Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gatotkaca, Kesendirian Seorang Panglima



Putra kedua Bima dengan seorang putri bangsa Raksasa dari negri Pringgandani. Kelahiran Gatotkaca dianggap sebagai buah dari sebuah rekayasa bangsa Dewa. Demi wibawa bangsa Dewa, Bima dijodohkan dengan Arimbi, dengan sebuah pamrih akan melahirkan seorang bayi yang kuat dan berani seperti bangsa Raksasa, serta pandai dan cerdas seperti seorang bangsa Manusia.

Bangsa Dewa yang kala itu mendapat rongrongan wibawa dari Prabu Kalapracona, raja negri Gilingwesi. Gatotkaca pun dibuat cepat dewasa, agar segera bisa menjadi jago bangsa Dewa menghadapi serangan bangsa Gilingwesi. Gatotkaca juga diberi kesaktian yang luar-biasa. Kecepatan terbang yang jauh diatas rata-rata kecepatan terbang ksatria pada umumnya. Kulit dan badannya sekeras baja. Tak ada senjata tajam yang mampu melukainya.

Tapi pada saat yang sama, bangsa Dewa juga mencipta senjata Konta Wijayadanu, satu-satunya senjata yang bisa melukai Gatotkaca, dan hanya bisa digunakan sekali pakai.

Gatotkaca adalah seorang patriot. Dia begitu patuh pada negrinya, pada keluarganya, dan pada kebenaran yang dipegangnya. Dia juga tidak mau berkompromi dengan Sitija atas sengketa batas wilayah negrinya, Pringgandani dengan wilayah Trajutrisna. Sengketa di wilayah Tunggarana. Dia sangat berdisiplin dalam menjaga wilayah kedaulatan negrinya dan keluarganya, dari wilayah negrinya paling utara perbatasan Pringgandani, ke selatan ke wilayah Amarta, sampai wilayah Dwarawati paling selatan.

Dia juga membantu Arjuna menggagalkan penyerbuan Prabu Niwatakawaca, dari negri Imaimantaka, ke kahyangan Jonggring Saloka. Dia hanya diam, walaupun semua bangsa Dewa hanya tahu bahwa yang berjasa atas penggagalan penyerbuan itu hanya Arjuna seorang. Bangsa Dewa menganggap biasa saja peran Gatotkaca atas peristiwa itu, karena menurut mereka, memang demikianlah tujuan Gatotkaca dilahirkan.

Gatotkaca sendiri yang memadamkan pemberontakan di negrinya yang dipimpin oleh paman-pamannya sendiri, Brajadenta, Brajamusti, Brajalamatan, dan Brajawikalpa. Gatotkaca juga menanggung rasa bersalahnya sendiri, ketika tanpa sengaja membunuh pamannya yang lain Kalabendana, yang sangat mencintainya.

Gatotkaca belajar banyak tentang ilmu kautaman dengan Petruk dan Resi Hanoman. Pernah juga berguru kepada Resi Seta, seorang ksatria dari negri Wirata.

Menjelang perang Baratayudha, Gatokaca diangkat oleh Yudhistira menjadi panglima pasukan pihak Pandawa. Gatotkaca juga diberi kepercayaan untuk menjaga seluruh wilayah Kurusetra, tempat berlangsungnya perang, agar bisa dijaga bahwa perang akan dilakukan secara ksatria.

Gatotkaca juga patuh, ketika Kresna, penasihat perang pihak Pandawa, justru memintanya agar tidak mengeluarkan seluruh kesaktiannya saat perang di Kurusetra. Gatotkaca lebih banyak diminta menjaga dari udara, dan turun bila memang perlu benar. Dia juga patuh ketika diminta untuk mengeluarkan kesaktiannya justru disaat pihak Kurawa, di medan laga dipimpin langsung oleh sang panglima, Adipati Karna, yang telah dihadiahi senjata Konta Wijayadanu oleh Batara Indra, beberapa bulan sebelum perang.

Gatotkaca sadar betul bahwa saat diminta maju ke medan laga, bahwa itu berarti dia akan sengaja dikorbankan menjadi tumbal bagi pihak Pandawa. Agar senjata Konta yang hanya bisa dipakai sekali itu, terhujam ke tubuhnya, sehingga Arjuna selamat dari ancaman Karna.

Dihari menjelang kematiannya, Gatotkaca menggempur prajurit pihak Kurawa secara luar biasa, Hari itu adalah hari dimana Kurawa kehilangan prajuritnya dalam jumlah yang sangat luar biasa besar dibanding dengan hari-hari lain selama Baratayudha. Membuat Karna geram, dan berkeputusan melepas Konta. Gatotkaca mati dengan Konta menembus dadanya.


Pitoyo Amrih

1 komentar untuk "Gatotkaca, Kesendirian Seorang Panglima"

Apaya 11 Januari 2014 pukul 23.36 Hapus Komentar
best regard dari saya (penggemar wayang)