Jayadrata, Salah Pergaulan Berujung Kematian
Angin berhembus kencang, membawa
sebuah benda terbang, hingga sampai di tepi samudera, dan kemudian disambut
oleh angin laut yang mengantarkannya ketepian, di sebuah pohon besar yang
rindang, dimana dibawah pohon itu duduk dengan anggun seorang tua dengan alis
dan janggut yang telah memutih rambutnya. Duduk tepekur, dengan memusatkan
segala panca indera, dan mata yang tertutup rapat, dengan nafas yang teratur
sempurna.
Perhatiannya pecah,
konsentrasinya buyar, dan sedikit demi sedikit
terbuka matanya, saat sebuah benda yang lunak, halus dan masih basah,
tiba tiba telah mendarat di pangkuannya. Sebuah benda yang tak tahu dari mana
rimbanya. Dengan ketajaman pikir dan panca indera, sejenak kemudian didapatnya
sebuah jawaban, bahwa benda tersebut adalah sebuah bungkus dari lahirnya
seorang ksatria yang kelak akan menggemparkan dunia dengan kesaktiannya. Arya
Werkudara.
Dan adalah Batara Bayu yang
rupanya telah mengabulkan pemujaannya
yang telah dia lakukan beberapa warsa. Dengan kesaktian dan kepasrahannya
kepada dewata, benda di pangkuannya itupun kemudian dia haturkan kepada dewa,
sesuai dengan keinginannya, dan kemudian berubahlah benda tersebut menjadi
seorang bayi laki laki yang tampan. Dari sinar matanya, Nampak sebuah
kewibawaan yang cukup tinggi nantinya, dan dari tubuhnya, telah Nampak betapa
gagah dan perkasa bila telah dewasa kelak.
Sang pertapa, yang terkenal dengan nama Begawan Sapwaniwijawastra dari padepokan Kalingga, sangat gembira atas karunia yang diberikan padanya, yaitu mendapatkan seorang putra yang selama ini di idam idamkannya. Bayi tersebut kemudian diberinya nama Arya Tirtanata, karena bayi ini dia dapat saat bertapa di tepi samudera.
Setelah dewasa, karena di bawah
bimbingan Sang Begawan Sapwani tersebut, berubahlah Arya Tirnata menajdi
seorang pemuda yang gagah perkasa lagi tampan, dan wajahnya sangat mirip dengan
Arya Werkudara, seorang ksatria yang dilahirkan dari satu gua garba dengannya. walau hal ini sama sekali tak pernah
diketahuinya. Dan karena kesaktian dan kegagahannya tersebut, Arya Tirtanata
kemudian dinobatkan sebagai raja di kerajaan Sinduraja. Sebuah kerajaan kecil
yang berdiri sendiri, lepas dari kerajaan besar, Hastinapura.
Karena ilmu ketatanegaraannya
masih belum cukup, dan terdorong oleh keingintahuannya tentang saudara
kembarnya, atas petunjuk Sang Begawan, berangkatlah Arya Tirtanata menuju
Hastinapura, dan berguru kepada Prabu Pandu Dewanata, sekaligus ingin bertemu
dengan saudara kembarnya, Arya Werkudara. Untuk menjaga citra dirinya, di
ubahlah namanya, menggunakan nama patihnya, yaitu Jayadrata.
Perjalanan panjang yang dia
tempuh, nampaknya tak membuahkan hasil seperti yang diinginkan. Saat kakinya
melangkah menuju istana Hastinapura, disana tak dijumpainya Prabu pandu
Dewanata, atau bahkan Arya Werkudara. Mereka
semua tengah mengasingkan diri ke hutan, karena kalah bermain judi dengan
kerabat istana lainnya.
Dalam kebingungannya, datanglah
seorang tua yang berbadan agak kurus dengan berjalan agak membungkuk, berhidung
mancung berkumis tipis, dan tatap matanya agak aneh, namun berpakaian bangsawan
pula. Rupanya orang ini termasuk orang yang di tuakan di istana Hastinapura. Dialah
yang terkenal dengan nama Arya Sangkuni. Melihat kegagahan dari Jayadrata,
timbullah pikirannya untuk mengambilnya sebagai salah satu punggawa kerajaan,
dalam mempersiapkan perang Barat Yuda yang telah digariskan akan terjadi.
Dengan
janji manis akan dijadikan panglima perang, diberinya istri cantik dari adik
sang raja, yaitu Dursilawati, dan dinobatkan menjadi Raja di Buanakeling,
nampaknya tawaran itu tak dapat di tolak oleh Jayadrata. Maka, tak berselang
lama, jadilah dia raja di Buanakeling, dengan beristrikan adik dari Sang Raja
Hastinapura, Arya Duryudana, yang bernama Dursilawati, dan sekaligus menjadi
panglima perang Baratayudha.
Seiring waktu, pergaulan yang
dilakukan terus menerus dengan kerabat Hastinapura dari keluarga Arya Duryudana
yang terkenal dengan sebutan kaum kurawa, maka sifat sifat ksatria dan budi
luhur lainnya, telah berangsur surut.
Hal ini nampak sekali saat
berkecamuknya perang Baratayuda, dimana pada saat itu, pada hari ketiga belas,
Jayadrata berhasil menghentikan gerakan
dari para Pandawa untuk membantu Abimanyu yang tengah dikepung oleh bala
kurawa, hingga Abimanyu bertempur mati matian, sendirian, dengan dikeroyok oleh
puluhan bala kurawa. Dan adalah sifat dari kurawa yang senang berlaku licik dan
culas, akhirnya Abimanyu pun berhasil ditusuk dari belakang, dan selanjutnya
menjadi bulan bulanan senjata para bala kurawa yang membabi buta, hingga
Abimanyu pun meninggal dengan mengenaskan.
Berita kematian Abimamnyu pun
kemudian tersebar dengan cepat, hingga sampai ke telinga sang ayah, Arjuna. Mendengar
anak keyangannya mati dengan cara yang mengenaskan, mendidihlah darahnya. Arjuna
yang terkenal sangat halus dan santun, bak air danau yang tenang, kali ini
menjadi seperti samudera api yang menggelegak menyala nyala, hingga hilanglah
akal sehatnya. Dan muncullah sumpah dari mulutnya, bahwa dia akan membakar
dirinya pada akhir hari ke empat belas, bila tak berhasil membunuh Jayadrata.
Sumpah itupun kemudian diketahui
oleh pihak kurawa, dan Jayadrata sendiri. Maka, pada hari ke empatbelas itu,
Jayadrata kemudian disembunyikan oleh para kurawa, dan oleh sang ayah, Begawan Sapwani,
hingga haril telah hampir sore hari, Arjuna sama sekali tak dapat menyentuh
tubuhnya.
Melihat Arjuna yang semakin
kalap, Kresna tak sampai hati, hingga dengan kesaktiannya, dibuatlah gerhana
matahari, sehingga orang mengira bahwa hari telah sore, dan pertempuran pada
hari itu harus dihentikan. Maka, dengan serta merta, para kurawa yang
melindungi Jayadrata pergi ke kemah
masing masing. Dan melihat hari telah mulai gelap, legalah hati Jayadrata, dan
kemudian ingin melihat sendiri bagaimana Arjuna akan membakar diri.
Melihat Jayadrata keluar dari
persembuyiannya, dan tak ada satu pun kurawa yang menutupinya, dengan bahasa
isyarat, Kresna memberitahu Arjuna tentang keadaan itu. Seketika Arjuna
membalikkan badannya, sambil mencabut anak panah dari punggungnya dengan tangan
kirinya, dan secepat kilat dipasangkan di busur panah yang dari tadi telah
dipersiapkan dengan tangan kanannya, dan sekilas kemudian…….wuussshhhh……. anak
panah dari busur Arjuna melesat secepat kilat menuju tempat dimana Jayadrata
berdiri.
Bagai kilat menyambar di siang
hari, semua orang tak tahu apa yang terjadi, namun yang mereka lihat saat itu
adalah, jatuhnya kepala Jayadrata, terpisah dari tubuhnya. Dan Jayadrata pun
mati di tangan Arjuna, pada hari ke empat belas perang Baratayuda, seperti yang
telah digariskan oleh dewata.
Sang Begawan Sapwani yang melihat
peristiwa itu, hanya dapat menangis, meratapi kematian anak yang sangat
disayanginya, walau anak tersebut bukan anak aslinya. Namun cintanya melebihi
dari segala galanya. Sang Begawan bangkit dan mengambil tubuh anaknya yang
telah mati itu, dan membawanya pulang untuk dimakamkan sebagai seorang
pahlawan. Sebelum meninggalkan tempat itu, sempat pula Sang Begawan
menghaturkan sembah pada Arya Werkudara yang berdiri pula di samping Arjuna.
“Terimakasih Nakmas…… Nakmas
telah menghentikan sebuah tindak tak terpuji dari Jayadrata. Maafkanlah semua
kesalahan Adimas……” dan tak lebih dari
kedipan mata, Sang Begawan telah hilang dari pandangan mata, sekaligus tubuh
dan kepala Jayadrata, Arya Tirtanata, saudara kembar dari Arya Werkudara.
Sumber : http://sseratan.blogspot.com/2012/03/jayadrata-salah-pergaulan-yang.html
Posting Komentar untuk "Jayadrata, Salah Pergaulan Berujung Kematian"