Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Wisanggeni dan Antasena


Mungkin untuk saat ini, banyak orang pasti akan tertawa terutama para kawula muda sekarang, ketika ada temannya yang berusia sebaya berbicara masalah wayang. Bahkan mereka akan mengatakan kuno bagi para kawula muda penyuka wayang. Nggak gaul gitu lhoooh...hari gini masih suka wayang....capcay..dech.. Pasti ungkapan tersebut akan tercetus begitu saja tanpa tedeng aling-aling. Atas nama ke(modern)an, dan sebagai anak gaul para kawula muda telah banyak yang enggan menampilkan kebudayaan sendiri. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian banyak terjadi pengklaiman oleh negara lain terhadap kebudayaan negeri ini.

Wayang adalah peninggalan para leluhur bangsa ini, yang saat ini mungkin dianggap oleh sebagian masyarakat khususnya para kawula muda sudah tidak modern lagi, meskipun begitu wayang tetap merupakan salah satu dari ribuan kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa ini yang memuat nilai-nilai luhur. Dari segi alur cerita pewayangan sarat dengan tuntunan falsafah-falsafah kehidupan. Bahasa yang dipergunakan dalam pewayangan adalah bahasa yang sangat indah dan halus tata bahasanya. Kalau diurutkan dari urutan terendah maka bahasa pewayangan yang dipakai adalah bahasa yang tertinggi tingkatannya baik dari segi tata bahasanya ataupun dari segi keindahannya, yaitu bahasa kraton. Bahasa kraton adalah bahasa yang dipergunakan didalam lingkungan kraton.

Dalam tata bahasa Jawa ada tingkatan-tingkatan bahasa yaitu bahasa Ngoko, Ngoko Alus, Krama Madya, Krama Inggil dan yang terakhir adalah bahasa kraton. Untuk memahami akan falsafah-falsafah kehidupan yang terdapat dalam cerita pewayangan minimal bisa memahami akan bahasa yang dipakai dalam pewayangan. Pemahaman disini adalah pemahaman dalam suatu kesatuan kalimat, bukan per kata. karena kalau per kata memang sangat susah sekali, kalaupun bisa kadang bisa berbeda artinya ataupun maknanya. Supaya bisa memahami bahasa yang dipergunakan dalam pewayangan maka harus mempunyai perasaan senang terlebih dahulu terhadap cerita wayang. Orang Jawa sendiri belum tentu juga bisa memahami akan cerita yang dimaksud. Namun demikian, hal tersebut jangan kemudian menjadi penghalang untuk bisa memahami akan wayang. Yang penting adalah tumbuhkan dulu akan rasa senang akan wayang. Mungkin diawali dari mendengarkan goro-goro. Goro-goro yaitu suatu adegan dimana para punakawan di tampilkan. Dan biasanya pada saat goro-goro ini bahasa yang dipakai adalah bahasa jawa yang mudah dipahami dan penuh dengan kelucuan.

Kemudian selain petuah-petuah yang bisa diambil dari segi alur cerita juga petuah-petuah tersebut bisa diambil dari bentuk fisik wayang. Dalam bentuk fisik wayang tersebut ternyata juga mempunyai makna yang sangat dalam. Misalnya, tokoh wayang yang bernama Gareng. Wujud Gareng dalam pewayangan diwujudkan dengan kondisi fisik yang tidak sempurna. Gareng diwujudkan dalam kondisi tangan yang thekle, kakinya juga dalam kondisi semper. Ternyata didalam kondisi fisik yang demikian mempunyai arti bahwa sesosok Gareng dengan tangan thekle digambarkan sebagai manusia yang tidak suka colong jupuk atau mencuri, serta kondisi kaki yang semper dimaksudkan bahwa Gareng tidak suka berjalan menuju tempat maksiat. Dalam mendalang, kadang-kadang sang dalang biasanya mengungkapkan juga mengenai asal mula kenapa bentuk wayang seperti itu, dan dijadikan perumpamaan akan falsafah tentang hidup.

Dalam pewayangan ada beberapa tokoh yang kontroversial. Pengertian kontroversial disini tidak diartikan dengan konotasi yang negatif, melainkan karena ada beberapa wayang dalam bertutur kata kepada siapapun tidak bisa bertutur kata menggunakan bahasa yang halus atau dalam istilah jawanya tidak bisa berbicara dengan bahasa krama inggil. Tokoh tersebut adalah Werkudara, Antasena, dan Wisanggeni. Ketiga tokoh tersebut senantiasa berbicara ngoko atau berbicara dalam bahasa keseharian. Berkaitan dengan tokoh-tokoh kontroversial tersebut, dalam tulisan ini akan mencoba mengangkat sedikit tentang profil Antasena dan Wisanggeni. Kalau Werkudara sudah banyak yang tahu apa dan siapa Werkudara itu, sedangkan Antasena dan Wisanggeni mungkin belum banyak yang tahu, khususnya kawula muda sekarang.


Antasena adalah putra dari Werkudara dengan istri Dewi Urang Ayu. Cucu dari Batara Mintuna Antasena, kalau dalam militer sekarang adalah sebagai angkatan lautnya pandawa, sedangkan angkatan darat dikuasa Antareja, untuk angkatan udara dikuasai oleh Gatotkaca. Ontorejo merupakan hasil dari perkawinan antara Werkudara dengan Dewi Nagagini, sedangkan Gatotkaca juga putra Werkudara dari istri Dewi Arimbi. Antasena merupakan tokoh yang tidak pernah bertutur kata dengan bahasa halus, baik kepada orangtuanya, paman-pamannya bahkan kepada Batara Guru, ataupun Dewa-dewa yang lain, walaupun tidak pernah bertutur kata dengan bahasa yang halus namun Antasena senantiasa memegang teguh yang namanya kejujuran dan tetap hormat kepada yang lebih tua. Dalam cerita pewayangan Antasena digambarkan sebagai tokoh yang ceplas ceplos, apapun yang menjadi ganjalan didalam hatinya langsung dia ungkapkan tanpa rasa sungkan, selain itu apabila ada yang salah ataupun berbuat sewenang-wenang maka Antasena tanpa mengenal rasa takut akan memerangi siapapun yang berbuat salah dan semena-mena, walaupun yang melakukan itu adalah seorang Batara Guru. Antasena dikaruniai kesaktian yang tinggi, bahkan sekelas dewapun tidak ada yang mampu mengalahkan kesaktian Antasena.

Wisanggeni sifat dan perilakunya sama juga dengan Antasena. Senantiasa memegang teguh akan sebuah kejujuran. Sakti Mandraguna, dalam berbicara juga tidak bisa menggunakan bahasa yang halus. Wisanggeni juga ceplas ceplos tanpa tedheng aling-aling dalam berbicara. Dalam pewayangan kesaktian Wisanggeni juga tidak ada yang bisa mengalahkan. Dalam sebuah lakon pewayangan yang mengangkat tema Wisanggeni Gugat digambarkan bagaimana kesaktian Wisanggeni yang dipergunakan untuk mengobrak-abrik kahyangan dikarenakan para Dewa khususnya Batara Guru telah berlaku semena-mena terhadap kakeknya, yaitu Batara Brama. Wisanggeni adalah cucu dari Batara Brama hasil perkawinan anak Batara Brama yang bernama Dewi Dersanala dengan Arjuna.
Antasena dan Wisanggeni adalah sosok yang tidak ada bisa mengalahkan baik oleh para dewa maupun manusia biasa bahkan hawa nafsupun tidak bisa mengalahkannya. Dengan kesaktian yang sempurna Antasena dan Wisanggeni tidak diperbolehkan ikut dalam perang Baratayuda. Hal ini dikarenakan tidak ada yang akan mampu menandingi kesaktian mereka berdua dalam perang tersebut. Selain itu juga musuh-musuh para pandawa juga telah ditetapkan oleh para Dewa. Misalnya Arjuna, ketika perang Baratayuda musuhnya adalah Karna, kemudian Werkudara musuhnya juga telah ditetapkan yaitu Dursasana, untuk memenuhi sumpah Werkudara/Dewi Drupadi terhadap Dursasana yang telah mengganggu Dewi Drupadi dalam perang Dadu.

Dari sedikit profil tentang Antasena dan Wisanggeni ada pelajaran yang bisa diambil yaitu tentang kejujuran, dimana untuk era modern ini ternyata kejujuran itu sangat mahal harganya. Selain itu juga meskipun kesaktiannya sangat tinggi, Antasena dan Wisanggeni tidak semena-mena kepada setiap orang, dan dengan kesaktiannya pula Antasena dan Wisanggeni senantiasa membela apa yang seharusnya itu benar. Berbeda halnya dengan sekarang ini yang mempergunakan aji mumpung. Mumpung mempunyai kekuasaan bisa nilep duit rakyat, mumpung mempunyai duit banyak bisa semena-mena terhadap orang lain. Bahkan dengan kekuasaan dan kesaktiannya menjadi yang benar menjadi salah dan salah menjadi benar.

Artikel ini diambil dari : http://waris-design.blogspot.com/2010/08/wisanggeni-dan-antasena.htm

2 komentar untuk "Wisanggeni dan Antasena"

Unknown 20 Juli 2013 pukul 12.34 Hapus Komentar
nuwun sewu nderek kopas
Unknown 20 Juli 2013 pukul 22.54 Hapus Komentar
Antasena & Wisanggeni dilarang berperang hanya untuk mengalihkan cerita kembali ke versi asli Mahabarata sehingga sengaja dihilangkan ketika perang bharata akan dimulai untuk menjaga keaslian cerita Mahabarata karena 2 tokoh ini asli ciptaan pujangga Indonesia.