Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Di Saptapertala


 Tidak seperti kabar yang tersebar luas di negara Hastinapura dan sekitarnya, Kunthi dan anak-anaknya selamat dari kobaran api, berkat Kanana dan terowongan y...ang dibuatnya. Mereka menyusuri lorong terowongan yang sempit dan gelap, mengikuti cahaya putih kemilau. Semakin lama terowongan itu semakin lebar dan terang, sehingga cahaya putih yang semula nampak jelas, semakin lama semakin menjadi tidak jelas.

Ketika perjalanan mereka sampai di alam terbuka yang terang benderang, mereka tidak melihat lagi cahaya itu. Jika semula Kunthi dan Pandhawa mengira bahwa cahaya putih itu adalah Kanana, nyatanya bukan. Bahkan Kanana sendiri melihat bahwa cahaya Putih itu adalah Batara Narada, Dewa yang bertubuh bulat pendek. Lalu siapa cahaya putih yang menuntun di dalam kegelapan tadi?

Kunthi, Pandawa Lima dan Kanana saling berpandangan. Mereka heran dengan apa yang baru saja mereka alami. Berawal dari peristiwa kebakaran di Bale Sigala-gala, kemudian mereka dibukakan pintu terowongan oleh Kanana, kemudian Bima menggendong mereka dan membawa masuk ke pintu terowongan. Di terowongan mereka mengikuti cahaya putih dan akhirnya selamat sampai di tempat terbuka yang belum pernah mereka jumpai sebelumnya.

Tempat yang asing tersebut merupakan halaman pintu gerbang kerajaan. Kerajaan manakah ini. Pintu gerbangnya megah perkasa, dihiasi dengan ukiran bermotif binatang dan tumbuh-tumbuhan yang mempesona. Seperti kerajaan besar lainnya, pintu gerbang tersebut dijaga oleh beberapa perajurit yang mengawasi orang yang keluar masuk kerajaan. Jika dirasa perlu para penjaga tersebut berwenang memeriksa dan menggeledah tamu yang ingin masuk ke kerajaan. Kunti, Pandawa Lima dan Kanana disambut oleh kepala perajurit jaga dengan penuh hormat. Kemudian mereka dikawal beberapa perajurit untuk masuk menuju kedaton, kecuali Kanana yang memilih tinggal bersama perajurit jaga.

Kunthi dan Pandawa heran, para prajurit di kerajaan ini berkulit kasar saperti sisik, baunya amis seperti ular. Mereka membawa Kunti dan anak-anaknya kepada yang dikenalkan sebagai putra raja, bernama Nagatatmala. Orangnya gagah pakaiannya gemerlap ia juga bersisik seperti perajurit-perajurit yang lain. Nagatatmala memberi hormat dan bertanya mengenai keselamatan mereka. Nagatatmala mempersilakan mereka beristirahat di tempat yang sudah disediakan, sebelum ketemu raja. Seorang gadis cantik dikenalkan oleh Nagatatmala, sebagai adiknya bernama Nagagini.

Kunthi dan Pandawa terpesona melihat kecantikan Nagagini. Kulitnya halus bersinar tidak seperti kakaknya dan para perajurit, yang berkulit kasar bersisik. Hamper tak berkedip, para Pandawa memandang Nagagini yang berperangai lembut dan menawan. Nagagini memberi salam hormat kepada Kunti dan kepada Puntadewa, Bimasena, Herjuna, Nakula dan Sadewa. Tidak ada yang tahu bahwa ketika Nagagini memberi salam hormat kepada Bimasena, Nagagini bergetar gugup. Detak jantungnya berdegup keras. Bimasena adalah sosok yang pernah ia jumpai dalam mimpinya. Bahkan di dalam mimpi tersebut Bimasena dan Nagagini telah saling memadu kasih.

“Oh Raden Bima”

Nagagini berkeluh pendek dan segera meninggalkan ruangan tempat Kunti dan para Pandawa berada, takut jika gejolak hatinya terbaca. Gejolak hati yang tak karuan ketika berjumpa dengan kekasih hatinya. Bagi Nagagini sulit membedakan antara mimpi dan kenyataan. Karena mimpinya belum lama ini menjadi kenyataan.

Nagagini menyadari bahwa dirinya dan Bima bukan merupakan satu rumpun bangsa. Nagagini adalah keturunan dewa berjenis ular Naga. Sedangkan Bima adalah kesatria keturunan manusia pada umumnya. Namun Bima bagi Nagagini adalah keistimewaan. Ada getaran khusus yang belum didapatkannya pada manusia kebanyakan. Sejak perkenalannya dengan Bima, Nagagini tidak pernah melepaskan pikirannya atas Bima. Usaha untuk menghapus bayangan Bima diangannya tak pernah berhasil, bahkan semakin jelas tergambar.

Demikian halnya yang terjadi dengan Bima. Sejak pertemuannya dengan Nagagini, Bima gelisah luar biasa. Tidak ada yang tahu apa yang dirasakan Bima. Bahkan Bima sendiri tak habis mengerti mengapa tiba-tiba saja ada perasaan aneh yang menggelayut di angannya. Selama hidup belum pernah ia merasakan gejolak perasaan yang seperti ini. Bima tidak tertarik lagi membicarakan tentang peristiwa Bale Sigala-gala, kejahatan Sengkuni dan tahta Hastinapura, kecuali pembicaraan perihal pertemuannya dengan Dewi Nagagini. Bima juga tidak mempunyai hasrat untuk makan ketika dijamu dan tidur ketika larut malam, kecuali hasratnya untuk selalu bertemu dan bersanding dengan Nagagini. Lain yang dirasakan Nagagini, Bima tidak mempedulikan bahwa dirinya dan Nagani adalah berbeda. Yang dirasakan Bima adalah bahwa Nagagini telah menawan seluruh akal budinya.

Sama-sama berangkat dari kegerahan hati yang memuncak, mereka berdua dipertemukan di sebuah taman

“Raden Bima, belum tidurkah?”

Pertanyaan Nagagini tidak membutuhkan jawaban, namun cukup mengejutkan Bima, yang tidak menyangka bahwa Nagagini berada ditaman yang sama.

“Engkau juga belum tidur Nagagini?”

Jika keduanya mau jujur pasti jawabnya sama. Karena engkaulah yang menyebabkan aku tidak dapat tidur malam ini.

“Raden Bima senangkah engkau tinggal di sini?”

“Sangat senang Nagagini”

“Sangat senang? Mengapa?”

“Karena ada kau”

“Sungguhkah Raden? Karena aku?”

“Sungguh Nagagini. aku berkata dengan hati.”

“Engkau amat jujur Raden. Aku kagum kepadamu.”

“Sungguhkah Nagagini, engkau kagum padaku?”

Sembari tersenyum Nagagini mengangguk. Dada Bima bergelora. Hatinya tumbuh seribu bunga.

“Nagagini ini negara mana?”

“Apakah kakakku Nagatamala belum menjelaskan kepadamu?”

Bima menggelengkan kepala. Selanjutnya Ngagini memberitahukan bahwa ini adalah kahyangan Saptapertala, yang berpusat di dasar bumi lapisan ke tujuh. Rajanya adalah ayah Nagagini, bernama Sang Hyang Antaboga.

“Ibuku adalah bidadari bernama Dewi Supreti. Kami sebenarnya adalah bangsa ular yang sudah menjadi dewa-dewi.”

Bima mencoba mengingat apa yang telah dilihatnya. Para perajurit dan orang-orang di Saptapertala, termasuk Nagatatmala berbau amis, berkulit kasar seperti sisik ular. Namun yang mengherankan adalah Nagagini. kulitnya kuning halus bersinar.

“Apakah Sang Hyang Antaboga berujud Dewa? atau Ular Naga?”

“Berubah-ubah. Tetapi jika ayahku marah, ia menjelma menjadi seekor naga ganas yang mengerikan. Apakah engkau takut Raden”

Tatapan mata Nagagini menyimpan kekawatiran yang amat dalam. Jika Bima takut, harapannya untuk bersanding dengan Bima lebih lama, takan pernah kesampaian.

“Aku tidak takut Nagagini”

“Benarkah Raden?”

“Aku pernah ditolong naga Aryaka penguasa Bengawan Gangga dan diberi minum Tirta Rasakundha. Setelah meminum Tirta Rasakundha, itu aku merasakan daya yang luar biasa. Walaupun aku berada di dasar Bengawan Gangga. Rasanya berada di atas daratan, napasnya lancar, badan serta pakaiannya tidak basah.”

”Ah Bima, pengalaman luar biasa.”

Hampir saja Nagagini melompat kegirangan. Pengalaman Bima dengan naga Aryaka menyiratkan bahwa perkenalan dengan Bima akan berlanjut lebih jauh.

Mata Nagagini berbinar-binar mendengar penuturan Bima. Pemuda di hadapannya yang pernah melintas di dalam mimpi tersebut benar-benar istimewa. Di dalam darahnya telah mengalir Tirta Rasakundha, sebuah daya kekuatan yang hanya dimiliki oleh bangsa Naga. Tirta Rasakundha ibarat benang merah yang menghubungkan naluri mereka, maka pantas saja ada getaran khusus di antara kedua hati yang saling menyenangkan, membahagiakan dan menentramkan. Nagagini semakin percaya bahwasannya pertemuan ini telah diatur oleh Sang Hyang Widiwasa. Betapa indahnya hari itu. Saat mereka untuk pertamakali saling bertemu, saling mengenal dan terutama saling berbagi cinta, cinta antara pria dan wanita yang baru pertama kali ini bersemi, bahkan bersemi dengan cepat.

“Raden Bima, engkau mengatakan sangat senang tinggal di Saptapertala ini, lantas apa rencanamu selanjutnya?”

Bima kebingungan sebentar, kemudian ia menjawab:

“Aku tidak mempunyai rencana apa pun, karena bagiku tinggal di tempat ini dan berdampingan dengan engkau, adalah segalanya.”

“Ooh! Benarkah Raden Bima? Aku merasa tersanjung oleh kata-katamu Raden. Alangkah bahagianya jika engkau tinggal di sini berada di sampingku dan tidak akan pernah meninggalkanku.”

“Sesungguhnya aku pun merasakan hal yang sama, ingin selalu berada di sampingmu, Nagagini.”

“Benarkah Raden?! Oo alangkah bahagianya jika pertemuan ini terus berlanjut sampai waktu yang tak terbatas.”

“Iya, aku setuju Nagagini, lalu bagaimana caranya?”

“Nah, itulah yang tadi aku tanyakan kepada Raden, apa rencana Raden selanjutnya?”

“Terserah kamu Nagagini, aku manut.”

“Manut bagaimana ta Raden? Tidak selayaknya dalam hal ini pria mengekor wanita.”

Nagagini tersenyum geli atas keluguan dan kejujuran Bima. Mereka berdua semakin akrab. Dunia menjadi milik mereka berdua termasuk taman Saptapertala yang asri. Sehingga tidak menyadari kehadiran Puntadewa dan Arjuna di taman tersebut. Sejak datang di taman Saptapertala beberapa saat lalu, Puntadewa dan Arjuna tidak enak untuk menyapa Bima yang sedang berduaan dengan Dewi Nagagini. Puntadewa dan Arjuna diam-diam mengagumi Nagagini yang mempunyai kecantikan khusus yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Kecantikan Nagagini adalah kecantikan yang memancar dari dalam keluar melalui matanya, senyumnya, gerak-geriknya dan seluruh kulitnya. Sungguh luar biasa. Pantas saja Bima yang lugu-kaku terpana karenanya.

Rupanya Puntadewa dan Arjuna kalah betah dengan Nagagini dan Bima di taman Saptapertala berlama-lama. Mereka akhirnya terpaksa menyapa Bima yang memang sudah beberapa waktu tidak menyadari kedatangan kakak dan adiknya.

Baru setelah disapa Puntadewa, Bima tersadar bahwa mereka tidak hanya berdua di taman Saptapertala.

“Adikku Bima, dan engkau Dewi Nagagini, maafkan kami telah mengganggu kalian berdua. Kedatangan kami di taman ini untuk menemui Bima dan mengajaknya bersama ibu Kunthi dan adik-dikku yang lain menghadap Sang Hyang Antaboga, penguasa kahyangan Saptapertala ini, malam ini juga.”

Bima mempunyai perasaan tidak enak kepada Puntadewa kakaknya. Karena hingga saat ini Puntadewa belum pernah menjalin hubungan akrab degan seorang wanita. Namun apa mau dikata, Bima menyadari bahwa dirinya adalah manusia biasa, yang tidak kuasa menolak atau pun menghindar dari apa yang sudah diatur oleh Sang Hyang Tunggal. Termasuk pertemuannya dengan Nagagini bukanlah secara kebetulan, tapi telah diatur oleh-Nya.

Nagagini tersipu malu. Ia mempersilakan Bima mengikuti Raden Puntadewa dan Raden Arjuna meninggalkan taman Saptapertala. Taman yang menjadi saksi, bahwa di tempat ini dua sejoli telah mengawalinya, merenda benang-benang cinta.

Kunthi, Puntadewa, Bimasena, Herjuna, Sadewa dan Nakula diantar Nagatatmala menghadap Sang Hyang Antaboga yang bertahta di kahyangan Saptapertala. Sang Hyang Antaboga mengucapkan selamat datang. di Kahyangan dasar Bumi l...apis tujuh. Kunthi dan para Pandhawa secara bergantian mengucapkan terimakasih atas kebaikan Sang Hyang Antaboga, Nagatatmala dan Nagagini serta kerabat Saptapertala yang telah menolong dan memberi tempat yang mewah dan nyaman. Sehingga mereka dapat merasa tenang dan aman, jauh dari bencana yang hampir saja merenggut jiwa mereka. Rasa trauma yang mencekam masih dirasakan terutama oleh Nakula dan Sadewa, yang hingga sekarang masih sering menangis ketakutan.
Nagatatmala dan Nagagini ditugaskan oleh Hyang Antaboga untuk membuat Kunthi dan anak-anaknya betah tinggal di Saptapertala. Tempat yang disediakan dan makanan yang sajikan diusahakan membuat mereka nyaman dan senang. Sehingga dengan demikian usaha untuk memulihan mentalnya dari trauma yang diderita, terutama Sadewa dan Nakula cepat berhasil. Tetapi yang lebih penting adalah, bahwa jangan sampai peristiwa Bale Sigala-gala nantinya amenimbulkan dendam di hati Kunthi dan para Pandhawa.
Sang Hyang Antaboga mengetahui akan keadaan yang diderita Kunthi dan Para Pandhawa baik secara lahir maupun batin. Oleh karenanya Kunthi beserta anak-anaknya disarankan untuk sementara waktu tinggal di Kahyangan Saptapertala. Dengan tinggal beberapa lama di Kahyangan Saptpertala, Hyang Antagoba berharap agar Kunthi dan anak-anaknya mampu melupakan peristiwa mecekam di Bale Sigala-gala.
Ketika kebakaran Bale-Sigala-gala, bumi terasa panas. Sebagai Dewa penguasa bumi, Hyang Antaboga mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. dan menimpa mereka. Nagatatmala diutus untuk menyelamatkan para korban kebakaran. Maka berangkatlah Nagatatmala menyusuri bumi mengarah ke tempat kebakaran. Bersamaan dengan itu, di Kahyangan Jonggring Saloka Batara Guru dan para Batara dan Batari merasakan hawa panas yang menyesakkan. Maka diutuslah Hyang Narada turun ke marcapada, menuju ke sumber hawa panas. Pada waktu yang hampir bersamaan Batara Narada dan Nagatatmala bertemu di pintu terowongan, tempat Kanana, Kunthi dan para Pandhawa berusaha menyelamatkan diri. Di dalam suasana panik, gelap, sesak dan sempit, Batara Narada dan Nagatatmala dengan caranya masing-masing berusaha menolong dan menyelamatakan Kunthi dan Pandhawa. Nagatatmala berubah sebgai garangan Putih bercahaya dan Batara Narada menuntun membukakan jalan menuju Kahyangan Saptapertala, tempat yang paling aman di Bumi lapis ke tujuh. Secara gaib tahu-tahu mereka telah berada di depan pintu gerbang kerajaan yang indah megah.
Hingga sekarang Kunthi dan anak-anaknya juga Kanana belum tahu secara pasti siapa yang telah menyelamatkan mereka dan mengantarnya sampai ke kahyangan Sapta pertala, kecuali Kanana yang mengawalinya membuka terowongan buatannya atas perintah Yamawidura.
Hyang Antaboga merasa Kasihan kepada Kunthi dan anakaanaknya. Semenjak meninggalnya Pandudewanata derita mereka silih berganti. Hal tersebut dikarenakan Sengkuni, Gendari dan Para Korawa selalu berusaha menyingkirkan para Pandhawa. “Kunthi tanamkanlah di hati anak-anakmu sikap welasasih. Welas asih kepada siapa saja termasuk juga kepada orang yang memusuhi kamu. Karena hanya dengan sikap welasasihlah orang mudah mengampuni dan tidak akan pernah tumbuh benih-benih dendam dihati.”
“Terimakasih Pukulun atas nasihatnya yang berharga. Aku akan melaksanakannya. Tetapi maaf Sang Hyang Antaboga, sebenarnya apa yang sesungguhnya terjadi dibalik peristiwa Bale Sigala-gala?”
“Kunthi, sebenarnya engkau sudah tahu, atau paling tidak engkau telah merasakan kejanggalan-kejanggalan sebelum pesta berlangsung.”
“Hyang Pukulun, aku orang yang bodoh dan tumpul, sehingga tidak merasakan kejanggalan-kejanggalan sebelumnya.”
Sang Hyang Antaboga tidak mau berterus terang. Ia justru mengajak Kunthi dan para Pandhawa bersyukur, karena telah terhindar dari marabahaya.
“Namun maafkanlah Pukulun, kalau boleh tahu siapakah yang menyelamatkan kami dan menuntunnya sampai ke tempat ini?”
Hyang Antaboga tidak menjawab pertanyaan Kunthi, tetapi sekali lagi ia mengajak Kunthi dan anak-anaknya merayakan syukur atas keselamatan yang masih boleh diterima.
Sudah beberapa bulan Kunthi dan para Pandhawa serta juga Kanana tinggal di Saptapertala. Hubungan antara Bimasena dan Naga Gini semakin intim, seakan-akan mereka tidak mau berpisah. Dari hari ke hari cinta mereka semakin bersemi. Betapa indah dan ajaibnya hidup yang penuh cinta. Terlebih lagi cinta yang semakin menjadi sempurna. Seperti rembulan saat Purnamasidi, yang mampu membuat malam menjadi romantis indah mempesona. Bagaikan kidung malam yang syahdu menyusup kalbu, hingga membuat setiap insan merasa betapa berharganya hidup ini
Kunthi adalah sosok ibu yang baik. Ia ikut bahagia melihat anaknya bahagia. Saat ini anak nomor dua yang bernama Bimasena sedang mengalami kebahagiaan. Semenjak tinggal di Kahyangan Saptapertala, Bimasena telah menjalin asmara dengan putri Sang Hyang Antaboga yang bernama Dewi Nagagini. Namun dibalik kebahagiaan tersebut ada kekhawatiran dibenak Kunthi. Pasalnya, Bimasena adalah anak nomor dua, jika pertalian Asmara dengan Dewi Nagagini nantinya berlanjut ke jenjang perkawinan, lalu bagaimanakah dengan Puntadewa anak Kunthi yang nomor satu? Apakah ia rela dilangkahi oleh adiknya?
Di sudut taman bunga, Dewi Kunthi duduk sendirian. Hatinya terombang-ambing oleh dua perasaan yang saling bergelayut. Disatu sisi perasaan bahagia yang tumbuh karena ikut merasakan kebahagiaan anak nomor dua yang bernama Bimasena. Di sisi lain, perasaan sedih karena Kunthi membayangkan alangkah sedihnya anak nomor satu yang bernama Puntadewa karena belum mendapat kesempatan untuk merasakan kebahagiaan menjalin asmara seperti yang dialami Bimasena dan Dewi Nagagini.
Puntadewa yang melihat Ibunda Kunthi duduk sendirian lewat pukul 11 malam berniat untuk menemaninya. Kedatangan Puntadewa dianggap Kunthi sebagai pembenaran atas perasaannya yang sedang menggelayut di kalbunya. Apa yang dirasakan Puntadewa tentunya tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan Kunthi. Dengan persepsi yang demikian, Dewi Kunthi membuka pembicaraan.
“Anakku Punta, apa yang engkau rasakan malam ini?”
“Aku merasa tenteram di Saptapertala ini Ibu”
“Apakah adik-adikmu juga merasakan seperti yang engkau rasakan?”
“Iya Ibu”
“Termasuk juga adikmu Bima?”
“Iya Ibu”
Kunthi menatap lembut anak sulungnya yang dengan polos menjawab setiap pertanyaan tanpa gejolak perasaan sesuai dengan yang diperkirakannya. Benarkah Puntadewa tidak tersinggung atas sikap Bimasena yang lebih dahulu menjalin hubungan asmara dengan seorang wanita?
“Punta, maksud Ibu adalah, apakah engkau senang melihat Bimasena menjalin asmara dengan Dewi Nagagini?”
“Tidak sekedar senang Ibu, tetapi aku sungguh bahagia melihat adikku Bima bahagia dengan Dewi Nagagini. Alangkah sempurnanya kebahagiaan adikku Bima jika Ibu berkenan membicarakan hubungan antara mereka berdua kepada Sang Hyang Antaboga, dan meresmikan mereka menjadi suami isteri.”
Perkiraan Kunthi bertolak belakang dengan perasaan Puntadewa yang sesungguhnya. Kunthi terharu atas sikap Puntadewa. Walaupun sejak kecil Kunthi tahu bahwa Puntadewa mempunyai watak sabar dan sikap mengalah terhadap siapapun, tidak mengenai soal asmara. Karena menurut Kunthi, masalah asmara bagi anak muda adalah masalah yang peka menimbulkan permasalahan.
“Punta, semula aku berniat untuk melarang Bima bergaul lebih akrab dengan Nagagini, dengan pertimbangan bukankah kita di sini telah ditolong, dan diperlakukan seperti layaknya tamu terhormat? Apakah kita tega bersikap tidak sopan kepada tuan rumah dan putrinya? Namun niat itu aku urungkan, aku tidak sampai hati memisahkan mereka berdua, karena hal tersebut akan menyakitkan hati Bima dan membuatnya ia bersedih. Oleh karenanya, demi kebahagiaan mereka berdua aku akan membicarakan kepada Sang Hyang Antaboga, sesuai yang engkau usulkan.”
Semua menyetujui usulan Puntadewa, terlebih Bimasena yang menyambutnya dengan sukacita. Maka hari pun dipilih untuk menghadap Sang Hyang Antaboga dengan tujuan membicarakan hubungan antara Bimasena dan Dewi Nagagni
Sang Hyang Antaboga didampingi oleh Nagatatmala menyambut kedatangan Kunthi dan Puntadewa. Mereka berempat menyetujui hubungan Bimasena dan Dewi Nagagini diresmikan sebagai suami isteri.
“Kunthi, kebahagiaan anak-anak kita adalah kebahagiaan kita sebagai orang tua. Hubungan antara Bimasena dan Nagagini sudah menjadi kehendak ‘Dewa’ kita wajib memberikan restu agar mereka selalu bahagia dalam suka dan duka, sakit dan sehat jauh dan dekat”
Hyang Antaboga tersenyum bahagia, mengawali kebahagiaan calon pengantin berdua yang tidak lama lagi diresmikan
Ketika matahari mulai menampakan sinarnya kemerah-merahan, terdengar suara gamelan mengalun dari di pusat kotaraja Saptapertala. Dari kejauhan suara gamelan tersebut terdengar menyatu dengan suara serangga-serangga malam yang saling bersaut-sautan. Perpaduan aneka suara tersebut bagaikan sebuah komposisi musik para dewa tatkala sedang melakukan pujaasmara.

Malam itu ibu kota Kahyangan Saptapertala berhias dengan keindahan. Bak gadis dewasa yang sedang bersolek manja. Disetiap sudut kota dipasang umbul-umbul serta rontek, dan dipadu dengan penjor-penjor berhiaskan janur kuning. Hiasan-hiasan tersebut ditancapkan ke pinggir jalan dengan sudut kemiringan enampuluh derajat, sehingga seakan menunduk memberi salam hormat kepada siapa saja yang melewati jalan itu. Kawula Saptapertala yang hampir sebagian besar berkulit kasar seperti sisik, berduyun-duyun menuju pusat koata raja. Di dunia bawah tanah pada lapis ke tujuh yang disebut Kahyangan Saptapertala ini kehidupannya tidak jauh berbeda dengan kehidupan di atas dunia atau di marcapada, yang membedakan adalah orang-orang di Saptapertala berkulit kasar seperti sisik.

Menjelang tabuh tujuh, alun-alun Kotaraja berubah menjadi lautan manusia mereka datang dari penjuru negeri, ingin menyaksikan peristiwa yang amat bersejarah, yaitu perkawinan antara bangsa manusia dan keturunan dewa ular. Perkawinan antara Raden Bimasena dan Dewi Nagagini.

Sebelum kedua Calon Penganten dipertemukan dalam upacara Panggih, di pendapa induk yang terletak di pinggir alun-alun, diadakan tarian sakral lingga-yoni yang melambangkan perkawinan agung antara Dewa Siwa dan Dewi Uma. Konon tarian tersebut diadakan, adalah untuk ritual penghormatan kepada dewa Siwa. Namun saat ini tarian tersebut dipentaskan untuk menyambut dan menghormat calon pengantin berdua. Selain itu tarian Lingga-yoni juga merupakan doa pengharapan agar bumi Saptapertala mengalami kesuburan dan kesejahteraan.

Setelah tari Lingga-yoni selesai, mengumandanglah kidung malam yang berisi sebuah mantra untuk mengingatkan agar semua makhluk, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan saling menempatkan diri pada tempatnya, sesuai dengan demensi mereka, sehingga diantara mereka tidak saling mengganggu.

Singgah-singgah kala singgah
pan suminggah durga kala sumingkir
sing aama sing awulu
sing asuku sing asirah
sing atenggak kalawan sing abuntut
padha sira suminggah
muliha mring asal neki

Hening suasana, semua yang hadir diam. Mereka mencoba mengikuti dan menghayati tiap kata yang ditembangkan dengan telinga dan hatinya hingga sampai dengan nada terakhir. Maka legalah batin mereka, setelah tembang singgah-singgah usai. Mereka berkeyakinan bahwa upacara panggih pengantin akan lancar dan baik adanya.

Seperti apa yang direncanakan dan dilaksanakan, semuanya berjalan dengan baik Raden Bimasena dan Dewi Nagagini telah resmi dipersatukan sebagai suami istri. Hyang Antaboga amat gembira menyaksikan pasangan Raden Bimasena dan Dewi Nagagini. Bagi Dewa penguasa bumi ini, perkawinan antara Raden Bimasena dan Dewi Nagagini tidaklah merupakan perkawinan pada umumnya. Perkawinan mereka bagaikan symbol bersatunya antara bangsa manusia dan bangsa ular yang selama ini tidak saling bersahabat. Atau juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk membangun kembali keharmonisan alam. Namun yang lebih penting dan sangat disyukuri oleh Dewi Kunthi dan Sang Hyang Antaboga adalah bahwa perkawinan tersebut telah mengalihkan perhatiannya Bimasena khususnya atas kejahatan Sengkuni dan Korawa yang telah mencelakai para Pandhawa.

Seandainya saja Bimasena tidak berjumpa dengan Dewi Nagagini, tentu saja panas hatinya akan semakin menjilat tak terkendali dan membakar Sengkuni dan para Korawa. Namun syukurlah sebelum semuanya terjadi Dewi Nagagini telah menyiram hatinya dengan kelembutan dan kesejukan. Sehingga malam itu Bimasena tak mampu lagi melepaskan pelukan Nagagini yang menentramkan.

Kebahagian Bimasena juga menjadi kebahagiaan Puntadewa dan adik-adiknya. Tidak seperti yang dikhawatirkan Kunthi, bahwa Puntadewa sebagai saudara sulung akan merasa di langkahi oleh adiknya. Bimasena dan Dewi Nagagini menikmati masa bulan madu yang sungguh membahagiakan. Namun ada saat berjumpa dan ada saat berpisah. Waktu untuk menikmati sebuah kebahagiaan di dunia mana pun tidaklah abadi, bahkan dapat dikatakan terbatas. Demikian halnya dengan pasangan temanten baru Bimasena dan Nagagini

Mereka boleh puas menikmati waktu bercengkerama yang tidak genap satu tahun. Walaupun begitu, cinta diantara mereka telah membuahkan benih di rahim Dewi Nagagini. Berat rasanya untuk meninggalkan isterinya yang sedang hamil. Namun apaboleh buat tugas sebagai kesatria dan pelindung Ibu dan saudara-saudara berada di atas kepentingan pribadinya. Bahkan sebagai salah satu pewaris tahta Hastinapura, Bimasena bersama Pandhawa berkewajiban berjuang untuk mengembalikan kekuasaan yang sekarang dikuasai oleh warga Korawa. Bagi warga Pandhawa sesungguhnya bukan kekuasaan itu yang ingin dikuasai, melainkan sebagai bukti rasa baktinya kepada rakyat Hastinapura yang mempercayakan tahta Hastinapura kepada putra-putra Pandudewanata. Suara rakyat itulah yang menjadi energi perjuangan untuk meraih kekuasaan.

Dengan alasan itulah Sang Hyang Antaboga menyarankan agar Kunthi dan anak-anaknya, termasuk menantunya segera meninggalkan Kahyangan Saptapratala menuju Hastinapura, untuk menunaikan panggilannya sebagai pewaris tahta.

Pagi-pagi benar, Kunthi, Puntadewa, Bimasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa dan juga Kanana seorang abdi dari Panggomabakan ahli membuat terowongan meninggalkan Kahyangan Saptapertala. Perpisahan yang mengharukan antara Dewi Nagagini dan Bimasena tidak dapat dihindarkan. Namun diantara mereka ada janji untuk saling bertemu kembali agar cinta mereka berdua semakin sempurnya adanya.

Mereka diantar oleh Sang Hyang Antaboga dengan pethitnya atau ekornya. Dan tiba-tiba saja mereka telah berada dipermukaan bumi, yang dipanasi dan diterangi oleh matahari. Semakin lama bumi Saptapertala semakin jauh ditinggalkan. Kunthi dan Para Pandhawa menuju jalan ke Hastinapura sedangkan Kanana menuju ke Panggombakan.

Dikisahkan perjalanan Kunthi dan Pandhawa sampailah di sebuah desa yang sangat subur tanahnya. Tetapi ada keganjilan yang dirasakan. Banyaknya rumah kosong tanpa berpenghuni menimbulkan dugaan ada hal yang tidak beres di desa tersebut. Kunthi dan anak-anaknya beristirhat di salah satu rumah besar yang tidak terurus. Rumput liar di halaman depan dan samping rumah mulai tumbuh lebat. Herjuna mengelilingi rumah tersebut, siapa tahu ada orang yang bisa ditanya perihal desa tersebut. Namun tidak ada satu pun orang yang nampak disekitar rumah. Sadewa dan Nakula merengek minta makan. Kunthi kebingungan. Disuruhnya Bimasena dan Harjuna mencari makan di dusun sebelah yang berpenghuni.

1 komentar untuk "Di Saptapertala"

Unknown 14 Januari 2013 pukul 16.38 Hapus Komentar
apik tenan :)