannya, sejak
meninggalkan pertapaan Daksinapata setelah perabukan jenasah ayahnya,
Resi Jamadagni, hingga ia bertemu dengan Prabu Arjunasasrabahu. la
merasa bimbang dan keraguan akan dharma yang telah dijalankan Resi
Pulasta, kakek Rahwana selama ini. Karena itu tujuanya kini hanyalah
mencari penjelmaan Dewa Wisnu, sebab hanya Dewa Wisnu yang dapat
mengantarkannya ke Nirwana.
“Itulah Paduka yang hamba cari selama ini.” kata Ramaparasu. “Mengapa
tuan mengira hamba sebagai penjelmaan Dewa Wisnu?” tanya Prabu
Arjunasasrabahu. “Tanda-tanda keagungan ada pada Paduka ” jawab
Ramaparasu. “Tuan juga seorang yang agung budi. Menurut pendapatku,
Tuanlah satria brahmana berwatak dewa, karena tuan telah melaksanakan
dharma dan kebajikan dunia dan umat manusia. Siapa lagi yang sanggup
berbuat demikian selain Dewa Wisnu?” kata Arjunasasrabahu.
“Oh. sekiranya kata-kata Tuan benar, apa perlu hamba mencari Dewa Wisnu?” kata Ramaparasu.
“Jadi Tuan tetap mengira, akulah penjelmaan Dewa Wisnu?” tanya Prabu Arjunasasrabahu.
“Ya, sebab Paduka bias bertriwikrama!”
“Sekiranya aku mengatakan tidak, lalu apa yang akan Tuan lakukan?”
“Akan hamba paksa Paduka melepaskan senjata Cakra. Sebab hanya
senjata Dewa Wisnu yang dapat menembus dada hamba!” jawab Ramaparasu
tegas.
“Sekiranya senjataku tidak dapat menembus dada Tuan , lalu apa yang akan Tuan lakukan?” tanya Prabu Arjunasasrabahu.
“Paduka akan hamba bunuh dengan Bargawastra Paduka pasti tewas, sebab
hanya Dewa Wisnu yang dapat menahan keampuhannya!” kata Ramaparasu
penuh keyakinan.
Prabu Arjunasasrabahu tersenyum. Dalam hati ia berdoa, mudah-mudahan
Bargawastra dapat menembus dadanya. Dan inilah yang ia cari selama ini.
Mereka kemudian sepakat untuk mengadu kesaktian. Mereka kini telah
siap tempur. Karena masing-masing tak ada niat untuk menggelak hantaman
senjata lawan, mereka berdiri hampir berhadap-hadapan. Ramaparasu
menimang-nimang Bargawastra, sedangkan Prabu Arjunasasrabahu memegang
senjata cakra yang berbahaya, Dengan teriakan panjang keduanya siap
melepaskan senjata pemusnahnya masing-masing.
Prabu Arjunasasrabahu menahan senjata cakranya. Semenjak bersiaga,
tiada niat sedikitpun untuk melepaskan senjata cakra, sebab takut akan
menembus dada Ramaparasu. Sebaliknya Ramaparasu melempaskan senjata
Bargawastra dengan sungguh-sungguh. Senjata ampuh itu menyibak udara
menembus dada Prabu Arjunasasrabahu, yang segera rebah ke tanah dengan
bersembah. Bisiknya : “Oh, Dewata Agung! Hamba menghaturkan terimakasih
yang tak terhingga. Sudah engkau tunjukan kepadaku kini, Dialah
sesungguhnya penjelmaan Dewa Wisnu setelah aku!”
Walau bersimbah darah, wajah Arjunasasrabahu menunjukkan kepuasan
batin yang dalam, karena akan mati dengan hati iklas dan puas.
Ramaparasu yang menyaksikan kejadian itu sangat terkejut. Ia segera
berlari dan memeluk tubuh Prabu Arjunasasrabahu.
“Hai, betapa mungkin …. ? Betapa mungkin?! Paduka berkhianat. Paduka
sengaja tidak melepaskan senjata cakra!” kata Ramaparasu menggugat.
Sambil menahan rasa sakit, Prabu Arjunasasrabahu berujar : “Sudah
kukatakan tadi, tiada senjata apapun di dunia ini yang dapat menembus
dadaku kecuali senjata Dewa Wisnu yang dilepaskan oleh Dewa Wisnu
sendiri. Jadi jelas sudah, Tuan memang penjelmaan Dewa Wisnu!”
Seketika terbit perasaan gusar dan kecewa pada Ramaparasu begitu
mengetahui Prabu Arjunasasrabahu bukan penjelmaan Dewa Wisnu. Menganggap
bahwa Prabu Arjunasasrabahu tidak ada artinya lagi baginya, tak ubahnya
ribuan satria lain yang telah dibunuhnya, maka Ramaparasu berteriak
lantang: “Jahanam! Bangsat! Kau telah menipuku. Kau memang layak untuk
mati! ” Setelah itu Ramaparasu pergi meninggalkan jasad Prabu
Arjunasasrabahu.
Sepeninggal Ramaparasu, jasad Prabu Arjunasasrabahu diangkat oleh
Prabu Kalinggapati dan Prabu Soda, dibawa ke pesanggrahan. Gelombang
tangis dan hujan air mata seketika meledak dan terjadi di pesanggrahan,
karena Dewi citrawati beserta sernua selir Prabu Arjunasasrabahu yang
berjumlah 2000 orang, beserta para dayang yang jumlahnya hampir ernpat
ribu orang itu, nangis bersama-sama.
Persiapan pembakaran jenasah segera dilakukan oleh Prabu
Kalinggapati, Prabu Soda dan para raja lainnya. Arena pembakaran
dipersiapkan sedemikian luas. Ribuan ton kubik kayu dipersiapkan. Inilah
arena dan upacara pembakaran mayat yang terbesar yang pernah ada di
jagad raya. Karena bukan hanya jenasah Prabu Arjunasasrabahu yang akan
dibakar, tetapi Dewi Citrawati dan para selir akan ikut bela pati, terjun kedalam pancaka (api pembakaran jenasah).
Pudarnya nyala api pembakaran, bukan hanya sekedar akhir hidup dan
kejayaan Prabu Arjunasasrabahu, tetapi juga awal pudarnya masa kejayaan
negara Maespati. Sebab sepeninggal Prabu Arjunasasrabahu, satu persatu
para raja dari negara-negara yang semula bergabung dengan Maespati,
menyatakan diri memisahkan diri dan berdaulat sendiri.
Tak ayal lagi, setelah berakhirnya masa pemerintahan Prabu Ruryana,
secara lambat tapi pasti, negeri Maespati lenyap dari percaturan dunia
pewayangan. Ironis memang!.
1 komentar untuk "Kisah Arjunasasrabahu"