Ramayana : Tragedi Kiskenda
Syahdan di istana Jonggringsalaka, kahyangan Suralaya. Raja
Tribuana, Batara Guru tengah menggelar sidang paripurna para dewa.
Dalam sidang tersebut, Sanghyang Guru membicarakan perihal ancaman
Prabu Maesasura, raja siluman negara Goakiskenda yang telah ditolak
lamarannya atas Dewi Tara, putri Batara Indra yang bersemayam di
kahyangan Kaindran.
Sabda Sanghyang Girinata di dampar kencana mercupunda.
“Batara, Dewata, Jawata Sangsanga. Bersiaplah kalian untuk menghadapi kemungkinan ancaman Maesasura yang akan membuat kerusuhan di kadewatan Suralaya, karena lamarannya terhadap Dewi Tara telah ditolak. Kepada Indra, aku tugaskan memegang tanggungjawab memimpin pasukan kadewatan dalam menghadapi kekuatan balatentara siluman Goakiskenda yang akan membuat kerusuhan, mengganggu ketentraman Suralaya.”
Para dewa segera melaksanakan perintah Raja Tribuana, mereka lalu mempersiapkan diri menyongsong raja Duramaka yang berniat buruk terhadap ketentraman kadewatan. Batara Narada, Batara Bayu, dan Batara Brahma, ikut serta mendampingi Batara Indra.
Gebyar Jagatpramudita. Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap. Tiba-tiba Candradimuka menggelegar memuntahkan lahar panasnya. Asap hitam gimbalnya menggumpal di angkasa, menaungi kahyangan Suralaya, sebagai tanda akan terjadi huru-hara di kahyangan.
Tidak lama setelah kawah Candradimuka bergolak memuntahkan laharnya disertai asap hitam dan suara yang menggetarkan, dari arah gerbang Selamatangkep, dua duruwiksa penjaga gerbang kadewatan, Cingkarabala dan Balaupata berlarian menuju alun-alun kahyangan Suralaya. Keduanya melaporkan kepada Batara Narada bahwa balatentara siluman Goakiskenda telah terlihat sedang bergerak menuju kahyangan Suralaya.
Batara Narada dan Batara Indra memberi perintah kepada pasukan kadewatan agar secepatnya menghadang pasukan Goakiskenda di lereng gunung Mahameru. Batara Indra menghindari pertempuran di dalam lingkungan kahyangan, karena dikhawatirkan akan merusak tatanan Suralaya. Pasukan kadewatan yang dipimpin Batara Indra segera melesat terbang menyambut kedatangan musuh.
Sabda Sanghyang Girinata di dampar kencana mercupunda.
“Batara, Dewata, Jawata Sangsanga. Bersiaplah kalian untuk menghadapi kemungkinan ancaman Maesasura yang akan membuat kerusuhan di kadewatan Suralaya, karena lamarannya terhadap Dewi Tara telah ditolak. Kepada Indra, aku tugaskan memegang tanggungjawab memimpin pasukan kadewatan dalam menghadapi kekuatan balatentara siluman Goakiskenda yang akan membuat kerusuhan, mengganggu ketentraman Suralaya.”
Para dewa segera melaksanakan perintah Raja Tribuana, mereka lalu mempersiapkan diri menyongsong raja Duramaka yang berniat buruk terhadap ketentraman kadewatan. Batara Narada, Batara Bayu, dan Batara Brahma, ikut serta mendampingi Batara Indra.
Gebyar Jagatpramudita. Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap. Tiba-tiba Candradimuka menggelegar memuntahkan lahar panasnya. Asap hitam gimbalnya menggumpal di angkasa, menaungi kahyangan Suralaya, sebagai tanda akan terjadi huru-hara di kahyangan.
Tidak lama setelah kawah Candradimuka bergolak memuntahkan laharnya disertai asap hitam dan suara yang menggetarkan, dari arah gerbang Selamatangkep, dua duruwiksa penjaga gerbang kadewatan, Cingkarabala dan Balaupata berlarian menuju alun-alun kahyangan Suralaya. Keduanya melaporkan kepada Batara Narada bahwa balatentara siluman Goakiskenda telah terlihat sedang bergerak menuju kahyangan Suralaya.
Batara Narada dan Batara Indra memberi perintah kepada pasukan kadewatan agar secepatnya menghadang pasukan Goakiskenda di lereng gunung Mahameru. Batara Indra menghindari pertempuran di dalam lingkungan kahyangan, karena dikhawatirkan akan merusak tatanan Suralaya. Pasukan kadewatan yang dipimpin Batara Indra segera melesat terbang menyambut kedatangan musuh.
Di lereng gunung Mahameru, pasukan kadewatan telah menghadang
pasukan Goakiskenda. Dua kubu siap tempur sudah saling berhadapan,
mereka telah siap menunggu perintah dari pimpinan mereka
masing-masing.
"Oladalaa… Maesasura! Kau telah berani mengancam ketentraman Suralaya. Hyang Otipati akan menghukum perbuatanmu. Ingat Maesasura! Dulu Manikmaya pernah menaklukan Goakiskenda dan mengampunimu. Untuk itu, sebelum semuanya terlanjur, lebih baik kau dan seluruh pasukanmu kembali ke Goakiskenda." Batara Narada mencoba mengingatkan Prabu Maesasura, agar raja Duratmaka itu membatalkan maksudnya yang ingin membuat makar di kadewata.
Maesasura dan Lembusura adalah dua siluman raksasa kakak beradik penghuni kerajaan Goakiskenda. Maesasura menobatkan dirinya menjadi raja di Goakiskenda, dan Lembusura diangkat menjadi patihnya. Nama Maesasura sendiri mengandung arti, Maesa = Kerbau, Sura = Berani atau sakti. Wujud Prabu Maesasura adalah raksasa berkepala Kerbau. Sedangkan Lembusura berwujud raksasa berkepala Sapi, sesuai dengan namanya, Lembu = Sapi, Sura = Berani atau Sakti. Prabu Maesasura memiliki tunggangan seekor singa bermuka raksasa bernama Jatasura.
Rakyat Goakiskenda adalah sebangsa siluman binatang yang beraneka rupa bentuknya. Dahulu, sewaktu Sanghyang Manikmaya baru dinobatkan menjadi Raja Tribuana oleh Hyang Tunggal, kerajaan Goakiskenda pernah dijajah. Maesasura dan Lembusura pernah ditaklukan oleh Hyang Manikmaya. Dan ternyata keduanya masih menyimpan dendam, ingin membalas kekalahannya, maka keduanya berguru kepada seorang resi sakti mandraguna yang bernama Resi Wisalodra. Agar daya kekuatan dan kesaktian mereka berlipat ganda sukar ditandingi, keduanya lalu menyatukan jiwa. Dua wadag dalam satu jiwa. Jika yang satu mati, maka yang satunya lagi akan menghidupkan.
Prabu Maesasura mendengus, geramannya menggetarkan bumi yang dipijak. “Huahahaha… Hei para dewa! Kalian pikir cuma kalian yang digjaya! Kalau dulu Manikmaya pernah menaklukan Kiskenda, kini aku datang untuk membalas kekalahan itu! Katakan pada si Manikmaya, serahkan Dewi Tara kepadaku atau kahyangan akan aku tumbuhi gelagah alang-alang!”
Perkataan Prabu Maesasura membuat telinga Batara Indra menjadi panas, dengan mengendarai gajah perang Erawata, Batara Indra maju ke depan.
"Jumawa! Lancang mulutmu, Maesasura! Hari ini akan ku antar kematianmu, melebur bersama nafsu angkaramu di panasnya kawah Candradimuka!"
Dua pasukan langsung saling serang ketika pimpinan mereka masing-masing memberi perintah tempur. Perang pun terjadi di lereng gunung Mahameru, dahsyatnya membuat suasana sekitar lereng menjadi porak poranda. Batara Indra yang menunggangi gajah perang Erawata melesat ke udara, disusul oleh Prabu Maesasura dengan menunggangi Jatasura. Mereka terlibat perang tanding di angkasa, sama-sama saling adu kesaktian dan saling adu senjata pusaka.
"Oladalaa… Maesasura! Kau telah berani mengancam ketentraman Suralaya. Hyang Otipati akan menghukum perbuatanmu. Ingat Maesasura! Dulu Manikmaya pernah menaklukan Goakiskenda dan mengampunimu. Untuk itu, sebelum semuanya terlanjur, lebih baik kau dan seluruh pasukanmu kembali ke Goakiskenda." Batara Narada mencoba mengingatkan Prabu Maesasura, agar raja Duratmaka itu membatalkan maksudnya yang ingin membuat makar di kadewata.
Maesasura dan Lembusura adalah dua siluman raksasa kakak beradik penghuni kerajaan Goakiskenda. Maesasura menobatkan dirinya menjadi raja di Goakiskenda, dan Lembusura diangkat menjadi patihnya. Nama Maesasura sendiri mengandung arti, Maesa = Kerbau, Sura = Berani atau sakti. Wujud Prabu Maesasura adalah raksasa berkepala Kerbau. Sedangkan Lembusura berwujud raksasa berkepala Sapi, sesuai dengan namanya, Lembu = Sapi, Sura = Berani atau Sakti. Prabu Maesasura memiliki tunggangan seekor singa bermuka raksasa bernama Jatasura.
Rakyat Goakiskenda adalah sebangsa siluman binatang yang beraneka rupa bentuknya. Dahulu, sewaktu Sanghyang Manikmaya baru dinobatkan menjadi Raja Tribuana oleh Hyang Tunggal, kerajaan Goakiskenda pernah dijajah. Maesasura dan Lembusura pernah ditaklukan oleh Hyang Manikmaya. Dan ternyata keduanya masih menyimpan dendam, ingin membalas kekalahannya, maka keduanya berguru kepada seorang resi sakti mandraguna yang bernama Resi Wisalodra. Agar daya kekuatan dan kesaktian mereka berlipat ganda sukar ditandingi, keduanya lalu menyatukan jiwa. Dua wadag dalam satu jiwa. Jika yang satu mati, maka yang satunya lagi akan menghidupkan.
Prabu Maesasura mendengus, geramannya menggetarkan bumi yang dipijak. “Huahahaha… Hei para dewa! Kalian pikir cuma kalian yang digjaya! Kalau dulu Manikmaya pernah menaklukan Kiskenda, kini aku datang untuk membalas kekalahan itu! Katakan pada si Manikmaya, serahkan Dewi Tara kepadaku atau kahyangan akan aku tumbuhi gelagah alang-alang!”
Perkataan Prabu Maesasura membuat telinga Batara Indra menjadi panas, dengan mengendarai gajah perang Erawata, Batara Indra maju ke depan.
"Jumawa! Lancang mulutmu, Maesasura! Hari ini akan ku antar kematianmu, melebur bersama nafsu angkaramu di panasnya kawah Candradimuka!"
Dua pasukan langsung saling serang ketika pimpinan mereka masing-masing memberi perintah tempur. Perang pun terjadi di lereng gunung Mahameru, dahsyatnya membuat suasana sekitar lereng menjadi porak poranda. Batara Indra yang menunggangi gajah perang Erawata melesat ke udara, disusul oleh Prabu Maesasura dengan menunggangi Jatasura. Mereka terlibat perang tanding di angkasa, sama-sama saling adu kesaktian dan saling adu senjata pusaka.
Pasukan siluman Goakiskenda yang telengas dan beringas terus
merangsak menggempur pasukan kadewatan bersama Mahapatih Lembusura.
Walau pasukan kadewatan melepas pusaka-pusaka dan daya-daya kesaktian,
namun Lembusura yang mengamuk membabi buta membuat pasukan
kadewatan terdesak.
Di atas tebing yang menjulang tinggi, Batara Narada, Batara Bayu,
dan Batara Brahma memperhatikan jalannya peperangan. Setelah melihat
kekuatan pasukan lawan mampu mendesak pasukan dewa, Batara Narada
memberi isyarat kepada Batara Bayu dan Batara Brahma untuk segera
terjun ke gelanggang perang. Bayu dan Brahma langsung melesat terjun
ke palagan yuda. Kehadiran keduanya membuat pasukan Kiskenda
berbalik terdesak oleh kesaktian Batara Bayu dan Batara Brahma.
Batara Bayu mengeluarkan aji Bayubajra yang menimbulkan angin topan
prahara yang sangat dahsyat. Benteng topan itu menghantam pasukan
Goakiskenda hingga balatentara siluman banyak yang gugur, hancur dan
bermentalan dihempas gelombang angin. Lembusura menerjang menghadapi
kekuatan Bayu. Benteng topan Bayubajra ditabrak hingga berbalik arah
menghantam Batara Bayu. Dewa penghuni kahyangan Panglawung itu
dihantam oleh kekuatannya sendiri, ia terpental jatuh menghantam
bebatuan gunung hingga longsor.
Disaat yang sama, di atas angkasa Batara Indra melepas pukulan
halilintar. Gelegar kilat menjilat tubuh Prabu Maesasura hingga tubuh
raksasa itu jatuh dari punggung Jatasura. Begitu pula dengan Jatasura
yang lengah karena melihat rajanya jatuh, ia pun luruh dihantam
pusaka Bajra oleh Gajah Erawata. Maesasura dan Jatasura jatuh ambruk
di tengah-tengah pertempuran. Pasukan kadewatan bersorak melihat
raja siluman Kiskenda telah roboh dihantam halilintar Indra, tetapi
sorak para dewa hanya sekejap, sebab mereka melihat Prabu Maesasura
kembali bangkit dari kematiannya.
Batara Brahma mengeluarkan aji Banaspati. Api menyala keluar dari
tubuh Brahma. Api Banaspati membumbung kian membesar dan kemudian
melesat hendak menghantam Lembusura, namun Prabu Maesasura yang telah
berdiri tegar menerjang dan menendang Banaspati hingga api Brhama
membuyar menghantam balik kearah pasukan kadewatan. Para dewa menjerit
terbakar api Brahma. Batara Indra dengan cepat melepaskan pusaka
Chandrasa melindungi pasukan kadewatan. Seketika hujan turun deras
memadamkan kobaran api.
Hiruk pikuk pertempuran menyamarkan pandangan mata. Kabut gunung,
asap, api, debu dan derasnya hujan dimanfaatkan oleh Prabu Maesasura
untuk menerobos masuk ke dalam kahyangan. Dengan menggunakan aji
halimun, Maesasura dan Jatasura pergi meninggalkan medan perang, mereka
menembus gerbang Selamatangkep. Secara diam-diam mereka menyelinap
ke kahyangan dan terus menerobos masuk mencari wisma Papariwarna,
tempat bersemayamnya para bidadari.
Perang masih berkecamuk, para dewa dan siluman saling begalan pati,
begitu pula dengan Lembusura yang bertarung menandingi Brahma,
tetapi Batara Indra sendiri merasa curiga ketika ia tidak lagi
mendapati Mahesasura dan Jatasura dalam hiruk pikuknya pertempuran.
Nalurinya mengatakan bahwa putrinya tengah menghadapi bahaya, maka
ia segera melesat menuju kahyangan Suralaya.
Di kahyangan Suralaya, Batara Indra sangat marah ketika melihat para
bidadari berteriak-teriak ketakutan, berhamburan keluar dari wisma
Papariwarna. Prabu Maesasura telah berhasil menculik Dewi Tara,
putri Batara Indra itu telah tergolek pingsan di bahu kiri Prabu
Maesasura.
"Bedebah licik! Kalian memang sebangsa Duratmaka yang tidak memiliki tatakrama!"
Perang tanding kembali terjadi antara Batara Indra dan Prabu
Mahesasura, tetapi Indra menjadi kebingungan ketika ia hendak
mengeluarkan kesaktian halilintar, sebab putrinya berada dalam
cengkeraman lawan. Prabu Maesasura tidak menyia-nyiakan kesempatan,
Batara Indra ditanduk, dan Gajah Erawata di tendang hingga mental.
Melihat Indra dan Erawata masih terkapar, Prabu Maesasura segera pergi
meninggalkan kahyangan. Ia melesat terbang bersama Jatasura.
Sementara itu Lembusura yang sedang menghadapi kesaktian Brahma
beberapa kali dihantam dengan aji Banaspati. Batara Bayu tidak tinggal
diam, ia membantu Brahma dengan aji Bayubajra. Api dan angin saling
menggulung melabrak Lembusura. Mahapatih Goakiskenda itu ditangkap
dan digelandang oleh Batara Bayu dan Brahma, kemudian Lembusura
ditusuk dengan Pacanaka hingga tubuhnya robek. Pada saat bersamaan
dari atas angkasa, Prabu Maesura yang telah meninggalkan kahyangan
melihat Lembusura sedang digelandang para dewa, Prabu Maesasura dan
Jatasura menukik menerjang Batara Bayu dan Batara Brahma. Kedua dewa
itu dihantam dengan pusaka Gada, lalu dari mulut Prabu Maesasura
keluar kobaran api yang sangat besar, menandingi api Brahma. Para
dewa tersurut mundur menghindari ancaman Maesasura.
Lembusura yang telah terkapar kemudian disentuh oleh Maesasura,
seketika Mahapatih Goakiskenda sembuh dari kematiannya. Prabu Maesasura
kemudian memberi isyarat kepada Lembusura untuk menarik pasukan
kembali ke Goakiskenda.
Batara Indra dengan Erawatanya baru sampai ketika Prabu Maesasura
bersama pasukannya telah pergi meninggalkan medan perang. Batara Indra
berniat mengejar pasukan Kiskenda tetapi Batara Narada mencegah.
Batara Narada menyarankan agar Indra menarik pasukannya kembali ke
Suralaya dan melaporkan peristiwa tersebut kepada Raja Tribuana.
Batara Narada memanggil Hyang Baruna, ia meminta tolong untuk
menyembuhkan dan menghidupkan kembali para dewa yang pingsan dan
palastra dengan Tirta Kamandalu.
Merasa kewalahan menghadapi Maesasura dan Lembusura, Batara
Guru dan Batara Narada turun ke Arcapada mencari jago dewa yang dapat
mengalahkan Prabu Maesa Sura dan Lembu Sura Batara Guru menaiki lembu
Andini sedangkan Batara Narada mengikuti kepergian Batara Guru.
Sesampai di atas sungai Yamuna Batara Guru melihat cahaya sebesar
lidi aren yang memancar kelangit. Ternyata pancaran cahaya berasal dari
Dewi Anjani yang sedang bertapa . Batara Guru iba hatinya melihat Dewi
Anjani jarang sekali mendapatkan makanan yang masuk dalam mulutnya.
Batara Guru memetik daun sinom atau daun asam yang masih muda, dan
melemparkan kedepan mulut Dewi Anjani. Melihat ada makanan dihadapannya,
Dewi Anjani segera melahapnya. Apa yang terjadi.
Dengan kesaktian Batara Guru, Dewi Anjani menjadi berbadan dua, wajah
dan anggota badan yang berwujud kera kembali menjadi seorang dewi yang
cantik jelita. Kelak Dewi Anjani melahirkan seorang anak berwujud kera
putih, yang diberi nama Anoman. Batara Guru memanggil beberapa
bidadari untuk memberi pakaian dan merias wajahnya. Kemudian Batara Guru
memerintahkan para bidadari untuk membawa Dewi Anjani ke kahyangan.
Batara Guru dan Batara Narada melanjutkan perjalanan ke hutan
Sunyapringga menemui Subali yang sedang bertapa ngalong disebuah pohon
besar. Subali dibangunkan dan diajak menemui Sugriwa. Mereka akhirnya
bertemu dengan Sugriwa. Batara Guru menitahkan kepada Subali dan Sugriwa
untuk menyelamatkan Dewi Tara yang diculik Prabu Maesasura dan
Lembusura. Dan jika berhasil, akan diberi hadiah Dewi Tara untuk
diperistri. Setelah memberikan pesan – pesan Batara Guru dan Batara
Narada kembali ke kahyangan.
Tak berlama-lama, segeralah mereka menuju ke Goa Kiskenda.
Sesampainya di Goa Kiskenda mereka dihadang pasukan Kiskenda, setelah
melalui pertempuran sengit akhirnya mereka dapat mengalahkan para
pasukan Goa Kiskenda dan berhasil membebaskan Dewi Tara. Demi
keselamatan Dewi Tara, Subali member tugas pada Sugriwa untuk membawanya
keluar dari goa terlebih dahulu sementara Subali akan menghadapi
Maesasura dan Lembusura.
Subali gundah hatinya Didalam hati ia tidak yakin mereka bisa
mengalahkan Prabu Maesasura dan Lembusura, sedangkan para dewa saja
tidak sanggup untuk mengalahkannya. Subali berpesan kepada Sugriwa
menunggu didepan pintu goa saja. Sedangkan Subali sendiri yang akan
melawan Prabu Maesasura dan Lembusura. Apabila nanti ada darah merah
yang mengalir ke pintu goa, berarti Subali dapat mengalahkan Maesasura
dan Lembsura. Dan apabila ada darah putih yang mengalir kepintu goa,
adalah pertanda Subali mati dan diminta Sugriwa menutup pintu goa.
Sugriwa menangis mendengar pesan kakaknya namun Sugriwa siap
melaksanakan perintahnya. Seperti kita ketahui Subali berdarah putih
disamping Begawan Bagaspati dan Prabu Puntadewa.
Mendengar kegaduhan yang terjadi Prabu Maesasura dan Lembu Sura
keluar dari istana. Mereka mendapati Dewi Tara sudah hilang dan hanya
ada seorang manusia kera yang ada di hadapannya, ya Subali. Kontan
meledaklah amarah Maesasura dan Lembusura. Tanpa basa-basi mereka
langsung mengroyok Subali. Kali ini lawan Subali sangat tangguh,
berkali-kali Prabu Maesasura tewas, kemudian dilompati Lembusura, Prabu
Maesasura hidup kembali demikian pula sebaliknya.
Dengan sisa tenaga yang ada Subali segera membenturkan kedua kepala
musuhnya sehingga hancur berkeping-keping. Darah dan otak prabu
Maesasura dan Lembusura mengalir kesepanjang goa. Sugriwa yang waktu itu
termangu menunggu kakaknya terkejut melihat darah merah dan darah
putih mengalir bersama sama ke pintu goa. Sugriwa menangisi kematian
kakaknya. Sugriwa berpikir bahwa kakaknya, Subali tewas, setelah
berhasil mengalahkan Maesasura dan Lembusura, terbukti ada darah merah
yang mengalir bersama darah putih kakaknya.
Sesuai pesan kakaknya Sugriwa menutup pintu goa dengan batu-batuan.
Sugriwa pergi ke kahyangan untuk menyerahkan Dewi Tara dan melaporkan
kejadian yang telah terjadi di Goa Kiskenda. Di kahyangan, Sugriwa
diterima Bathara Guru. Menurut Batara Guru, Batara Guru akan
menganugerahkan Dewi Tara kepada Sugriwa untuk menjadi istrinya. Dengan
berat hati Sugriwa menerimanya, karena ia merasa yang lebih berhak
adalah Subali. Sugriwa bersama Dewi Tara kemudian meninggalkan kahyangan
menuju goa Kiskenda.
Sementara itu Subali terjebak dalam goa. Subali marah karena adiknya
berbuat curang padanya. Subali lupa dengan pesan pesan yang diberikan
pada adiknya. Subali bersemadi mohon pertolongan dewa untuk membuka
pintu goa. Dengan kekuatan penuh Subali menghantam batu-batuan hingga
hancur berkeping-keping.
Setelah keluar dari goa, Subali berangkat ke kahyangan menemui
Batara Guru. Subali melaporkan semua kejadian pada Batara Guru. Batara
Guru tidak bisa berbuat apa-apa. Karena Dewi Tara sudah terlanjur
diberikan kepada Sugriwa, karena Subali dianggap sudah tewas. Namun
Batara Guru tidak akan melupakan jasa Subali. Diberikannya kepada Subali
aji Pancasona yang mempunyai kekuatan hebat. Aji Pancasona menjadikan
pemiliknya menjadi sakti dan tidak mati apabila tubuhnya menyentuh
tanah.
Sementara itu Sugriwa dan Dewi Tara telah bersemayam di Goa Kiskenda.
Tidak lama kemudian Subali memasuki istana Goa Kiskenda, melihat
adiknya sedang bersanding dengan Dewi Tara, Subali langsung menarik
Sugriwa dan memukulnya.
Ditariknya tubuh Sugriwa sehingga keluar dari goa. Perkelahian
terjadi antara kedua kakak beradik. Keduanya tidak ada yang mau mengalah
sehingga perkelahian mereka berlangsung sampai beberapa hari beberapa
malam. Subali sangat geram. Tubuh Sugriwa akhirnya dilempar jauh keluar
wilayah Goa Kiskenda. Sugriwa jatuh di hutan Pancawati.
Untuk membaca kisah lengkap Ramayana silakan Klik Disini.
Posting Komentar untuk "Ramayana : Tragedi Kiskenda"