Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kerja, Karya dan Dharma

 

Pernah diungkapkan bahwa bagi orangJawa “antara pekerjaan, interaksi dan doa tidak ada perbedaan prinsip hakiki”(Magnis-Suseno, 2001: 82) dengan demikian setiap aktivitas atau gerak dirisepenuhnya dikontrol oleh ‘kesadaran akan’. Dan derivasi dari seluruh filsafatJawa adalah ‘mematenkan’ pengetahuan itu dalam sebuah karya. Hakikatnya, karyaadalah puncak pengejawantahan hidup yang sesungguhnya bagi orang Jawa.

Dari jaman gemilang itu dikenal dan dikenanglahberbagai Pujangga, Pustaka, Pusaka dan Pusara, sebagai museum hidup: situs danritus kebudayaan, bahkan hingga keberadaannya hari ini. Namun demikian patutdicatat, pasca Ronggowarsito yang sering disebut sebagai pujangga penutup, ataupasca jatuhnya laskar-laskar Diponegoro (1825-1830), wajah Jawa banyakmengalami pergeseran dan perubahan. Jawa tidak lagi menghasilkan daur hidupyang sejatinya. Hal ini diperparah lagi bahwasanya priyayi-priyayi Jawa sebagaikelas menengah dalam struktur hierarki sosial Jawa tidaklah memainkan peranyang cukup signifikan. Namun
kemerosotan itu tertutupi dengan sosialisasi kesenian di tengahmasyarakat—sebab memang hanya itulah yang dapat mereka lakukan. Mengomentarisituasi tersebut, dalam sebuah terbitannya 42 tahun lalu, Anderson mengatakan :
“Di pedesaan perubahan terjadidengan lebih lambat, dan disanalah budaya jawa yang tua paling kuatmempertahankan pegangan atas jiwa manusia. Meskipun demikian, musim gugur telahtiba. Pada pohon kebudayaan Jawa daun-daun jatuh satu per satu” (2003: 70).

Yang ada bagi Jawa hari ini adalahkebudayaan sebagai komoditas, utamanya komoditas wisata. Satu yang tersisa,katakalah demikian, adalah WAYANG. Bagaimanapun bentuknya kini kesenian inidapat terus bertahan—walau toch tetap berada dalam nuansa yang mengharukan—dania dipercaya sebagai salah satu gawang pertahanan terakhir Jawa hari ini.Padanyalah Jawa sebenarnya menyandarkan diri.

Wayang memainkan peran pentingdalam sejarah Jawa walaupun ia dianggap tidak asli berasal dari Jawa.Penelitian mengenai asal usul wayang sendiri belum mencapai kata sepakat hinggahari ini. Wayang dianggap berasal dari India dan dibuat pada kitaran 8-9 SMoleh Vyasa (Kresna Dvipayana).

Namun demikian bukan nama Vyasasaja yang menjadi kandidat bagi penulis Mahabarata, ada dua orang penutur laindi samping Vyasa tadi, mereka adalah Ugrasravas dan Vaisempayana. Awalnya kitabini terdiri dari sekitar 24.000 kuplet dan pada gilirannya berkembang hinggamenjadi 100.000 kuplet (Amir, 1997:42).
Lakon wayang Jawa sendiriseringkali mengadaptasi dua epik besar, Mahabarata dan Ramayana ataupuncarangannya (cabang ceritanya) dan ini berlangsung sejak awal perkembangannya.Di Jawa, misalkan, lakon Arjunawiwaha, atau paling tidak dalam bentuk sastranyadisadur pertama kali pada masa Prabu Dharmawangsa, abad ke-11 M, sementaraRamayana disadur sedikit lebih dahulu.

Lalu Kakawin Ramayana dibuat ± 903M oleh Yogisvara. Kakawin ini mengikuti versi Bhattikavya yang dibuat diKhasmir pada abad ke-5 M dan tidak menyantumkan buku pertama dan terakhirValmiki, yakni Bale Kanda dan Uttara Kanda. Yang menarik, tidak berselang lamadari penyadurannya, Kakawin Ramayana langsung dipentaskan. Hal ini dibuktikandengan prasasti Balitung, “… si Geligi buat Hyang macerita Bhima ya kumara…”
atau “Geligi mengadakan pertunjukan wayang dan mengambil lakon Bima muda”(Amir, 1997: 34, 40).

Wayang menjadi suatu bentukkesenian yang khas, utamanya karena sebenarnya ia berasal dari tradisi keratonnamun kemudian justru hidup dalam rakyat kebanyakan. Menurut Geertz (1981: 358)ini karena sifat rakyat kebanyakan cenderung ritualis, politheis dan magissementara para priyayi cenderung dekat yang mistik-pantheis dan spekulatif.

Secara sosial wayang memilikiposisi istimewa karena ia dianggap sebagai salah satu bentuk kesenian yangmampu menjembatani sekat-sekat yang ada. Ben Anderson (2003: 12) menyebutnyasebagai,

“….mitologi religius yang diterimahampir secara universal, yang mampu membina suatu keterikatan intelektual danemosional yang mendalam. (…) mitologi wayang Jawa adalah suatu upaya untukmenjelajahi secara puitis posisi eksistensial orang Jawa, hubungan-hubungannyadengan tatanan alam nyata dan dunia gaib, kepada sejawatnya dan kepada dirinyasendiri. Sangat kontras dengan agama-agama besar Timur Dekat, bagaimanapun,‘agama’ wayang tidaklah memiliki Nabi, Kitab Suci atau Sang Penebus. Tradisiini tidak memandang dunia dalam perlintasan gerak yang linear, ataupunmengkhotbahkan pesan keselamatan universal. Tidak juga dia menawarkan ekstasesebagaimana pewahyuan masa depan seperti dalam tradisi
Kristen, semata pasang-surut Waktu yang ajek”.

Penjelasan Anderson ini menunjukkanrelativisme wayang, termasuk nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yangmungkin sejalan dengan penjabaran istilah wayang yang ditengarai berasal darikata bayang. Yang dikotomis dalam wayang adalah logika komplementer yang palingmendasar dari hidup. Yang dikotomis ini tidak saja berlaku pada saat ataukejadian melainkan juga pada tokoh, peran, karakter dan fungsi mereka yangbersinggung satu sama lain dan Anderson menyebut seluruh persinggungan inisebagai “ketegangan yang selaras dan kestabilan yang energetik dariWeltanschauung” atau mengikuti rumusan Claire Holt, “dunia stabil yangdidasarkan pada konflik”.

Ambillah sebagai contoh, KresnaDuta. Lakon terkenal yang menggambarkan turun tangannya Kresna dalamBaratayuda. Kresna yang titisan Wisnu menjadi tokoh yang mengetahui apa yangharus dan apa yang akan. Tidak ada yang merintangi kehendaknya untuk mengikutidan memenuhi ketetapan takdir. Pada lakon tersebut digambarkan bagaimana empatekor kuda beserta tokoh pengiringnya itu sebenarnya menjawab sifat komplementerdari panteon hindu sekaligus serangan syirik (charges of ideolatry) yang kerapditudingkan kepada wayang, selain koneksitas Kalimasada milik Yudhistira danKalimat Syahadat Sunan Kali Jaga.

Sifat Warna
Merah : Api Amarah Marah
Hitam : Bumi Aluamah Makanan
Kuning : Air Sufia Kesenangan
Putih : Udara Mutmainah Kesucian

Keempat kuda jelas dipadankandengan empat nafsu, daya atau energi yang harus diarahkan pada satu tujuan.Nafsu empat akan berguna bagi kehidupan jika ia tidak dikacaukan hasratpenguasaan. Ia bukan hal yang patut dipertentangkan apalagi dihindarkan. Hidupnyatanya membutuhkan kekuataan dan gairah. Terkendalinya ego—yang berada dilintang empat itu— pada gilirannya akan mendorong pencapaian yang lebih tinggilagi, yakni bersatunya: Rasa yang diwakili oleh Batara Narada; Roh-BataraRespati; Nafsu-Batara Parasu; Budi-Batara Janaka (Arjuna); dalam Diri yanghidup-Kresna (Lih. Woodward, 1999: 281, bdk. Stange,
1998: 57-58).

Para Pandawa sendiri seringkali diasosiasikan denganpanca indera sekaligus perlambang sifat. Dan orang Jawa senang sekalimemadu-madankan sifat-sifat itu bagi dirinya maupun bagi kepentingan pedagogikyang lebih luas, bagi anak-anak mereka. Bima adalah lambang kekuatan sekaligusketulusan. Pertemuannya dengan dirinya melalui Nawaruci adalah contoh palingklasik yang kemudian ‘meruwat’ kekurangannya: berjalan maju tanpa menimbangbimbang. Yudhistira adalah gambaran bagi altruisme sampai pada titikmengorbankan diri dan akhirnyakepentingan yang lebih besar. Ia seringkali terjebak pada perasaan ‘tidak dapatberkata tidak’ dan dengan begitu selalu mem-butuhkan saudara-saudaranya untukmengambil putusan yang berkait dengan kebijakan publik.

Sementara Arjuna, saking satria-nyatega untuk melakukan kekejaman dibalik kehalusan budi, watak dan penampilannya.Secara esensial wayang kerap membuka ruang perdebatan filsafat sekaligus contohkasus paling banyak dikutip.Tengoklah Gatholoco. Ia menanyakan manakah yang lebih tua, dalang, wayang,layar atau blencong. Ahamd Arif menjawab layar, Abduljabar menebak dalang danAbdul manaf menyebut wayang. NamunGatholoco malahan menjawab yang paling tua adalah blencong. Dalam penjelasannyablencong diartikan sebagai wahyu Allah, layar adalah simbol dari raga, wayangadalah sejatinya suksma dan dalang tiadalain adalah Sang Rassulullah.

“Dalang sekedar menggerakkanwayang, menurut perintah si penanggap, yang bernama Kyai Sepi. Semuanya sepitanpa ada, adanya digelas sungguh-sungguh, abadi tak kunjung berubah, tidakkurang tidak lebih, tanpa aturan tanpa kegunaan, yang lebih menguasai atasgerak gerik wayang ucapan dalang. Yang menyaksikan
hanya Si Kyai hidup. Bila lampu telah padam, semuanya hampa, tak adaapa-apanya, bagai diriku sebelum dilahirkan, tetap kosong tak ada sesuatu apapun. Lampu adalah wahyu kehidupan, seumpama Tuhan, cahaya hidup ini, menguasaidirimu luar dan dalam, bawah dan atas. Wujudmu adalah wujud Tuhan YangMahakuasa” (dalam Sumardjo, 2002: 332).

Ke-khasan wayang tidak semataberkutat pada siapa atau apa yang terlibat di dalamnya. Tiga babak besar dalamtiap pertunjukan wayang pun disebut Stange (1998: 66) sebagai gambaran dariproses ‘evolusi spiritual’.
Wayang biasanya dimulai pada pukulsembilan. Tiga jam pertama ini di kenal sebagai pengantar. Prolog ataskejadian, sebuah sebab-akibat yang kelak akan. Orang menyebut fase ini denganPathet Ném. Kata Ném sendiri kemudian diidentikkan dengan kata enom atau muda.Dicabutnya gunungan dari gedhebok pisang oleh sang dalang adalah lambangkelahiran yang dua, yakni pehelaan antar binary dalam kehidupan.

Pada tengah malam pertunjukan akanmemasuki Pathet sanga. Masa ini diasosiasikan sebagai masa seorang dewasamemandang masalah, memilah dan menetapkan suatu nilai bagi dirinya. Pada masaini Para Punakawan muncul dengan gojekan-gojekannya yang sarkas. Digambarkanpula bagaimana seorang tokoh berusaha menyelesaikan masalah. Biasanyapenggambaran ini diwujudkan dengan usaha mempertemukan diri dengan diri malaluijalan tapa, menyepi dan lain sebagainya.
Geertz (1981: 369) menjelaskanusaha ini (tapa, menyepi, dsb) tidaklah dapat dipadankan dengan penolakan atashidup. Yang tepat adalah pengunduran diri sementara atau dalam bahasanya“…bukanlah pelarian diri dari kehidupan, tapi pelarian dalam hiduplah yangdipuji” karena inilah sesungguhnyaetik satria. Pengunduran diri dengan demikian berfungsi untuk mempertemukanDiri dengan Realitas Akhir, sebuah usaha untuk meniadakan emosi yang duniawai.Dengan cara ini energi akan terfokus menjadi kekuatan besar yang bermanfaat. Pilihanpada akhirnya akan bergantung pada bagaimana tokoh tersebut melihat kontekspermasalahan, “…mistik adalah sebuah ilmu yang netral secara moral dan bisajuga digunakan setiap orang. Ia membawa pengetahuan; dan sebagaimana halnyailmu pengetahuan pada umumnya,pengetahuan itu merupakan kekuasaan untuk kebaikan maupun keburukan” (Geertz:1981: 366).

Usaha tapa, nyepi dan sebagainyaini sebenarnya dapat dipadankan dengan usaha penjarakan atau yang lebih dikenalsebagai distansiasi pada masyarakat modern. Ketika seseorang mempertanyakanyang mistis (yang diniscayai pun sekedar dipercayai tanpa di fikir) dengandemikian ia telah berada di ruang ontologis. Fase yang ontologis inilah yangpada gilirannya akan memperlihatkan fungsi dan senyatanya peran. Etik ksatriabermain di aras ini. Seperti layaknya Arjuna yang kejam atas nama keharusan‘nasib’, tiap tokoh pada gilirannya akan memainkan perannya masing-masing danwajib menyelesaikan tugasnya. Tidak ada yang dapat merubahkewajiban—bagaimanapun beratnya atau naifnya—itu kecuali perumusan ulangmengenai peran dan posisi tadi.

Puncaknya adalah persiapan bagiperang ageng dari tokoh yang telah menjadi ksatria itu. Pathet Manyura atauBurung Merak adalah fase akhir dari perjalanan tersebut. Fase ini dimulaisekitar pukul tiga dini hari sampai menjelang fajar dan merupakan gambaran bagisebuah hari tua. Ia filosofis dan seakan memapar sisi-balik-senyap: sebuahkesimpulan akhir dari penggal perjalanan hidup.

Patut diketahui, sebagai lakoncarita, Ramayana walau sama-sama menghadirkan satu epos besar sebenarnyatidaklah mendapat tempat yang sama dengan Mahabarata. Orang Jawa cenderungmenyukai yang kedua. Mahabarata dianggap memiliki totalitas, tiap tokoh dapatdikatakan memiliki perjalanan sendiri-sendiri. Paling tidak ini terbukti daribanyaknya carangan yang dihasilkan sementara Ramayana hanya berkutat pada satualur besar yang dianggap cenderung statis dan linear. Yang juga menarik adalahhadirnya Buto (raksasa) dan juga Sang Punokawan: Semar beserta anak-anaknya; Gareng,Petruk dan Bagong.

Buto adalah mahluk yang selalu adabaik dalam lakon Ramayana maupun Mahabarata. Ia tidak memiliki nama, tidakmemi-liki leluhur dan ti-dak datang dari satu kerajaan. Katakanlah ia semacammahluk tanpa identitas dan ber-curriculum vitae kosong. Namun demikian iaselalu hadir, ada, pun ketika ke-matian telah menjemput.

Mereka ini pada suatu waktu akanhidup lagi dan begitulah seterusnya. Geertz menjelaskan (1981: 363) imortalitasini bagi orang Jawa kemudian disejajarkan dengan gambaran nafsu yang harusselalu ditiadakan. Satu kali berhasil bukan berarti selamanya manusia telahterbebas darinya (nafsu). Magnis-Suseno (2001: 166-167) menyebut fungsi butosebagai pengontras antara ‘yang Jawa dan bukan Jawa’ sekaligus pembelokan dari tragikgelap Mahabarata. Secara teknis buto berfungsi adalah pengulur, penyekat danmenjaga adegan.

Buto cakil kali pertama diciptakanpada masa Sultan Agung. Sebelumnya tokoh itu tidak ada sama sekali. Biasanyamereka tampil pada adegan perang kem-bang atau perang bambangan. Padaperkem-bangannya dikenal pula Buta Rambut Geni. Konon buta ini adalahrepresentasi londo-londo-manusia kulit berwarna yang datang dan menjadiimprealis di Nusantara (lebih lengkap lih. Sutini, Sejarah PerkembanganKesenian Wayang, pada http://www.javapalace.com)

Sementara Punakawan, ia diamini berasal dari Jawa.Pada mitos India tokoh ini sama sekali tidak dikenal. Istilah Semar sendiridiyakini berasal dari bahasa Arab, Ismar yang berarti paku. Itulah kemudianpaku orang Jawa itu dijadikan gelar oleh Keraton Surakarta, Pakubuwono(Woodward, 1999: 329). Itulah mengapa Semar seringkali dianggap sebagairepresentasi Nabi Jawa di luar Dewa. Ia dianggap lebih membumi dan lebih mautahu dengan perkara Jawa dibanding dengan tokoh-tokoh (impor) lainnya. Semardikenal juga dengan nama sang Hyang Ismaya. Ia adalah saudara Sang Hyang ManikMaya atau umum disebut Batara Guru. Semar ini juga memiliki saudara yangsifatnya berbanding terbalik dengannya, yakni Sang Hyang Tejamaya aliasTejamantri. Tejamantri atau disebut Togog oleh masyarakat Sunda, terkenalkarena sifat menghambanya kepada mereka yang mampu membayar lebih (Tentangkelahiran Togog dan Semar dan mengapa mereka jelek lihat Ensiklopedi Wayang,hal. 238).

Di satu sisi, Orang Jawa sendirimenganggap Semar sebagai guru spiritual Arjuna walaupun ia selalu berselorohsarkas, tak tahu basa, kasar, pendek, jelek, hitam dan sering kentut-an. Merekajuga mempercayai bahwa Bagong, salah satu anak Semar dilahirkan dari bayanganSemar sendiri. Ketiga anak Semar, Gareng, Bagong dan Petruk adalahpengejawantahan dari masa lalu, masa kini dan masa depan. Dan tidak ada yangmelebihi Semar dalam mistitisme Jawa, sekalipun Batara Guru, Raja para Dewa,saudaranya itu. Tetapi walau dipercaya sebagaiguru spiritual Pandawa, pada dasarnya Semar hanyalah abdi, rakyat kebanyakan,pada umumnya petani dan sama sekali bukan bangsawan apalagi berdarah biru.

Kenyataan itu sangatlah paradoks,namun di titik itulah kemanunggalan justru mawujud. Semar pun menjadi esensidan padanyalah mengerucut segala kebijaksanaan. Semar adalah Dewa tapi iasekaligus Manusia dan walau manusia ia bukan sekedar manusia. Semar adalahsamar dan ia bukan sembarang. Dalam “Semar Mencari Raga”, Sindhunatamenganalogikan Semar sebagai pohon Mandira yang tumbuh diantara bulan danmatahari. Semar yang tengah risau karena ia menganggap diri tidak mengetahuidan mengenal dirinya sendiri akhirnya mendapat titah dari Sang Hyang Tunggaluntuk mencari raga.

Sebelum keberangkatannya, SangHyang Tunggal berkata kepada Semar, “Pohon Mandira itu adalah pohon petang danterang, pohon itu tidak memisahkan matahari dan bulan, siang dan malam. Makakau adalah samar, ya Semar. Janganlah kau samar terhadap kegelapan, jangan pulakau samar terhadap terang. Hanya dengan hatimu yang samar, kau dapat melihatkegelapan dan terang, kebaikan dalam kejahatan (…) Wajahmu pucat seperti mayat.Kau bagaikan manusia yang sudah sirna.

Dalam hidupmu Semar, sudahterkandung kematian. Hanya kehidupan yang berani membawa kematian dalamdirinya, kehidupan itulah yang akan berlanjut dengan keabadian (…) Kau adalahdhudha nanang nunung. Dadamu bersusu seperti wanita. Namun kau berkuncungseperti pria. Maka sulitlah memastikan apakah kau lelaki atau wanita. Kau kuatseperti lelaki. Kau subur bagaikan wanita. Kau adalah bapa langit dan ibu bumi.Rupamu jelek, Semar, namun dalam dirimu lelaki dan wanita bersatu. Dalamdirimu, lelaki hidup bukan karena kegagahannya, wanita hidup bukan karena kecantikannya.Dalam dirimu, Semar, lelaki dan wanita hidup dan berada karena cinta. Maka kau,yang jelek, sang dhudha nanang nunung ini juga adalah juga Sang Asmarasanta. Melihat dirimu, Semar, walaurendah, sudra dan papa, orang akan tertarik akan keutamaan, karena dalam dirimuada sejatinya cinta lelaki dan wanita” (1996: 10-12).

Begitu pentingnya tokoh ini sampai-sampai pada perkembangannya kemudian Semardikaitkan dengan wacana kekuatan rakyat, khususnya petani. Stange (1998: 138)mengatakan, “sejak era India, gerakan petani telah mengkristal dengan berbagaiharapan bahwa ratu adil yang baru akan muncul untuk memperbaiki tatanan jamanyang kacau dan mengembalikan masyarakat dalam keseimbangan dengan alam”.

Dengan demikian posisi Semar yang menjembatani massa rakyat dengan keraton atauporos kekuasaan memang menjadi ideograph yang penting bagi para milenaris.Condongnya gagasan ‘perebutan kekuasaan’ menjadi daya tarik yang kemudianberusaha di kelola pada masa pasca Indonesia Merdeka. Kasus paling nyata adalah,sebut saja manuver politik yang dilakukan oleh Preseiden kedua RI, Soehartountuk meng-counter para oposannya. Pada masa awal naiknya, Soehartomelegitimasi kekuasaannya dengan sepenggal surat yang terkenal dengan sebutanSupersemar, Surat Perintah 11 Maret (1966).

Stange sendiri kemudian menafsirkanbahwa Soeharto berusaha memainkan mitos Sabdopalon—sebagai reinkarnasi Semarpada masa akhir berdirinya Majapahit—dan mengutipnya seakan dialah yangmemperolah wahyu yang telah dijanjikan sabdopalon itu. Seperti telahdijelaskan, Majapahit memang dianggap sebagai puncak dari pertemuan diri dengandiri. Artinya, orang Jawa merasa disanalah puncak hakikat Jawa berhasil

dimanifestasikan. Dalam cerita Darmogandhul memang dituturkan bahwa setelahkejatuhan Majapahit, jati diri Jawa juga akan sirna bersamaan dengan sirnanyaSabdopalon. Tetapi Sabdopalon mengatakan bahwa akan ada masanya ‘jaman buda’yaitu jaman ketika seorang Jawa kembali berkuasa dan rakyat Jawa akan menemukanjati dirinya kembali setelah 500 tahun dari saat itu (Lih. Nurul Huda, TokohAntagonis Darmo Gandhul: Tragedi Sosial Historis dan Keagamaan di PenghujungKekuasaan Majapahit. Yogyakarta: Pura Pustaka, 2005).

Bentuk Kesenian wayang padagilirannya terus mengalami geliat. Bermacam sanggit sampai dengan bentukpertunjukan baru yang lebih sesuai dengan keadaan masyarakat hari ini terusdikembangkan. Kini, apa atau bagaimanapun bentuknya kita hanya bisa berharapbahwa satu kesenian tradisi ini tidaklah kehilangan nilainya. (catatan inimerupakan bagian dari kajian “Politik Identitas Jawa-Cina”, Cin, 2008)


Posting Komentar untuk "Kerja, Karya dan Dharma"