Gagrak dan Pakem
Pagelaran wayang dan/atau karawitan, di
masa sekarang dikenal sebagai suatu pagelaran yang dimainkan menurut
suatu ‘gagrak’ (pola, gaya, mahzab, atau corak) dan ‘pakem’ tertentu.
Seperti pada lukisan, dikenal ada lukisan gaya naturalis, gaya
super-naturalis, gaya abstrak, gaya modern dan sebagainya. Seperti itu
pula permainan alat-alat gamelan yang lazim disebut ‘karawitan’. Bahkan
kita pada masa sekarang, juga mengenal sejumlah seniman karawitan
dan/atau wayang yang menonjol dalam suatu gagrak tertentu.
Sangat mungkin, persoalan ‘gagrak’ tidak
terlampau dominan di masa lampau. Mungkin hal ini juga disebabkan
sulitnya hubungan komunikasi antara daerah yang satu dengan daerah
lainnya. Namun, sejalan dengan perkembangan budaya dan hubungan antar
daerah (di masa lampau, biasanya merupakan hubungan antar kerajaan atau
perdagangan), berkembang pula sifat-sifat kedaerahan yang diterapkan
dalam permainan alat-alat gamelan (karawitan) dan juga pada berbagai
permainan wayang. Dengan demikian, akhirnya kita mengenal adanya
sejumlah bentuk ‘gagrak’ tertentu, sesuai sifat khas kedaerahan
tertentu.
Penerapan gagrak tertentu, tidak saja dilakukan terhadap permainan alat-alat gamelan, tetapi juga terhadap garap, cara memainkan alat gamelan, aransemen, komposisi, pagelaran wayang, bentuk-rupa wayang, jenis wayang, cara berbicara (antawacana), cara menceritakan (janturan), sulukan (nyanyian dhalang), cara nembang (menyanyikan), atau senggakan
(vokal pengisi). Bahkan, sampai ke persoalan pakaian adat atau pakaian
tradisional yang digunakan, juga bisa sangat berbeda. Semua ini,
merupakan kekayaan budaya Nusantara yang luar biasa dan tak ternilai
harganya. Perkembangan seperti ini, jelas merupakan suatu perkembangan
yang bernuansa positif dan patut dihargai, dan diapresiasi.
Pakem dipahami sebagai suatu ‘kesepatan
bersama’ yang dirancang, dibuat, disepakati, dan dipatuhi oleh
sekelompok orang (seniman) pendukungnya. Pakem, di masa lampau memang
dikembangkan di pusat-pusat kekuasaan, seperti keraton atau pusat-pusat
pemerintahan (kerajaan). Jadi bayangkanlah, pakem ini di masa sekarang
kita kenal sebagai semacam ‘juklak’ (petunjuk pelaksanaan) atau ‘juknis’
(petunjuk teknis), yang digunakan untuk melaksanakan suatu pagelaran
karawitan dan/atau wayang.
Pakem, bukanlah sesuatu yang bersifat
mutlak, dogmatis, dan sama sekali tidak bisa berubah. Meskipun demikian,
dukungan yang sangat kuat terhadap suatu pakem tertentu, nyatanya
memang ada. Di masa lampau, dominasi pusat-pusat kekuasaan atau
pusat-pusat pemerintahan (kerajaan), memang sangat nyata. Karenanya, di
masa lalu terjadinya perubahan pakem boleh dikatakan sangat kecil
kemungkinannya untuk terjadi. Namun, sejalan dengan terjadinya
perkembangan budaya dan pergeseran pusat-pusat kekuasaan (pemerintahan),
pakem bergeser dan menjadi sesuatu hal yang tidak lagi terlalu dipatuhi
sebagai sesuatu yang bersifat dogmatis dan wajib diikuti.
Di sekitar tahun 1966, Ki Narto Sabdo,
seorang dalang wayang kulit purwa yang berasal dari Kota Semarang, mulai
‘melanggar pakem’ dengan menerapkan dua gagrak yang berbeda, yaitu
Surakarta dan Yogyakarta (Mataraman) dalam setiap pagelaran wayang kulit
purwa yang dimainkannya. Bahkan, pada masa berikutnya, beliau juga
menyisipkan gagrak Banyumasan dan bahkan mengkombinasikannya dengan
permainan gaya Sunda. Pada awalnya, semua yang dilakukan Ki Narto Sabdo
banyak ditentang orang, terutama mereka yang menjadi pendukung fanatik
gagrak-gagrak tersebut. Ketidak-sukaan terhadap apa yang dilakukan Ki
Narto Sabdo, bahkan sampai pada tindakan pelarangan mementaskan
pagelaran di suatu wilayah tertentu.
Tetapi, fakta yang didapat ternyata
berbeda. Kelompok-kelompok orang yang menentang Ki Narto Sabdo,
berhadapan dengan masyarakat luas yang tidak mempersoalkan apa itu
gagrak atau pakem tertentu. Bagi masyarakat pecintanya, pagelaran wayang
kulit purwa yang dilakukan Ki Narto Sabdo bisa diterima khalayak
penontonnya, serta ‘sangat memenuhi selera dan keinginan’ mereka. Bahkan
pada sekitar tahun 1971, hasil polling yang dilaksanakan oleh
RRI (Radio Republik Indonesia), menunjukkan bahwa Ki Narto Sabdo
merupakan dhalang paling populer di Indonesia (saat itu).
Sejak
peristiwa ini, sedikit demi sedikit, pagelaran wayang kulit purwa yang
menerapkan beberapa gagrak sekaligus, mulai cair dan tidak lagi dimusuhi
atau dipertentangkan. Bahkan, pada masa sekarang, kita bisa melihat
permainan dua atau tiga gagrak yang digabungkan dalam satu pagelaran
wayang kulit purwa, sudah merupakan kelaziman yang tidak lagi
dipersoalkan.
Meskipun kondisi pada masa sekarang sudah
sedemikian cair, tetapi pagelaran wayang (yang manapun), sebenarnya
tetap berkiblat pada suatu gagrak dan/atau pakem tertentu. Tentu saja,
seringkali dilengkapi dengan perubahan, penyesuaian, dan penggabungan
dengan gagrak lainnya. Karenanya, pada masa sekarang kita sangatlah
beruntung masih bisa menonton pagelaran-pagelaran wayang sesuai dengan
gagrak dan/atau pakem tertentu.
Pagelaran gagrak Surakarta
Pagelaran karawitan dan/atau wayang
gagrak Surakarta (Solo), umumnya sangat mengeksploitas permainan
alat-alat gamelan yang eksotis, rumit, dan anggun.
Pagelaran gagrak Yogyakarta
Di kalangan masyarakat awam, gagrak
Yogyakarta lebih dikenal sebagai gagrak Mataraman. Pagelaran karawitan
dan/atau wayang gagrak Yogyakarta (Mataraman), umumnya sangat
mengekspolitas permainan alat-alat gamelan yang bersifat ‘asli Mataram’,
penuh kerakyatan, dan penuh kebebasan berkespresi.
Pagelaran gagrak Banyumasan
Pagelaran karawitan dan/atau wayang
gagrak Banyumasan, lebih dikenal karena sangat dekat dengan gagrak
Pesisiran. Umumnya menampilkan pagelaran yang bersifat gembira, penuh
kelucuan, kerakyatan, banyak menerapkan ‘senggakan’,dan penuh sorak-sorai kegembiraan.
Pagelaran gagrak Semarangan
Pagelaran karawitan dan/atau wayang
gagrak Semarangan, banyak mengeksploitasi gendhing-gendhing berbasis
nada pelog. Gagrak Semarangan bisa dikatakan menerima dominasi yang kuat
dari gagrak Surakarta. Meskipun demikian, permainan karawitannya yang
banyak mengeksploitasi nada pelog, membuatnya sangat berbeda dan
berkesan sangat gagah.
Pagelaran gagrak Pesisiran
Pagelaran karawitan dan/atau wayang
gagrak Pesisiran, merupakan bentuk pagelaran yang paling banyak
mengeksploitasi permainan gendhing-gendhing yang berbasis nada ‘slendro barang miring’
(bernada minor). Ini merupakan salah satu kekhasan yang umumnya tidak
terdapat pada gagrak lainnya. Karenanya, permainan wayang, karawitan,
dan vokalnya; cenderung menampilkan warna dan suasana yang sendu,
romantis, dan juga sedih.
Pagelaran gagrak Jawa Timuran
Pagelaran karawitan dan/atau wayang
gagrak Jawa Timuran, mempunyai gaya yang sangat khas dan berbeda dengan
gagrak-gagrak lain yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kesan
kuat, merdeka, enerjik, dan garang; sangatlah terlihat tidak hanya pada
permainan alat-alat gamelannya, tetapi juga pada bentuk-rupa wayangnya.
Pagelaran gagrak Bali
Pagelaran karawitan dan/atau wayang
gagrak Bali, bisa dikatakan benar-benar bebda dengan yang ada di Pulau
Jawa. Banyak orang yang tidak tahu, bahwa gamelan Bali yang dipakai
sebagai kelengkapan karawitan wayang gagrak Bali, adalah gamelan
berbasis tangga-nada slendro, dan memakai ricikan gamelan berupa gender.
Karenanya, pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Bali menjadi
sangat eksotis dan sangat anggun. Ini akan merupakan pagelaran yang amat
sangat berbeda dengan pagelaran tari Bali misalnya (yang sudah sangat
terkenal).
Pagelaran gagrak Sunda
Pagelaran karawitan dan/atau wayang
gagrak Sunda, berkembang sangat pesat sejak sekitar tahun 1970-an.
Permainan karawitan gagrak Sunda, mulai menerima banyak perubahan sejak
masa itu sampai sekarang. Gaya permainan wayang yang sangat
mengeksploitasi tokoh-tokoh wayang tertentu, merupakan salah satu
kekhasan pagelaran wayang gagrak Sunda masa sekarang.
Pagelaran gagrak Luar Jawa
Pagelaran karawitan dan/atau wayang
gagrak Luar Jawa, seringkali sangat dipengaruhi kondisi geografis,
bahasa, dan adat kebiasaan setempat. Karenanya, pada masa sekarang kita
bisa melihat gagrak Luar Jawa ini berkembang di beberapa wilayah yang
berbeda, dan menghasilkan bentuk pagelaran karawitan dan/atau wayang
yang berbeda-beda pula. Misalnya, pagelaran wayang gaya Jambi,
Palembang, Banjar-Masin, Lombok, atau lainnya.
Pagelaran gagrak Cirebonan
Pagelaran karawitan dan/atau wayang
gagrak Cirebonan, bisa dikatakan merupakan gabungan beberapa gagrak yang
berbeda. Umumnya, merupakan gabungan gagrak Sunda (yang sangat
dominan), gagrak Banyumasan (Jawa), dan beberapa di antaranya juga
dengan gagrak Betawi. Pengaruh agama Islam dan budaya Cina, terasa
sangat lekat dengan berbagai pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak
Cirebonan.
Pagelaran gagrak Betawi
Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Betawi, secara umum sangat dipengaruhi oleh gagrak Sunda dan budaya Cina.
Posting Komentar untuk "Gagrak dan Pakem"