Ramayana : Sinta Obong
Sisa-sisa perang dahsyat masih terasa. Di sana-sini, terlihat  
gedung-gedung, kantor-kantor pemerintah, rumah-rumah penduduk, atau  
bangunan lain yang porak-poranda; hangus dan hancur berkeping-keping  
bercampur darah kering; darah para korban perang yang tak berdosa. Bau  
busuk mayat yang tak sempat terkubur menyengat hidung. Peristiwa tragis 
 yang meluluh-lantakkan sendi-sendi peradaban dunia pewayangan baru saja
  berlangsung. Hampir dua bulan lamanya, para penduduk dipaksa hidup 
dalam  ancaman desingan peluru, ledakan bom, atau dentuman meriam. 
Dampaknya  benar-benar dahsyat. Dalam sekejap, bumi Alengka (nyaris) 
rata dengan  tanah, kecuali kawasan-kawasan tertentu yang dinyatakan 
sebagai zona  bebas perang.
Memang, perang yang menghebohkan itu berhasil menamatkan riwayat  
kekuasaan rezim Rahwana yang dikenal korup, lalim, bengis, dan  
sewenang-wenang. Namun, tidak lantas berarti situasi pascaperang menjadi
  lebih baik. Kondisi keamanan justru makin kacau. Perampokan dan  
penjambretan merajalela. Angka pengangguran melonjak drastis. Anak-anak 
 terancam putus sekolah. Para gelandangan berkeliaran di sudut-sudut  
kota. Hal itu diperparah dengan sikap penguasa baru yang lamban dalam  
mengantisipasi perubahan.
Gunawan Wibisono yang telah ditahbiskan sebagai presiden baru dinilai
  tidak menunjukkan sikap sense of crisis. Dia justru makin bernafsu  
menghabisi kekuatan-kekuatan lama yang masih tersisa. Mantan-mantan  
pejabat beserta keluarganya diuber-uber. Mereka yang melakukan  
perlawanan langsung “tembak di tempat”. Semua wayang yang dicurigai  
sebagai antek rezim lama disikat tanpa diadili. Yang mengherankan,  
Penasihat Ramawijaya yang dulu dianggap sebagai sosok demokrat sejati,  
tidak berusaha meluruskan kebijakan-kebijakan sang presiden yang nyleneh
  dan berlebihan.
“Maaf, menurut pendapat saya, kebijakan Pak Gunawan benar-benar  
terlalu berlebihan. Main sikat seenaknya. Iya kalau benar, kalau salah  
sasaran? Apa justru tidak akan menjadi bumerang bagi kewibawaan beliau  
sendiri?” kata Jenderal Hanuman dengan jidat berkerut di ruang kerja  
Penasihat Ramawijaya yang sejuk.
“Sudahlah, Hanuman! Perang baru saja usai. Aku yakin, beliau masih  
memiliki idealisme untuk membangun negeri Alengka dengan caranya  
sendiri!” sahut Ramawijaya tanpa menatap sang jenderal.
“Tapi, Pak …”
“Sudahlah, sekarang urus saja pekerjaanmu! Gembleng itu para prajurit
  dengan baik! Negeri ini sangat membutuhkan prajurit-prajurit yang  
tangguh!”
“Siap, Pak! Tapi jika kebijakan Pak Gunawan terus dibiarkan, saya  
khawatir banyak rakyat yang makin tidak simpati. Apalagi, rakyat Alengka
  saat ini benar-benar hidup dalam kesulitan! Mereka butuh rasa aman,  
butuh pekerjaan, butuh penghidupan yang layak!”
“Ah, itu persoalan yang gampang diatasi! Pak Gun pasti sudah memiliki
  rencana yang matang untuk membikin rakyat negeri ini hidup makmur dan 
 sejahtera! Oh, iya, Jenderal, bagaimana keadaan istriku, Shinta, di  
Taman Argasoka? Prajurit-prajuritmu masih setia menjaganya?”
“Tentu saja, Pak! Itu memang sudah menjadi kewajiban mereka! Tapi,  
maaf, kenapa Ibu ditempatkan di Taman Argasoka, tidak bersama Bapak?”  
jawab Hanuman balik bertanya.
“Sebelum aku mendapatkan bukti-bukti kesucian Shinta, aku memutuskan 
 untuk pisah ranjang! Coba bayangkan Jenderal, berbulan-bulan lamanya  
Shinta disekap Rahwana! Siapa yang dapat menjamin kalau Shinta masih  
dalam keadaan suci?”
“Lantas, maksud Bapak?”
SINTA
“Aku ingin menguji kesucian Shinta lewat pati obong. Aku berharap,  
Shinta tetap hidup dan segar-bugar. Itu artinya, dia benar-benar  
perempuan suci dan terhormat! Namun jika meninggal, jelas dia telah  
ternoda. Lebih baik begitu daripada aku harus berdampingan dengan  
perempuan kotor!” jawab Ramawijaya dengan vokal yang berat dan tertahan.
  Hanuman tak bisa bereaksi apa-apa. Jenderal berbintang empat dari  
Kendalisada itu hanya bisa mengelus dada dan geleng-geleng kepala  
mendengar kenekadan junjungannya.
“Sudahlah Hanuman! Kamu tidak usah bengong seperti itu. Tolong  
sampaikan pada Shinta, dia harus membuktikan kesuciannya di tengah  
kobaran api!” tegas Ramawijaya.
“Ttt… tapi …”
“Sudahlah! Ini perintah, Jenderal! Sekaligus saya ingin memberikan  
contoh kepada rakyat bahwa menegakkan hukum itu tidak boleh pandang  
bulu!” Ah, menegakkan hukum apa rasa cemburu yang berlebihan? Gumam  
Hanuman pada dirinya sendiri.
Di tengah-tengah kondisi negeri yang kacau, Presiden Gunawan masih  
sibuk dengan kepentingan pribadinya; menghabisi mantan-mantan pejabat  
yang dianggap akan menjadi penghalang kekuasaannya. Demikian juga  
Ramawijaya. Penasihat Alengka itu bukannya meluruskan kebijakan sang  
presiden, melainkan justru memanjakan perasaan sentimentilnya; menguji  
kesetiaan sang istri melalui cara yang amat tidak populer; pati obong.  
Tampaknya, kedua elite negeri Alengka itu tengah mengalami euforia  
kemenangan perang, sehingga melupakan ribuan, bahkan jutaan rakyat yang 
 tengah menantikan perbaikan nasib.
Jenderal Hanuman benar-benar seperti tengah berhadapan dengan buah  
simalakama. Nuraninya sebagai wayang yang akrab dengan rakyat  
benar-benar terluka menyaksikan para penguasa yang sibuk mementingkan  
dirinya sendiri. Namun, loyalitasnya sebagai jenderal tak memungkinkan  
dia untuk berkata “tidak” di depan atasan. Beberapa saat lamanya,  
Hanuman hanya bisa termangu. Kepalanya benar-benar puyeng berat.
“Maaf, Jenderal, sejak tadi kok melamun terus? Ada yang bisa saya  
bantu?” seloroh Trijatha secara tiba-tiba dari sudut Taman Argasoka yang
  rindang.
Hanuman blingsatan. Wajahnya memerah begitu melihat gadis  Alengka 
yang diam-diam memikat hatinya itu. Di medan perang, Hanuman  memang 
dikenal sebagai prajurit tangguh. Ratusan musuh bisa dia  taklukkan 
hanya dalam hitungan detik. Namun, menghadapi seorang  Trijatha, dia 
tampak gugup dan salah tingkah. Keringat dingin meleleh di  sudut 
jidatnya.
“Eeem, nggak! Eee… saya mendapat perintah dari Penasihat Rama untuk  
menemui Dewi Shinta! Ada hal penting yang ingin kusampaikan!” sahut  
Hanuman tergagap.
“Oh, kalau begitu mari saya antar!” kata Trijatha sambil tersenyum ramah. Hati Hanuman makin berdenyar-denyar tak keruan.
“I..iyya, terima kasih!”
Begitu bertemu dengan Dewi Shinta, Hanuman segera menyampaikan  
perintah junjungannya. Tapi aneh! Dewi Shinta tidak menampakkan sikap  
nervous. Bahkan, ketulusan dan kepasrahan tampak memancar dari tatapan  
matanya yang cerah.
“Inilah saat yang aku tunggu Hanuman! Saya ingin menunjukkan, tidak  
hanya kepada Kanda Rama, tapi juga kepada dunia bahwa aku benar-benar  
perempuan suci! Seandainya aku mati, paling tidak aku sudah menunjukkan 
 kesetiaan dan kepatuhan kepada lelaki yang aku cintai!” kata Shinta  
dengan bola mata berbinar-binar.
“Tapi, maaf, Bu, jangan lupa mohon petunjuk kepada Sang Pencipta!”
“Terima kasih, Hanuman! Pesan Sampeyan akan saya laksanakan!”
Pertemuan selesai. Dewi Shinta segera melakukan kontak dengan penasihat spiritualnya, Narada.
“Kamu tidak usah khawatir, Shinta! Kesucianmu akan sanggup memadamkan
  kobaran api. Seandainya kayu-kayu di hutan Alengka ini ditebangi untuk
  membakarmu, tubuhmu akan tetap segar-bugar! Yakinlah! Pasrahkan jiwa  
ragamu kepada Sang Pencipta!” kata Narada dengan vokalnya yang khas.  
Dewi Shinta semakin mantab. Nyalinya tumbuh berlipat-lipat.
Sementara itu, di alun-alun kota Alengka, para penduduk sudah  
tumpah-ruah mengerumuni tumpukan kayu kering. Baru kali ini mereka akan 
 menyaksikan sebuah peristiwa langka yang mungkin tak akan pernah  
terulang sepanjang zaman; pati obong. Alun-alun seperti tak sanggup  
menampung luapan ribuan wayang yang datang secara bergelombang dari  
berbagai penjuru Alengka. Mereka lupa terhadap segala penderitaan hidup 
 sehari-hari; tak peduli lagi terhadap kemiskinan yang menjerat dan  
menelikung nasib mereka. Ribuan pasang mata terpusat pada tumpukan kayu 
 kering yang tak lama lagi akan digunakan untuk memanggang tubuh Dewi  
Shinta. Wartawan media cetak dan elektronik pun makin sibuk mengabadikan
  peristiwa yang akan menjadi bagian dari sejarah negeri Alengka  
pascaperang itu. Sesekali, mereka mengarahkan kamera ke wajah Penasihat 
 Ramawijaya dan Presiden Gunawan Wibisana yang duduk di atas panggung  
kehormatan.
Maka, ribuan pasang mata pun terbelalak ketika menyaksikan tubuh  
seorang perempuan bergaun serba putih dengan rambut tergerai panjang  
berkelebat dari balik Taman Argasoka. Ya, dialah Dewi Shinta yang akan  
menjalani “eksekusi” pati obong. Dengan kawalan ketat para prajurit,  
perempuan itu tampak anggun melenggang menuju tumpukan kayu. Yang  
terjadi kemudian adalah teriakan dan pekik histeris dari mulut ratusan  
perempuan begitu tumpukan kayu yang telah disiram bensin itu disulut  
oleh seorang prajurit. Dalam sekejap, api pun berkobar menjilat dinding 
 langit. Terdengar ledakan dan suara gemeretak dari pilar-pilar kayu 
yang  terbakar. Alun-alun Alengka panas dan bergetar. Para penduduk 
terus  merangsek dan merapat menuju kobaran api. Dalam benak mereka, 
tubuh Dewi  Shinta telah hangus jadi abu.
Teriakan dan pekik histeris kian menjadi-jadi. Sebentar lagi, nama  
Dewi Shinta akan menjadi bagian dari sejarah masa lalu. Para penduduk  
Alengka tak bisa menyaksikan lagi aura keanggunan yang selalu memancar  
dari balik tubuh perempuan molek itu. Namun, bola mata para penduduk  
membelalak lebar ketika kobaran api makin menyusut. Mereka menyaksikan  
tubuh Dewi Shinta tetap segar-bugar, bahkan makin tampak cantik dan  
memesona. Mereka benar-benar tak percaya menyaksikan pemandangan  
menakjubkan itu. Mereka hanya bisa terpaku dengan mulut menganga ketika 
 Dewi Shinta menggeliat dan berjalan anggun menuju panggung kehormatan. 
 Penasihat Ramawijaya menyambut kedatangan perempuan suci dan terhormat 
 itu dengan kebahagiaan yang sempurna.
“Wahai, rakyat Alengka! Ini bukti bahwa kami tidak main-main dalam  
menegakkan hukum. Siapa pun yang bersalah, entah itu melakukan korupsi, 
 menipu, merampok, atau melakukan pelanggaran yang lain, akan kami 
tindak  tegas tanpa pandang bulu! Kami ingin mewujudkan negeri Alengka 
yang  damai, aman, adil, makmur, dan sejahtera!” kata Presiden Gunawan  
Wibisana dengan vokalnya yang serak dan berat. Rakyat Alengka bersorak. 
 Aplaus meriah membahana ke seluruh penjuru langit.
“Ah, biasa! Penguasa baru memang suka mengumbar janji! Buktikan dong,
  jangan omong melulu!” celetuk seseorang dari pojok alun-alun di  
sela-sela tepuk-sorak yang membahana.
“Hus! Jangan keras-keras! Kedengaran anthek penguasa baru tahu rasa Sampeyan!” sahut yang lain.
“Ah, biarin! Kenyataannya memang begitu kok!”
“Hus, diam! Cerewet amat sih!” ***
Oleh : Sawali Tuhusetya
 Note : Gunawan Wibisana adalah tokoh yang terkenal dengan kebijaksanaannya, jika cerita tentang Wibisana di atas tidak sesuai dengan karakter Wibisana yang sesungguhnya mohon diabaikan saja, mungkin sang penulis hanya menyampaikan pikirannya atas kenyataan yang ada saat ini
Untuk membaca kisah lengkap Ramayana silakan Klik Disini.

1 komentar untuk "Ramayana : Sinta Obong"
follow blog saya juga ya