Kerja, Karya dan Dharma
Pernah diungkapkan bahwa bagi orangJawa “antara pekerjaan, interaksi
dan doa tidak ada perbedaan prinsip hakiki”(Magnis-Suseno, 2001: 82)
dengan demikian setiap aktivitas atau gerak dirisepenuhnya dikontrol
oleh ‘kesadaran akan’. Dan derivasi dari seluruh filsafatJawa adalah
‘mematenkan’ pengetahuan itu dalam sebuah karya. Hakikatnya, karyaadalah
puncak pengejawantahan hidup yang sesungguhnya bagi orang Jawa.
Dari jaman gemilang itu dikenal dan dikenanglahberbagai Pujangga, Pustaka, Pusaka dan Pusara, sebagai museum hidup: situs danritus kebudayaan, bahkan hingga keberadaannya hari ini. Namun demikian patutdicatat, pasca Ronggowarsito yang sering disebut sebagai pujangga penutup, ataupasca jatuhnya laskar-laskar Diponegoro (1825-1830), wajah Jawa banyakmengalami pergeseran dan perubahan. Jawa tidak lagi menghasilkan daur hidupyang sejatinya. Hal ini diperparah lagi bahwasanya priyayi-priyayi Jawa sebagaikelas menengah dalam struktur hierarki sosial Jawa tidaklah memainkan peranyang cukup signifikan. Namun
kemerosotan itu tertutupi dengan sosialisasi kesenian di tengahmasyarakat—sebab memang hanya itulah yang dapat mereka lakukan. Mengomentarisituasi tersebut, dalam sebuah terbitannya 42 tahun lalu, Anderson mengatakan :
Dari jaman gemilang itu dikenal dan dikenanglahberbagai Pujangga, Pustaka, Pusaka dan Pusara, sebagai museum hidup: situs danritus kebudayaan, bahkan hingga keberadaannya hari ini. Namun demikian patutdicatat, pasca Ronggowarsito yang sering disebut sebagai pujangga penutup, ataupasca jatuhnya laskar-laskar Diponegoro (1825-1830), wajah Jawa banyakmengalami pergeseran dan perubahan. Jawa tidak lagi menghasilkan daur hidupyang sejatinya. Hal ini diperparah lagi bahwasanya priyayi-priyayi Jawa sebagaikelas menengah dalam struktur hierarki sosial Jawa tidaklah memainkan peranyang cukup signifikan. Namun
kemerosotan itu tertutupi dengan sosialisasi kesenian di tengahmasyarakat—sebab memang hanya itulah yang dapat mereka lakukan. Mengomentarisituasi tersebut, dalam sebuah terbitannya 42 tahun lalu, Anderson mengatakan :
“Di
pedesaan perubahan terjadidengan lebih lambat, dan disanalah budaya
jawa yang tua paling kuatmempertahankan pegangan atas jiwa manusia.
Meskipun demikian, musim gugur telahtiba. Pada pohon kebudayaan Jawa
daun-daun jatuh satu per satu” (2003: 70).
Yang ada bagi
Jawa hari ini adalahkebudayaan sebagai komoditas, utamanya komoditas
wisata. Satu yang tersisa,katakalah demikian, adalah WAYANG.
Bagaimanapun bentuknya kini kesenian inidapat terus bertahan—walau toch
tetap berada dalam nuansa yang mengharukan—dania dipercaya sebagai salah
satu gawang pertahanan terakhir Jawa hari ini.Padanyalah Jawa
sebenarnya menyandarkan diri.
Wayang memainkan peran
pentingdalam sejarah Jawa walaupun ia dianggap tidak asli berasal dari
Jawa.Penelitian mengenai asal usul wayang sendiri belum mencapai kata
sepakat hinggahari ini. Wayang dianggap berasal dari India dan dibuat
pada kitaran 8-9 SMoleh Vyasa (Kresna Dvipayana).
Namun
demikian bukan nama Vyasasaja yang menjadi kandidat bagi penulis
Mahabarata, ada dua orang penutur laindi samping Vyasa tadi, mereka
adalah Ugrasravas dan Vaisempayana. Awalnya kitabini terdiri dari
sekitar 24.000 kuplet dan pada gilirannya berkembang hinggamenjadi
100.000 kuplet (Amir, 1997:42).
Lakon wayang Jawa
sendiriseringkali mengadaptasi dua epik besar, Mahabarata dan Ramayana
ataupuncarangannya (cabang ceritanya) dan ini berlangsung sejak awal
perkembangannya.Di Jawa, misalkan, lakon Arjunawiwaha, atau paling tidak
dalam bentuk sastranyadisadur pertama kali pada masa Prabu
Dharmawangsa, abad ke-11 M, sementaraRamayana disadur sedikit lebih
dahulu.
Lalu Kakawin Ramayana dibuat ± 903M oleh
Yogisvara. Kakawin ini mengikuti versi Bhattikavya yang dibuat diKhasmir
pada abad ke-5 M dan tidak menyantumkan buku pertama dan
terakhirValmiki, yakni Bale Kanda dan Uttara Kanda. Yang menarik, tidak
berselang lamadari penyadurannya, Kakawin Ramayana langsung dipentaskan.
Hal ini dibuktikandengan prasasti Balitung, “… si Geligi buat Hyang
macerita Bhima ya kumara…”
atau “Geligi mengadakan pertunjukan wayang dan mengambil lakon Bima muda”(Amir, 1997: 34, 40).
atau “Geligi mengadakan pertunjukan wayang dan mengambil lakon Bima muda”(Amir, 1997: 34, 40).
Wayang
menjadi suatu bentukkesenian yang khas, utamanya karena sebenarnya ia
berasal dari tradisi keratonnamun kemudian justru hidup dalam rakyat
kebanyakan. Menurut Geertz (1981: 358)ini karena sifat rakyat kebanyakan
cenderung ritualis, politheis dan magissementara para priyayi cenderung
dekat yang mistik-pantheis dan spekulatif.
Secara sosial
wayang memilikiposisi istimewa karena ia dianggap sebagai salah satu
bentuk kesenian yangmampu menjembatani sekat-sekat yang ada. Ben
Anderson (2003: 12) menyebutnyasebagai,
“….mitologi
religius yang diterimahampir secara universal, yang mampu membina suatu
keterikatan intelektual danemosional yang mendalam. (…) mitologi wayang
Jawa adalah suatu upaya untukmenjelajahi secara puitis posisi
eksistensial orang Jawa, hubungan-hubungannyadengan tatanan alam nyata
dan dunia gaib, kepada sejawatnya dan kepada dirinyasendiri. Sangat
kontras dengan agama-agama besar Timur Dekat, bagaimanapun,‘agama’
wayang tidaklah memiliki Nabi, Kitab Suci atau Sang Penebus. Tradisiini
tidak memandang dunia dalam perlintasan gerak yang linear,
ataupunmengkhotbahkan pesan keselamatan universal. Tidak juga dia
menawarkan ekstasesebagaimana pewahyuan masa depan seperti dalam tradisi
Kristen, semata pasang-surut Waktu yang ajek”.
Kristen, semata pasang-surut Waktu yang ajek”.
Penjelasan
Anderson ini menunjukkanrelativisme wayang, termasuk nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, yangmungkin sejalan dengan penjabaran istilah
wayang yang ditengarai berasal darikata bayang. Yang dikotomis dalam
wayang adalah logika komplementer yang palingmendasar dari hidup. Yang
dikotomis ini tidak saja berlaku pada saat ataukejadian melainkan juga
pada tokoh, peran, karakter dan fungsi mereka yangbersinggung satu sama
lain dan Anderson menyebut seluruh persinggungan inisebagai “ketegangan
yang selaras dan kestabilan yang energetik dariWeltanschauung” atau
mengikuti rumusan Claire Holt, “dunia stabil yangdidasarkan pada
konflik”.
Ambillah sebagai contoh, KresnaDuta. Lakon
terkenal yang menggambarkan turun tangannya Kresna dalamBaratayuda.
Kresna yang titisan Wisnu menjadi tokoh yang mengetahui apa yangharus
dan apa yang akan. Tidak ada yang merintangi kehendaknya untuk
mengikutidan memenuhi ketetapan takdir. Pada lakon tersebut digambarkan
bagaimana empatekor kuda beserta tokoh pengiringnya itu sebenarnya
menjawab sifat komplementerdari panteon hindu sekaligus serangan syirik
(charges of ideolatry) yang kerapditudingkan kepada wayang, selain
koneksitas Kalimasada milik Yudhistira danKalimat Syahadat Sunan Kali
Jaga.
Sifat Warna
Merah : Api Amarah Marah
Hitam : Bumi Aluamah Makanan
Kuning : Air Sufia Kesenangan
Putih : Udara Mutmainah Kesucian
Merah : Api Amarah Marah
Hitam : Bumi Aluamah Makanan
Kuning : Air Sufia Kesenangan
Putih : Udara Mutmainah Kesucian
Keempat
kuda jelas dipadankandengan empat nafsu, daya atau energi yang harus
diarahkan pada satu tujuan.Nafsu empat akan berguna bagi kehidupan jika
ia tidak dikacaukan hasratpenguasaan. Ia bukan hal yang patut
dipertentangkan apalagi dihindarkan. Hidupnyatanya membutuhkan kekuataan
dan gairah. Terkendalinya ego—yang berada dilintang empat itu— pada
gilirannya akan mendorong pencapaian yang lebih tinggilagi, yakni
bersatunya: Rasa yang diwakili oleh Batara Narada; Roh-BataraRespati;
Nafsu-Batara Parasu; Budi-Batara Janaka (Arjuna); dalam Diri
yanghidup-Kresna (Lih. Woodward, 1999: 281, bdk. Stange,
1998: 57-58).
Para Pandawa sendiri seringkali diasosiasikan denganpanca indera sekaligus perlambang sifat. Dan orang Jawa senang sekalimemadu-madankan sifat-sifat itu bagi dirinya maupun bagi kepentingan pedagogikyang lebih luas, bagi anak-anak mereka. Bima adalah lambang kekuatan sekaligusketulusan. Pertemuannya dengan dirinya melalui Nawaruci adalah contoh palingklasik yang kemudian ‘meruwat’ kekurangannya: berjalan maju tanpa menimbangbimbang. Yudhistira adalah gambaran bagi altruisme sampai pada titikmengorbankan diri dan akhirnyakepentingan yang lebih besar. Ia seringkali terjebak pada perasaan ‘tidak dapatberkata tidak’ dan dengan begitu selalu mem-butuhkan saudara-saudaranya untukmengambil putusan yang berkait dengan kebijakan publik.
1998: 57-58).
Para Pandawa sendiri seringkali diasosiasikan denganpanca indera sekaligus perlambang sifat. Dan orang Jawa senang sekalimemadu-madankan sifat-sifat itu bagi dirinya maupun bagi kepentingan pedagogikyang lebih luas, bagi anak-anak mereka. Bima adalah lambang kekuatan sekaligusketulusan. Pertemuannya dengan dirinya melalui Nawaruci adalah contoh palingklasik yang kemudian ‘meruwat’ kekurangannya: berjalan maju tanpa menimbangbimbang. Yudhistira adalah gambaran bagi altruisme sampai pada titikmengorbankan diri dan akhirnyakepentingan yang lebih besar. Ia seringkali terjebak pada perasaan ‘tidak dapatberkata tidak’ dan dengan begitu selalu mem-butuhkan saudara-saudaranya untukmengambil putusan yang berkait dengan kebijakan publik.
Sementara
Arjuna, saking satria-nyatega untuk melakukan kekejaman dibalik
kehalusan budi, watak dan penampilannya.Secara esensial wayang kerap
membuka ruang perdebatan filsafat sekaligus contohkasus paling banyak
dikutip.Tengoklah Gatholoco. Ia menanyakan manakah yang lebih tua,
dalang, wayang,layar atau blencong. Ahamd Arif menjawab layar,
Abduljabar menebak dalang danAbdul manaf menyebut wayang. NamunGatholoco
malahan menjawab yang paling tua adalah blencong. Dalam
penjelasannyablencong diartikan sebagai wahyu Allah, layar adalah simbol
dari raga, wayangadalah sejatinya suksma dan dalang tiadalain adalah
Sang Rassulullah.
“Dalang sekedar menggerakkanwayang,
menurut perintah si penanggap, yang bernama Kyai Sepi. Semuanya
sepitanpa ada, adanya digelas sungguh-sungguh, abadi tak kunjung
berubah, tidakkurang tidak lebih, tanpa aturan tanpa kegunaan, yang
lebih menguasai atasgerak gerik wayang ucapan dalang. Yang menyaksikan
hanya Si Kyai hidup. Bila lampu telah padam, semuanya hampa, tak adaapa-apanya, bagai diriku sebelum dilahirkan, tetap kosong tak ada sesuatu apapun. Lampu adalah wahyu kehidupan, seumpama Tuhan, cahaya hidup ini, menguasaidirimu luar dan dalam, bawah dan atas. Wujudmu adalah wujud Tuhan YangMahakuasa” (dalam Sumardjo, 2002: 332).
hanya Si Kyai hidup. Bila lampu telah padam, semuanya hampa, tak adaapa-apanya, bagai diriku sebelum dilahirkan, tetap kosong tak ada sesuatu apapun. Lampu adalah wahyu kehidupan, seumpama Tuhan, cahaya hidup ini, menguasaidirimu luar dan dalam, bawah dan atas. Wujudmu adalah wujud Tuhan YangMahakuasa” (dalam Sumardjo, 2002: 332).
Ke-khasan
wayang tidak semataberkutat pada siapa atau apa yang terlibat di
dalamnya. Tiga babak besar dalamtiap pertunjukan wayang pun disebut
Stange (1998: 66) sebagai gambaran dariproses ‘evolusi spiritual’.
Wayang
biasanya dimulai pada pukulsembilan. Tiga jam pertama ini di kenal
sebagai pengantar. Prolog ataskejadian, sebuah sebab-akibat yang kelak
akan. Orang menyebut fase ini denganPathet Ném. Kata Ném sendiri
kemudian diidentikkan dengan kata enom atau muda.Dicabutnya gunungan
dari gedhebok pisang oleh sang dalang adalah lambangkelahiran yang dua,
yakni pehelaan antar binary dalam kehidupan.
Pada tengah
malam pertunjukan akanmemasuki Pathet sanga. Masa ini diasosiasikan
sebagai masa seorang dewasamemandang masalah, memilah dan menetapkan
suatu nilai bagi dirinya. Pada masaini Para Punakawan muncul dengan
gojekan-gojekannya yang sarkas. Digambarkanpula bagaimana seorang tokoh
berusaha menyelesaikan masalah. Biasanyapenggambaran ini diwujudkan
dengan usaha mempertemukan diri dengan diri malaluijalan tapa, menyepi
dan lain sebagainya.
Geertz (1981: 369) menjelaskanusaha ini
(tapa, menyepi, dsb) tidaklah dapat dipadankan dengan penolakan
atashidup. Yang tepat adalah pengunduran diri sementara atau dalam
bahasanya“…bukanlah pelarian diri dari kehidupan, tapi pelarian dalam
hiduplah yangdipuji” karena inilah sesungguhnyaetik satria. Pengunduran
diri dengan demikian berfungsi untuk mempertemukanDiri dengan Realitas
Akhir, sebuah usaha untuk meniadakan emosi yang duniawai.Dengan cara ini
energi akan terfokus menjadi kekuatan besar yang bermanfaat.
Pilihanpada akhirnya akan bergantung pada bagaimana tokoh tersebut
melihat kontekspermasalahan, “…mistik adalah sebuah ilmu yang netral
secara moral dan bisajuga digunakan setiap orang. Ia membawa
pengetahuan; dan sebagaimana halnyailmu pengetahuan pada
umumnya,pengetahuan itu merupakan kekuasaan untuk kebaikan maupun
keburukan” (Geertz:1981: 366).
Usaha tapa, nyepi dan
sebagainyaini sebenarnya dapat dipadankan dengan usaha penjarakan atau
yang lebih dikenalsebagai distansiasi pada masyarakat modern. Ketika
seseorang mempertanyakanyang mistis (yang diniscayai pun sekedar
dipercayai tanpa di fikir) dengandemikian ia telah berada di ruang
ontologis. Fase yang ontologis inilah yangpada gilirannya akan
memperlihatkan fungsi dan senyatanya peran. Etik ksatriabermain di aras
ini. Seperti layaknya Arjuna yang kejam atas nama keharusan‘nasib’, tiap
tokoh pada gilirannya akan memainkan perannya masing-masing danwajib
menyelesaikan tugasnya. Tidak ada yang dapat
merubahkewajiban—bagaimanapun beratnya atau naifnya—itu kecuali
perumusan ulangmengenai peran dan posisi tadi.
Puncaknya
adalah persiapan bagiperang ageng dari tokoh yang telah menjadi ksatria
itu. Pathet Manyura atauBurung Merak adalah fase akhir dari perjalanan
tersebut. Fase ini dimulaisekitar pukul tiga dini hari sampai menjelang
fajar dan merupakan gambaran bagisebuah hari tua. Ia filosofis dan
seakan memapar sisi-balik-senyap: sebuahkesimpulan akhir dari penggal
perjalanan hidup.
Patut diketahui, sebagai lakoncarita,
Ramayana walau sama-sama menghadirkan satu epos besar sebenarnyatidaklah
mendapat tempat yang sama dengan Mahabarata. Orang Jawa
cenderungmenyukai yang kedua. Mahabarata dianggap memiliki totalitas,
tiap tokoh dapatdikatakan memiliki perjalanan sendiri-sendiri. Paling
tidak ini terbukti daribanyaknya carangan yang dihasilkan sementara
Ramayana hanya berkutat pada satualur besar yang dianggap cenderung
statis dan linear. Yang juga menarik adalahhadirnya Buto (raksasa) dan
juga Sang Punokawan: Semar beserta anak-anaknya; Gareng,Petruk dan
Bagong.
Buto adalah mahluk yang selalu adabaik dalam lakon
Ramayana maupun Mahabarata. Ia tidak memiliki nama, tidakmemi-liki
leluhur dan ti-dak datang dari satu kerajaan. Katakanlah ia
semacammahluk tanpa identitas dan ber-curriculum vitae kosong. Namun
demikian iaselalu hadir, ada, pun ketika ke-matian telah menjemput.
Mereka
ini pada suatu waktu akanhidup lagi dan begitulah seterusnya. Geertz
menjelaskan (1981: 363) imortalitasini bagi orang Jawa kemudian
disejajarkan dengan gambaran nafsu yang harusselalu ditiadakan. Satu
kali berhasil bukan berarti selamanya manusia telahterbebas darinya
(nafsu). Magnis-Suseno (2001: 166-167) menyebut fungsi butosebagai
pengontras antara ‘yang Jawa dan bukan Jawa’ sekaligus pembelokan dari
tragikgelap Mahabarata. Secara teknis buto berfungsi adalah pengulur,
penyekat danmenjaga adegan.
Buto cakil kali pertama
diciptakanpada masa Sultan Agung. Sebelumnya tokoh itu tidak ada sama
sekali. Biasanyamereka tampil pada adegan perang kem-bang atau perang
bambangan. Padaperkem-bangannya dikenal pula Buta Rambut Geni. Konon
buta ini adalahrepresentasi londo-londo-manusia kulit berwarna yang
datang dan menjadiimprealis di Nusantara (lebih lengkap lih. Sutini,
Sejarah PerkembanganKesenian Wayang, pada http://www.javapalace.com)
Sementara Punakawan, ia diamini berasal dari Jawa.Pada mitos India tokoh ini sama sekali tidak dikenal. Istilah Semar sendiridiyakini berasal dari bahasa Arab, Ismar yang berarti paku. Itulah kemudianpaku orang Jawa itu dijadikan gelar oleh Keraton Surakarta, Pakubuwono(Woodward, 1999: 329). Itulah mengapa Semar seringkali dianggap sebagairepresentasi Nabi Jawa di luar Dewa. Ia dianggap lebih membumi dan lebih mautahu dengan perkara Jawa dibanding dengan tokoh-tokoh (impor) lainnya. Semardikenal juga dengan nama sang Hyang Ismaya. Ia adalah saudara Sang Hyang ManikMaya atau umum disebut Batara Guru. Semar ini juga memiliki saudara yangsifatnya berbanding terbalik dengannya, yakni Sang Hyang Tejamaya aliasTejamantri. Tejamantri atau disebut Togog oleh masyarakat Sunda, terkenalkarena sifat menghambanya kepada mereka yang mampu membayar lebih (Tentangkelahiran Togog dan Semar dan mengapa mereka jelek lihat Ensiklopedi Wayang,hal. 238).
Sementara Punakawan, ia diamini berasal dari Jawa.Pada mitos India tokoh ini sama sekali tidak dikenal. Istilah Semar sendiridiyakini berasal dari bahasa Arab, Ismar yang berarti paku. Itulah kemudianpaku orang Jawa itu dijadikan gelar oleh Keraton Surakarta, Pakubuwono(Woodward, 1999: 329). Itulah mengapa Semar seringkali dianggap sebagairepresentasi Nabi Jawa di luar Dewa. Ia dianggap lebih membumi dan lebih mautahu dengan perkara Jawa dibanding dengan tokoh-tokoh (impor) lainnya. Semardikenal juga dengan nama sang Hyang Ismaya. Ia adalah saudara Sang Hyang ManikMaya atau umum disebut Batara Guru. Semar ini juga memiliki saudara yangsifatnya berbanding terbalik dengannya, yakni Sang Hyang Tejamaya aliasTejamantri. Tejamantri atau disebut Togog oleh masyarakat Sunda, terkenalkarena sifat menghambanya kepada mereka yang mampu membayar lebih (Tentangkelahiran Togog dan Semar dan mengapa mereka jelek lihat Ensiklopedi Wayang,hal. 238).
Di satu sisi, Orang Jawa
sendirimenganggap Semar sebagai guru spiritual Arjuna walaupun ia selalu
berselorohsarkas, tak tahu basa, kasar, pendek, jelek, hitam dan sering
kentut-an. Merekajuga mempercayai bahwa Bagong, salah satu anak Semar
dilahirkan dari bayanganSemar sendiri. Ketiga anak Semar, Gareng, Bagong
dan Petruk adalahpengejawantahan dari masa lalu, masa kini dan masa
depan. Dan tidak ada yangmelebihi Semar dalam mistitisme Jawa, sekalipun
Batara Guru, Raja para Dewa,saudaranya itu. Tetapi walau dipercaya
sebagaiguru spiritual Pandawa, pada dasarnya Semar hanyalah abdi, rakyat
kebanyakan,pada umumnya petani dan sama sekali bukan bangsawan apalagi
berdarah biru.
Kenyataan itu sangatlah paradoks,namun di
titik itulah kemanunggalan justru mawujud. Semar pun menjadi esensidan
padanyalah mengerucut segala kebijaksanaan. Semar adalah Dewa tapi
iasekaligus Manusia dan walau manusia ia bukan sekedar manusia. Semar
adalahsamar dan ia bukan sembarang. Dalam “Semar Mencari Raga”,
Sindhunatamenganalogikan Semar sebagai pohon Mandira yang tumbuh
diantara bulan danmatahari. Semar yang tengah risau karena ia menganggap
diri tidak mengetahuidan mengenal dirinya sendiri akhirnya mendapat
titah dari Sang Hyang Tunggaluntuk mencari raga.
Sebelum
keberangkatannya, SangHyang Tunggal berkata kepada Semar, “Pohon Mandira
itu adalah pohon petang danterang, pohon itu tidak memisahkan matahari
dan bulan, siang dan malam. Makakau adalah samar, ya Semar. Janganlah
kau samar terhadap kegelapan, jangan pulakau samar terhadap terang.
Hanya dengan hatimu yang samar, kau dapat melihatkegelapan dan terang,
kebaikan dalam kejahatan (…) Wajahmu pucat seperti mayat.Kau bagaikan
manusia yang sudah sirna.
Dalam hidupmu Semar,
sudahterkandung kematian. Hanya kehidupan yang berani membawa kematian
dalamdirinya, kehidupan itulah yang akan berlanjut dengan keabadian (…)
Kau adalahdhudha nanang nunung. Dadamu bersusu seperti wanita. Namun kau
berkuncungseperti pria. Maka sulitlah memastikan apakah kau lelaki atau
wanita. Kau kuatseperti lelaki. Kau subur bagaikan wanita. Kau adalah
bapa langit dan ibu bumi.Rupamu jelek, Semar, namun dalam dirimu lelaki
dan wanita bersatu. Dalamdirimu, lelaki hidup bukan karena kegagahannya,
wanita hidup bukan karena kecantikannya.Dalam dirimu, Semar, lelaki dan
wanita hidup dan berada karena cinta. Maka kau,yang jelek, sang dhudha
nanang nunung ini juga adalah juga Sang Asmarasanta. Melihat dirimu,
Semar, walaurendah, sudra dan papa, orang akan tertarik akan keutamaan,
karena dalam dirimuada sejatinya cinta lelaki dan wanita” (1996: 10-12).
Begitu pentingnya tokoh ini sampai-sampai pada perkembangannya kemudian Semardikaitkan dengan wacana kekuatan rakyat, khususnya petani. Stange (1998: 138)mengatakan, “sejak era India, gerakan petani telah mengkristal dengan berbagaiharapan bahwa ratu adil yang baru akan muncul untuk memperbaiki tatanan jamanyang kacau dan mengembalikan masyarakat dalam keseimbangan dengan alam”.
Dengan demikian posisi Semar yang menjembatani massa rakyat dengan keraton atauporos kekuasaan memang menjadi ideograph yang penting bagi para milenaris.Condongnya gagasan ‘perebutan kekuasaan’ menjadi daya tarik yang kemudianberusaha di kelola pada masa pasca Indonesia Merdeka. Kasus paling nyata adalah,sebut saja manuver politik yang dilakukan oleh Preseiden kedua RI, Soehartountuk meng-counter para oposannya. Pada masa awal naiknya, Soehartomelegitimasi kekuasaannya dengan sepenggal surat yang terkenal dengan sebutanSupersemar, Surat Perintah 11 Maret (1966).
Begitu pentingnya tokoh ini sampai-sampai pada perkembangannya kemudian Semardikaitkan dengan wacana kekuatan rakyat, khususnya petani. Stange (1998: 138)mengatakan, “sejak era India, gerakan petani telah mengkristal dengan berbagaiharapan bahwa ratu adil yang baru akan muncul untuk memperbaiki tatanan jamanyang kacau dan mengembalikan masyarakat dalam keseimbangan dengan alam”.
Dengan demikian posisi Semar yang menjembatani massa rakyat dengan keraton atauporos kekuasaan memang menjadi ideograph yang penting bagi para milenaris.Condongnya gagasan ‘perebutan kekuasaan’ menjadi daya tarik yang kemudianberusaha di kelola pada masa pasca Indonesia Merdeka. Kasus paling nyata adalah,sebut saja manuver politik yang dilakukan oleh Preseiden kedua RI, Soehartountuk meng-counter para oposannya. Pada masa awal naiknya, Soehartomelegitimasi kekuasaannya dengan sepenggal surat yang terkenal dengan sebutanSupersemar, Surat Perintah 11 Maret (1966).
Stange
sendiri kemudian menafsirkanbahwa Soeharto berusaha memainkan mitos
Sabdopalon—sebagai reinkarnasi Semarpada masa akhir berdirinya
Majapahit—dan mengutipnya seakan dialah yangmemperolah wahyu yang telah
dijanjikan sabdopalon itu. Seperti telahdijelaskan, Majapahit memang
dianggap sebagai puncak dari pertemuan diri dengandiri. Artinya, orang
Jawa merasa disanalah puncak hakikat Jawa berhasil
dimanifestasikan. Dalam cerita Darmogandhul memang dituturkan bahwa setelahkejatuhan Majapahit, jati diri Jawa juga akan sirna bersamaan dengan sirnanyaSabdopalon. Tetapi Sabdopalon mengatakan bahwa akan ada masanya ‘jaman buda’yaitu jaman ketika seorang Jawa kembali berkuasa dan rakyat Jawa akan menemukanjati dirinya kembali setelah 500 tahun dari saat itu (Lih. Nurul Huda, TokohAntagonis Darmo Gandhul: Tragedi Sosial Historis dan Keagamaan di PenghujungKekuasaan Majapahit. Yogyakarta: Pura Pustaka, 2005).
Bentuk Kesenian wayang padagilirannya
terus mengalami geliat. Bermacam sanggit sampai dengan bentukpertunjukan
baru yang lebih sesuai dengan keadaan masyarakat hari ini
terusdikembangkan. Kini, apa atau bagaimanapun bentuknya kita hanya bisa
berharapbahwa satu kesenian tradisi ini tidaklah kehilangan nilainya.
(catatan inimerupakan bagian dari kajian “Politik Identitas Jawa-Cina”,
Cin, 2008)
Posting Komentar untuk "Kerja, Karya dan Dharma"