DESTARASTA YANG BUTA DAN PANDU YANG PUCAT
Pada malam bulan madu, Kresna Dwipayana yang berkulit hitam, berjenggot lebat dan matanya yang bersinar menakutkan itu datang menemui Ambika. Ketika Ambika melihatnya, ia sangat takut dan memejamkan matanya tidak berani memandang muka Begawan Abiyasa. Tetapi untuk tidak menentang kehendak Gandawati, maka dibiarkanlah segala perbuatan Abiyasa terhadap dirinya. Maka Abiyasa berkata:
“Engkau kelak akan melahirkan anak laki-laki dengan keadaan buta kedua belah matanya. Ia bernama Destarasta”.
Bagaimana halnya dengan Ambalika? Ketika Abiyasa masuk keperaduan Ambalika tak terkecuali. Ia sangat terkejut sehingga pucat mukanya, maka Abiyasa berkata:
“Ambalika, kelak putramu akan pucat mukanya seperti ketika engkau melihatku. Putramu bernama Pandu”.
Melihat keadaan itu Gandawati masih kurang puas. Ia mengajukan perminataanya sekali lagi agar abiyasa menurunkan satu putra laki-laki yang sempurna tanpa cacat. Maka seorang anak mantra bernama Datri dititahkan untuk menerima kedatangan Abiyasa. Ia menerimanya dengan senang hati dan gembira, tak ada pikiran apapun dalam hatinya. Kelak ia akan melahirkan seorang anak yang bagus rupanya, suci hatinya, pandai dan setia kepada dharma, tetapi timpang jalannya karena ketika menerima Abiyasa ia berjinjit-jinjit.
Setelah memenuhi permintaan ibundanya, Abiyasa kembali ke pertapaan untuk melanjutkan kembali tapanya, menjauhkan diri dari keduniawan.
Nah, demikianlah kira-kira ceritera sebenarnya menurut vesi Adiparwa karya Prabu Dharmawangsa Teguh Hananta Wikrama abad ke XI yang kemudian digubah R. Ng. Ranggawarsita. Beliau menggubah tidak asal menggubah saja, tetapi diolah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan alam pikiran dan filsafat nusantara yang sifatnya antropocentris bukan dalam arti pantheistis. Tetapi hanyalah memandang manusia sebagai titik sentral dari segala yang”dumadi” (eksistensi).
Manusia itu sebenarnya hanyalah menghadapi dirinya sendiri. Sifatnya yang “duryudana, durmagati, durcitra dan dursila”, itu tidak lain adalah sifat-sifat dur-angkara dari manusia itu sendiri, yang harus dimusnahkan dengan keteguhan hati dan kesuciannya sendiri juga. Pendek kata “Setya budya pangekese dur angkara”. Setya budya artinya: “menguatkan kesadaran yang baik (dalam wayang dilambangkan Pandawa), pangekese artinya: memunahkan (dalam wayang dilambangkan Bharatayudha) dan durangkara artinya: “nafsu jahat” Kurawa.
Sebaliknya manusia sebagai makhluk itu selain rindu dan ingin mencari penciptanya sebagai sumber adanya. Karena itu Sunan Bonang berkata kepada Sunan Kalijaga dan Wujil:
“Oohhh adinda, pada lakon Bharatayudha wayang-wayang di sebelah kiri (dilihat dari belakang kelir) atau Pandawa itu mewakili naïf (ingkar) dan sebelah kanan mewakili isbat (pengukuhan). Timbulnya naïf oleh isbat, tetapi juga sebaliknya. Mereka sekarang berperang memperebutkan musbat (ada mutlak), menang atau kalah tergantung kepada cermin (Kresna) itu”.
Oleh karena itu manusia sepanjang masa terus berperang. Peperangan itu tidak lain untuk naïf dan isbat, untuk memperebutkan musbat.
Nah, saya kira sampai disini saja, tidak saya teruskan karena ini sudah sampai ke “ilmu tua” sangat “sinengker” (esoteris), lebih baik kita kembali ke soal Lara Amis yang sedang khilaf dan tergesa-gesa itu.
Akibat dari (saking) “notol”nya Lara Ami situ, cucunyalah yang harus menerima akibatnya. Bayi yang tidak berrdosa harus cacat sepanjang hayatnya. Jadi bayi itu (menurut wayang) tidak saja ditentukan sebagai unggul dan rendanya wiji (bibit) pihak ayah saya, tetapi sang ibu atau wadahnya pun harus bersih dan harus dalam keadaan siap pula. Namun apapun jadinya, bagi orang yang sudah “wus waspadeng semu”/waskita dan wicaksana, jika melihat ketimpangan ini semua bukanlah lalu tergesa-gesa akan membetulkan seketika itu juga, tetapi harus ditunggu waktunya tiba “tumibaning mangsa kala”. Hidup haruslah menerima akan adanya yang serba berpasangan (periksa: “Sekali lagi tentang Sumantri”). Artinya jika ada yang gelap pasti ada yang terang.
Kalau kita menghendaki yang terang (sejati) janganlah yang gelap (malam) harus dihilangkan seketika itu juga untuk kemudian diganti dengan terang siang. Tetapi tunggu dan sabarkan hati, karena ada waktunya sendiri, bahwa yang gelap itu akan hilang dan berganti dengan terang. Kalau “terang” dipaksakan dalam “kegelapan” itu, maka jelas, bahwa “terang” itu adalah palsu atau bukan yang “sejati”. Oleh karenanya, tak mungkin Bharatayudha dipercepat atau diperlambat, karena itu semua melambangkan proses dari hidup dan kehidupan kita sendiri.
Kalau ingin melihat matahari terbit, tunggulah lk. Jam 6.00 pagi. Kalau ingin melihat bulan purnama tunggulah pertengahan bulan.
Pada hakekatnya, manusia hidup itu hanya menghadapi dirinya sendiri secara eksistensial sebagai sosialitas. Bahwasanya wayang mengajarkan kepada kita untuk mengekang hawa nafsu, menahan dahaga, lapar dan supaya “tapa brata”, bukanlah dimaksudkan untuk lari dari dunia nyata lalu hidup menyepi di tepi pantai dan merendam diri di “tempuran” sungai, tidak. Tetapi dimaksudkan agar manusia tidak rakus, tidak serakah dan tidak menempatkan egalanya yangbersifat materiil di atas segala-galanya. Hidup itu harus ditatap secara konkrit eksistensiil. Manusia tidak hanya didorong oleh nafsu-nafsunya saja seperti theorinya Thomas Hobes, tetapi juga ditentukan oleh nilai-nilai insaninya.
Jadi manusia diharapkan “mingkar-mingkuring angkara” (menyingkiri hawa nafsu jahat). Mengapa? Agar manusia tidak menjadi “homo homini lupus” (manusia itu serigala bagi sesamanya). Abiyasa lebih jauh menganjurkan, hendaknya manusia itu maju selangkah tanpat was-was sampai memasuki dirinya sendiri, sampai pedalaman yang sedalam-dalamnya, sampai titik yang sedemikian dalamnya, sehingga tidak mungkin lebih dalam lagi. Jadi berarti sampai ke akar yang paling terakhir dan sampai berjumpa dengan dirinya sendiri.
Inilah maksudnya, mengapa Abiyasa dimasukkan dalam keluarga Bharata. Abiyasa oleh bangsa Indonesia dipandang sebagai tokoh yang memegang peranan penting dan diunggulkan oleh para pujangga dalam kisah Bharatayudha. Abiyasa tahu akan semua apa yang akan terjadi terhadap cucu-cucunya. Tetapi ia sabar menunggu sampai waktunya tiba.
Sekali lagi, Abiyasa dimasukkan ke dalam Mahabharata untuk menghindarkan agar manusia tidak menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus).
Sumber : http:// wayang.wordpress.com/ category/wayang-lakon/ mahabharata/page/3/
“Engkau kelak akan melahirkan anak laki-laki dengan keadaan buta kedua belah matanya. Ia bernama Destarasta”.
Bagaimana halnya dengan Ambalika? Ketika Abiyasa masuk keperaduan Ambalika tak terkecuali. Ia sangat terkejut sehingga pucat mukanya, maka Abiyasa berkata:
“Ambalika, kelak putramu akan pucat mukanya seperti ketika engkau melihatku. Putramu bernama Pandu”.
Melihat keadaan itu Gandawati masih kurang puas. Ia mengajukan perminataanya sekali lagi agar abiyasa menurunkan satu putra laki-laki yang sempurna tanpa cacat. Maka seorang anak mantra bernama Datri dititahkan untuk menerima kedatangan Abiyasa. Ia menerimanya dengan senang hati dan gembira, tak ada pikiran apapun dalam hatinya. Kelak ia akan melahirkan seorang anak yang bagus rupanya, suci hatinya, pandai dan setia kepada dharma, tetapi timpang jalannya karena ketika menerima Abiyasa ia berjinjit-jinjit.
Setelah memenuhi permintaan ibundanya, Abiyasa kembali ke pertapaan untuk melanjutkan kembali tapanya, menjauhkan diri dari keduniawan.
Nah, demikianlah kira-kira ceritera sebenarnya menurut vesi Adiparwa karya Prabu Dharmawangsa Teguh Hananta Wikrama abad ke XI yang kemudian digubah R. Ng. Ranggawarsita. Beliau menggubah tidak asal menggubah saja, tetapi diolah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan alam pikiran dan filsafat nusantara yang sifatnya antropocentris bukan dalam arti pantheistis. Tetapi hanyalah memandang manusia sebagai titik sentral dari segala yang”dumadi” (eksistensi).
Manusia itu sebenarnya hanyalah menghadapi dirinya sendiri. Sifatnya yang “duryudana, durmagati, durcitra dan dursila”, itu tidak lain adalah sifat-sifat dur-angkara dari manusia itu sendiri, yang harus dimusnahkan dengan keteguhan hati dan kesuciannya sendiri juga. Pendek kata “Setya budya pangekese dur angkara”. Setya budya artinya: “menguatkan kesadaran yang baik (dalam wayang dilambangkan Pandawa), pangekese artinya: memunahkan (dalam wayang dilambangkan Bharatayudha) dan durangkara artinya: “nafsu jahat” Kurawa.
Sebaliknya manusia sebagai makhluk itu selain rindu dan ingin mencari penciptanya sebagai sumber adanya. Karena itu Sunan Bonang berkata kepada Sunan Kalijaga dan Wujil:
“Oohhh adinda, pada lakon Bharatayudha wayang-wayang di sebelah kiri (dilihat dari belakang kelir) atau Pandawa itu mewakili naïf (ingkar) dan sebelah kanan mewakili isbat (pengukuhan). Timbulnya naïf oleh isbat, tetapi juga sebaliknya. Mereka sekarang berperang memperebutkan musbat (ada mutlak), menang atau kalah tergantung kepada cermin (Kresna) itu”.
Oleh karena itu manusia sepanjang masa terus berperang. Peperangan itu tidak lain untuk naïf dan isbat, untuk memperebutkan musbat.
Nah, saya kira sampai disini saja, tidak saya teruskan karena ini sudah sampai ke “ilmu tua” sangat “sinengker” (esoteris), lebih baik kita kembali ke soal Lara Amis yang sedang khilaf dan tergesa-gesa itu.
Akibat dari (saking) “notol”nya Lara Ami situ, cucunyalah yang harus menerima akibatnya. Bayi yang tidak berrdosa harus cacat sepanjang hayatnya. Jadi bayi itu (menurut wayang) tidak saja ditentukan sebagai unggul dan rendanya wiji (bibit) pihak ayah saya, tetapi sang ibu atau wadahnya pun harus bersih dan harus dalam keadaan siap pula. Namun apapun jadinya, bagi orang yang sudah “wus waspadeng semu”/waskita dan wicaksana, jika melihat ketimpangan ini semua bukanlah lalu tergesa-gesa akan membetulkan seketika itu juga, tetapi harus ditunggu waktunya tiba “tumibaning mangsa kala”. Hidup haruslah menerima akan adanya yang serba berpasangan (periksa: “Sekali lagi tentang Sumantri”). Artinya jika ada yang gelap pasti ada yang terang.
Kalau kita menghendaki yang terang (sejati) janganlah yang gelap (malam) harus dihilangkan seketika itu juga untuk kemudian diganti dengan terang siang. Tetapi tunggu dan sabarkan hati, karena ada waktunya sendiri, bahwa yang gelap itu akan hilang dan berganti dengan terang. Kalau “terang” dipaksakan dalam “kegelapan” itu, maka jelas, bahwa “terang” itu adalah palsu atau bukan yang “sejati”. Oleh karenanya, tak mungkin Bharatayudha dipercepat atau diperlambat, karena itu semua melambangkan proses dari hidup dan kehidupan kita sendiri.
Kalau ingin melihat matahari terbit, tunggulah lk. Jam 6.00 pagi. Kalau ingin melihat bulan purnama tunggulah pertengahan bulan.
Pada hakekatnya, manusia hidup itu hanya menghadapi dirinya sendiri secara eksistensial sebagai sosialitas. Bahwasanya wayang mengajarkan kepada kita untuk mengekang hawa nafsu, menahan dahaga, lapar dan supaya “tapa brata”, bukanlah dimaksudkan untuk lari dari dunia nyata lalu hidup menyepi di tepi pantai dan merendam diri di “tempuran” sungai, tidak. Tetapi dimaksudkan agar manusia tidak rakus, tidak serakah dan tidak menempatkan egalanya yangbersifat materiil di atas segala-galanya. Hidup itu harus ditatap secara konkrit eksistensiil. Manusia tidak hanya didorong oleh nafsu-nafsunya saja seperti theorinya Thomas Hobes, tetapi juga ditentukan oleh nilai-nilai insaninya.
Jadi manusia diharapkan “mingkar-mingkuring angkara” (menyingkiri hawa nafsu jahat). Mengapa? Agar manusia tidak menjadi “homo homini lupus” (manusia itu serigala bagi sesamanya). Abiyasa lebih jauh menganjurkan, hendaknya manusia itu maju selangkah tanpat was-was sampai memasuki dirinya sendiri, sampai pedalaman yang sedalam-dalamnya, sampai titik yang sedemikian dalamnya, sehingga tidak mungkin lebih dalam lagi. Jadi berarti sampai ke akar yang paling terakhir dan sampai berjumpa dengan dirinya sendiri.
Inilah maksudnya, mengapa Abiyasa dimasukkan dalam keluarga Bharata. Abiyasa oleh bangsa Indonesia dipandang sebagai tokoh yang memegang peranan penting dan diunggulkan oleh para pujangga dalam kisah Bharatayudha. Abiyasa tahu akan semua apa yang akan terjadi terhadap cucu-cucunya. Tetapi ia sabar menunggu sampai waktunya tiba.
Sekali lagi, Abiyasa dimasukkan ke dalam Mahabharata untuk menghindarkan agar manusia tidak menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus).
Sumber : http://
Posting Komentar untuk "DESTARASTA YANG BUTA DAN PANDU YANG PUCAT"