Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tribuana (Bagian 11)

Waktu terus bergelincir. Setelah tiba masanya, Hyang Antaga turun ke marcapada untuk menjalani hukuman. Ia berganti nama Togog. Menjadi sosok sudra yang tidak memiliki apa-apa. Hilang segala Kemewahannya, hilang kemegahannya, kejayaan, titisan raja dewa, semuanya sirna ternista oleh nafsu. Khilaf telah merenggut segalanya. Ia mencoba menguasai dirinya dengan segala kerendahan hati, menyesuaikan diri menjadi Tejamantri yang harus rajin berderma.
Dalam perjalanannya di marcapada, Togog belum juga mendapatkan petunjuk adanya tanda-tanda seorang raja denawa titisan Manikmaya. Sejauh ia melangkah, sepanjang jalan yang dilalui, Togog terus mencari sosok durjana yang ditakdirkan menjadi perusak marcapada. Tugasnya meng-insyafkan mereka yang lalim, mengembalikan dan meluruskannya di jalan yang benar, meninggikan kembali mereka yang hilang hakikat kemanusiaannya. Sungguh ini merupakan tugas yang sangat berat yang harus ia pikul sepanjang hayat yang nantinya harus ia bawa dan pertanggungjawabkan dikehidupan selanjutnya.
Berbeda dengan Hyang Ismaya yang juga telah turun ke marcapada dan berganti nama menjadi Semar. Ia yang telah berserah diri telah diberi petunjuk. Semar telah mengetahui titisan Manikmaya yang telah dinobatkan menjadi raja di marcapada. Ia adalah Batara Srigati putra Wisnu yang bergelar Sri Mahapunggung. Putra Wisnu dengan dewi Sri Sekar ini telah menjadi raja di negeri Medang Kemulan atau yang juga dikenal dengan nama negara Purwa Carita.
Tidak menunggu waktu lama, Semar beserta Bagong, Petruk dan Gareng segera menuju tanah Medang nan subur gemah ripah repeh loh jinawi. Kepada seorang raja muda gung bintara yang gagah perwira inilah Semar mulai menjalankan tugasnya, ia mengayomi, menjelma sebagai Badranaya yang membangun dari dasar untuk kembali menuju pada kemuliaan.
JONGGRINGSALAKA
Di istana Suralaya, Sanghyang Jagatnata memanggil Batara Narada. Dalam beberapa hari ia merasa adanya kejanggalani, sesuatu yang tidak seperti biasanya, yaitu perihal alunan gending Lokananta yang mengumandang sendu mendayu, melagukan suasana hati yang tengah dirundung malang. Hal tersebut membuat seisi penghuni Suralaya seakan ikut merasakan kegetiran hati yang dilagukan oleh Lokananta.
Batara Narada menjelaskan bahwa suara gending Lokananta yang bersumber dari dalam mustika cupu Linggamanik miliknya itu, dikarenakan suasana hati dari penghuni cupu sedang merasakan kesedihan, maka Lokananta pun akan seirama dengan kata hatinya. Penghuni cupu dan Lokananta seperti tidak terpisahkan, mereka menjadi satu rasa.
Mendengar penuturan Batara Narada, Sanghyang Jagatnata menjadi penasaran. Ia menanyakan perihal cupu tersebut lebih jauh kepada Batara Narada. Menurut Narada, di dalam mustika cupu Linggamanik bersemayam seorang putri jelita yang bernama dewi Lokawati, adapun perihal dewi Lokawati sendiri Hyang Narada tidak mengetahui secara pasti kapan ia mulai bersemayam di dalamnya, sebab semenjak ayahandanya, Sanhyang Caturkaneka menganugerahkan mustika tersebut, dewi Lokawati sudah berada lebih dulu di dalamnya.
Batara Narada lalu memberikan mustika Lingga Manik kepada Hyang Jagatnata, ia menyerahkannya sebagai cindra dikarenakan Jagatnata sangat menyukai alunan Lokananta. Sanghyang Jagatnata merasa senang dengan pemberian tersebut, namun ia masih menaruh rasa penasaran dengan penuturan Hyang Narada. Maka, Sanghyang Jagatnata membuka tutup cupu Linggamanik. Ajna Cakranya menembus ruang mustika yang tergenggam kecil ditangannya. Terlihat jelas oleh Sanghyang Jagatnata, bahwa di dalam cupu tersebut memang bersemayam seorang dewi yang elok rupawan.
Merasa tertarik dengan ke-elokan sang dara jelita, Hyang Jagatnata meminta sang dewi keluar dari dalam cupu, namun yang dipinta tidak mengindahkan. Dewi Lokawati tidak mau keluar dari dalam cupu. Ia hanya duduk terdiam sambil menundukan kepalanya membuat Sanghyang Guru merasa tersinggung diperlakukan seperti itu. Sikap dewi Lokawati membuat Jagatnata menjadi gusar, maka Jagatnata pun memaksa paksa sang dewi keluar dari dalam cupu dengan menjapa mantra aji sakti Kawrastawam (kawaspadan cipta). Sekejap netra, wujud dewi Lokawati telah bersimpuh di hadapan Sanghyang Jagatnata. Cahaya rupawan Lokawati yang memancar kemilau sungguh membuat Sanghyang Jagatnata berdecak kagum. Bagaikan sinar rembulan yang telihat jelas wujudnya. Keelokan sang dewi menggetarkan hati Jagatnata.
Untuk kedua kalinya Sanghyang Jagatnata kembali mengajukan permintaan. Jagatnata meminta dewi Lokawati untuk sudi menerima pinangannya. Ia berjanji akan menjadikan Lokawati sebagai kameswari pelengkap mutiara Jonggring Salaka. Bersanding dengan dirinya di dampar kencana Mercupunda. Tapi apa hendak dikata, Lokawati hanya tertunduk. Tidak ada satu jawaban pun yang terucap dari bibirnya.
Dua kali merasa ditolak, Sanghyang Jagatnata merasa tersinggung dengan sikap dewi Lokawati yang dianggap tidak menaruh hormat kepada dirinya sebagai raja Tribuana, kalifah para dewata di kahyangan.
Karena dewi Lokawati hanya tertunduk membisu, maka ia disabda oleh Jagatnata. Seketika itu juga tubuh dewi Lokawati sirna berganti rupa menjadi setangkai padi.
Hyang Narada terkejut bercampur haru melihat nasib dewi Lokawati. Narada menggugat Jagatnata agar tidak terlalu memaksakan nafsunya hingga menyebabkan penderitaan bagi orang lain. Tidak pantas bagi seorang raja Tribuana berperilaku seperti bangsa raksasa yang buas dan rakus. Narada pun mengingatkan Jagatnata yang telah memberi kemudahan syarat kepada Batara Kala untuk memakan mangsanya. Syarat tersebut dianggapnya masih sangat berbahaya, sebab bisa memusnahkan seluruh mahluk hidup di marcapada untuk dijadikan mangsa.
Khilaf telah menggelapkan nurani. Jagatnata merasa malu, ia meminta maaf kepada Hyang Narada atas segala kealpaannya. Ia meminta Hyang Narada untuk menanam setangkai padi jelmaan Lokawati di bumi Medang Kemulan. Untuk masalah Batara Kala, Hyang Jagatnata meminta Hyang Narada agar mengutus Wisnu untuk mensiasati agar bisa merubah syarat yang pernah ia tetapkan, sebab tidak mungkin jika dirinya sendiri yang merubah syarat dengan mendatangi Batara Kala, hal demikian akan dianggap bahwa dirinya menjilat ludah yang telah dibuang.
Berangkatlah Sanghyang Narada memenuhi perintah Sanghyang Jagatnata. Di tanah Medang ia menanam setangkai padi jelmaan dewi Lokawati. Dan selanjutnya Narada segera menuju kahyangan Untarasagara untuk menemui Wisnu yang akan mengemban tugas mensiasati Batara Kala.
Dengan menyamar sebagai seorang ahli cerita (dalang), Batara Wisnu dan beberapa dewa lainnya mengembara di berbagai pelosok negeri Purwa Carita. Disana, dari tempat ke tempat ia yang menyamar dan berganti nama menjadi dalang Kandhabuana. Mereka melakukan pertunjukan-pertunjukan dan acara ruwatan kepada masyarakat negeri Medang agar terhindar dari kala mangsa Batara Kala.
Saat Khandabuana sedang melakukan pertunjukan dan meruwat salah satu bocah untang anting, tiba2 datang Batara Kala yang membuat semua orang yang berada dalam pertunjukan tersebut berlarian ketakutan. Dengan sigap, Khandabuana menghadang batara Kala. Ia melarang Batara Kala yang ingin menyantap korbannya dengan alasan telah diruwat. Batara Kala tidak peduli. Ia memaksa akan mengambil anak untang anting untuk dijadikan mangsa atau Khandabuana yang akan jadi gantinya.
Perang tanding terjadi. Keduanya sama-sama sakti hingga suatu memporak porandakan tempat mereka beradu laga. Selanjutnya Khandabuana menggunakan siasat. Ia sengaja tidak mengelak saat saat Batara Kala hendak menangkapnya. Khandabuana ditangkap dan siap dikunyah, namun sebelum maksud Batara Kala kesampaian, dalang Kandhabuana membaca rajah kalacakra yang tertulis pada kening Batara Kala.
Batara kala terkejut! Ia menjadi ragu untuk memangsa Khandabuana. Ia teringat pesan ayahandanya, bahwa siapa yang mampu membaca rajah Kalacakra yang tertulis di kening Batara Kala, maka ia tidak boleh dijadikan mangsa, sebab ia merupakan kerabat para dewa di Suralaya dan menjadi duta bagi Sanghyang Jagatnata.
Saat itu juga Batara Kala melepaskan Khandabuana. Ki dalang mengingatkan sesuai dengan syarat yang ditentukan, Batara Kala harus membunuh mangsanya terlebih dahulu sebelum dimakan.Lalu Khandabuana meminta senjata Kalatadah yang kerap dipakai oleh Batara Kala untuk membunuh mangsanya. Batara Kala menuruti perintah ki dalang yang dianggap sebagai utusan ayahandanya. Namun saat pusaka Kalatadah berada dalam genggaman kidalang, tidak diduga oleh Batara Kala, ki dalang langsung mematahkan pusakanya. Batara Kala menggeram marah karena senjata yang dijadikan syarat untuk membunuh mangsanya telah dipatahkan, namun ia kembali bingung sebab yang dihadapinya adalah utusan ayahandanya.
Khandabuana selanjutnya meruat Batara Kala agar nafsu laparnya terkurangi, dan memerintahkan batara Kala untuk menjauh dari keramaian penduduk negeri. Batara Kala menurut patuh, ia segera meninggalkan Khandabuana. pergi kembali mengembara.

Posting Komentar untuk "Tribuana (Bagian 11)"