Saat-saat Terakhir
Aswatama segera pergi ke istal. Melepas kuda terbaik dari
dalamnya, melepas tali yang mengikat ke toggak, kemudian ia memacu
kudanya dengan kecepatan penuh meninggalkan percikan lumpur kotor. Ia
seakan ingin membuang segala keruwetan yang mendera dadanya. Beban yang
menindihnya, seakan hendak ia angkat dan campakkan, dengan cara memacu
kuda itu sekencang kencangnya bagai dikejar setan. Tujuan yang semula
telah ia rancang dengan rasa was-was, saat ini tidak lagi mendera
dadanya. Sepenuh hati rencana telah digenggamnya tanpa keraguan
sedikitpun. Banuwati, ya, Banuwati! Ia hendak menuju ke hadapannya. Ia
adalah anak dari Prabu Salya dan istri dari Prabu Duryudana. Setelah
kejadian di balairung tadi, sebuah rencana yang tertanam dari hari hari
terakhir kemarin telah tumbuh subur. Dihatinya juga telah timbul tekad
bahwa ia tak lagi merasa sebagai bawahan Prabu Duryudana.
Junjungannya dimasa lalu yang telah menilai kecil perannya selama ini. Ia merasa sadar sekarang bahwa dimasa lalunya ia telah dikerdilkan dengan hanya diberi derajat yang hanya dipandang sebelah mata. Kekesalan yang terpendam mencapai puncaknya ketika ia telah dibobot ringan dengan pengusiran yang kedua kali terhadap dirinya.
Dendam membara juga berkobar dalam dadanya kepada Prabu Salya, orang tua Banowati. Ia hanya bisa berkata dalam hati, jangankan kepada menantunya Prabu Salya tega, kepada mertuanya-Resi Bagaspati-pun ia sampai hati menghabisi hidupnya hanya karena perasaan malu mempunyai mertua berujud raksasa. Tapi kata katanya tersekat pada korongkongan, tak terlahirkan oleh perasaan tidak enak kepada Prabu Duryudana. Maka ia hanya dapat mendendam, kepada Banuwati-lah ia hendak lampiaskan. Dan malam dengan hujan rintik itu telah membawanya menuju taman Kadilengeng. Malam ketika melintas kutaraja Astina, ia tak menemui kesulitan apapun. Semua prajurit tunggu istana telah mengenal Aswatama dengan baik. Dan taman Kadilengeng telah ada didepan mata.
Sementara itu di balairung Bulupitu, sepeninggal Aswatama, perasaan marah dan setengah dipermalukan oleh Aswatama., masih mendekam didalam hati Prabu Salya. Hingga ia tak lagi berminat mengatakan sesuatu apapun. Suasana hening melimputi suasana sidang. Mereka yang hadir seperti terpaku ditempatnya. Hanya dalam pikiran masing masing yang berputar putar menanggapi peristiwa yang baru saja terjadi. Ketika kesunyian itu masih saja terjadi, Prabu Duryudana akhirnya berkata kepada pamannya.
“Paman Harya Sengkuni, sungguh tidak masuk akal apa yang dikatakan oleh Aswatama. Seorang ayah menegakan kematian anaknya, walau itu hanya anak menantu. Apakah ia hanya bercerita atas karangan ia sendiri? Apakah ada di dunia peristiwa semacam itu Paman?”
Patih Sengkuni kemudian mengangkat wajahnya. Dipandangi wajah Prabu Duryudana dengan perasaan ragu. Ia hendak menyelami apa sesungguhnya kehendak keponakannya dengan mengatakan demikian. Tapi ini memang menjadi watak Sengkuni, bahkan dengan nada meyakinkan ia mengipaskan kembali suasana yang sudah mengendap dengan jawabannya, “Ooooh Sinuwun, ada saja! Jangankankan mertua yang tega atas menantunya, sebaliknya menantu yang melakukan pembunuhan terhadap mertuanya juga juga ada. Bahkan ia telah membunuh mertuanya dengan tangannya sendiri”.
“Dimana peristiwa itu terjadi Paman? Siapakah orang yang telah tega berbuat demikian?” Prabu Duryudana kembali terbawa oleh arus pembicaraan Pamannya. Ia telah tahu apa yang dikehendaki pamannya.
Dan jawaban Patih Harya Sangkuni dengan tidak lagi ragu “Tidak jauh dari sini, bahkan . . . “
“Cukup . . . . . !” Kali ini Prabu Salya menukas dengan ketus. Bara kemarahan yang belum sempurna padam kini sudah kembali berkobar. Bahkan ia sudah tak lagi dapat mengendalikan nalarnya. Maka tak lagi ia berpikir panjang dan segera menyambung kata katanya, “Jangan lagi sandiwara seperti yang kau ucapkan tadi itu diteruskan. Aku sudah mengerti arah pembicaraan itu, Suman! Bukankah engkau hendak mengatakan bahwa pada masa lalu aku telah membunuh ayah mertuaku sendiri? Itukah yang kamu maksudkan dan kamu hubungkan dengan kematian anakku Basukarna? Sudahlah, aku ini sudah tahu arah tujuan dengan kata katamu. Kamu hendak memanasi aku kembali, agar aku mau maju ke Medan Kurukasetra ! Tanpa kamu panasi dengan kata kata itupun aku sudah mempunyai tekad, besok aku akan maju ke palagan peperangan. Lihatlah, esok anak anak Pandawa akan aku kirimkan ke alam kelanggengan. Aku ulangi, tidak perlu mamakan waktu lama, tak sampai setengah hari semua keinginanmu akan terwujud!”
“Lho Sinuwun Prabu Salya, bukan maksud kami menceritakan tentang Paduka Prabu Salya, tapi bila paduka merasakan itu, ya silakan saja” Patih Sangkuni menjawab dengan nada merendah. Tetapi dalam hatinya ia tertawa terbahak bahak, menyaksikan pancingannya berhasil diasambar sasarannya.
Sesak didalam dada Prabu Salya mendengar Patih Sangkuni yang masih saja memberi jawaban. Namun kini yang bicara adalah paman dari Prabu Duryudana.
Maka ia tidak bisa gegabah menyalurkan kemarahan sebagaimana dilakukan terhadap Aswatama. Tidak hendak berlarut larut dalam kemarahan, ia menghela nafas panjang. Ia berusaha sekuat tenaga untuk memadamkan bara yang membakar hatinya. Karena ia tak lagi mau termakan provokasi Sangkuni, ia berkata kepada Prabu Duryudana dengan berusaha setenang yang ia bisa.
“Baiklah anak Prabu Duryudana, saya meminta waktu sekejap saja. Aku ingin kembali dulu menemui ibumu, Setyawati. Rasa kangenku terhadap ibumu tak lagi dapat ditahan. Mohon jangan bergerak dulu ke medan Kuru sebelum aku kembali dari Mandaraka”.
“Baiklah rama Prabu, doa kami menyertai kepulangan rama” Duryudana melepaskan kepulangan sementara Prabu Salya dengan rasa keraguan yang tetap menekan dadanya. Bahkan dalam hati kecilnya rasa frustrasi telah menuntunnya ke tindakan seorang pengecut.
“Paman Harya Sangkuni, segala merah hijaunya perang dan jalannya pertempuran aku serahkan kepada si paman untuk besok hari. Ikuti segala perintah dari Rama Prabu Salya. Besok aku tidak akan ikut campur urusan perang yang sudah aku berikan sepenuhnya kepada si paman dan rama Prabu Salya”.
Malam itu juga kereta kebesaran Prabu Salya bergerak kencang menuju ke keputren Mandaraka. Prabu Salya pulang ke Mandaraka dengan hati masgul.
Dan kedatangan Prabu Salya pada saat lepas sore itu benar benar mengejutkan Prameswari Mandaraka, Dewi Setyawati.
“Sinuwun kanda Prabu, kaget dan gembira rasa hati ini, ketika melihat Paduka Sinuwun telah berada kembali di Mandaraka. Apakan perang sudah selesai? Siapakah yang unggul dalam perang yang pasti melelahkan jiwa dan raga itu?”
“Pastilah kedatanganku membuat kamu berdua menjadi kaget. Dan perlu dinda Setyawati, bahwa perang belumlah benar benar selesai. Kedatanganku sesungguhnya hanya melepas kangen, sebab, aku merasa sudah terlalu lama, sejak pecah perang, baru kali ini aku kembali ke Mandaraka meninggalkanmu.
Ketahuilah, bahwa esok hari aku akan menjadi senapati perang. Dan sebagai seorang senapati, ibaratnya adalah seperti orang yang siap bepergian. Karena rasa sayangku terhadapmu, bila aku pergi nanti, maka kita harus pergi berdua. Secara kebetulan, bahwa kita berdua adalah orang yang punya hari lahir yang sama, maka bila kita pergi, sebaiknya juga kita pergi juga bersama-sama”.
Mendengar kata kata suaminya, Dewi Setyawati nampak tertegun. Sebagai seorang wanita anak Resi Bagaspati, yang tidak lain seorang pandita yang tak diragukan kewaskitaanya, ia sudah mempunyai firasat buruk terhadap apa yang dikatakan suaminya. Ia telah merelakan anak anak lelakinya habis dalam peperangan itu, tapi kali ini, ia tidak akan lagi rela melepas suaminya menjadi bebanten perang seperti yang terjadi pada anak anaknya. Maka ia bangkit dari duduknya dan bergelayut pada selendang suaminya. Prabu Salya yang melihat tingkah istrinya itu, kemudian tersenyum kepadanya. “Apa yang menjadi kekhawatiranmu Dinda Ratu, aku akan mendengarkan apa yang menjadi isi hatimu”, kata Salya masih dengan senyumnya.
“Kanda, anak anak lelaki kita, satu demi satu sudah gugur dalam membela Negara Astina. Bahkan anak perempuan kita Surtikanti juga telah bela pati atas kematian suminya Basukarna. Terlepas dari siapakah yang benar dalam perang itu, hamba sudah pasrah. Tapi, untuk kali ini, hamba tidak akan melepas kepergian paduka kemedan perang. Cukuplah sudah pengorbanan kita untuk mukti wibawa anak kita Banuwati. Malah bila mungkin, mintalah anak mantu kita menyudahi pertempuran, dan anak kita sekalian diminta untuk kembali ke Mandaraka. Negara Mandaraka sudah tidak lagi mempunyai Pangeran Pati, biarkan anak mantu Prabu Duryudana-lah yang sekiranya dapat kita turunkan negara ini untuknya. Dan kita sudah saatnya untuk menikmati hari tua ini di Pertapaan Argabelah dengan memasrahkan diri kepada dat yang maha kasih. Mohon maaf kanda Prabu untuk kelancangan hamba memberikan pilihan kemungkinan yang tak lagi mengorbankan seorangpun.”
Masih dengan senyumnya, Prabu Salya malah berkata memuji. Makin rapat sang istri memeluk suaminya. Prabu Salya pun membalas dengn memegang tangan istrinya “Itulah kenapa dari dulu aku menyayangimu, seorang anak gunung, yang jauh dari keramaian kota dan tata krama kerajaan. Tetapi dalam dirimu yang dikaruniai kecantikan yang sempurna, yang telah mampu merampas segenap sukmaku. Sampai sekarang walaupun engkau sudah berputra putri dewasa, kecantikan itu tidak pudar dimakan oleh waktu, malah semakin bersinar. Dan tak kalah dari yang telah aku ucapkan tadi, adalah mengenai sosok dirimu secara keseluruhan. Dasar pemikiran cemerlang yang kamu punya itu, selalu muncul setiap kali aku merasa buntu dalam menjalankan tata kenegaraan. Hingga segala pertimbangan atas buah pikiranmu selalu menuntun aku keluar dari masalah pelik. Maka, walaupun kita dikatakan tidak pernah terpisah sejengkalpun seumpamanya, dari muda hingga rambut kita sudah dua warna, tetapi ketika aku berpisah walau sekejap, rasa kangen ini selalu saja memenuhi dadaku. Dan bukan oleh karena permintaan rama Resi Bagaspati, bila aku memperistrimu aku tidak boleh menduakan dinda Setyawati. Tetapi memang tidak ada gunanya aku menduakanmu. Dari dirimu, semua rasa tentram, rasa bahagia dalam mengarungi bahtera kehidupan ini, rasanya sudah dinda berikan tanpa henti hari demi hari, tahun demi tahun. Jangan lagi dipikirkan yang akan terjadi besok, lihat, malam ini suasana sangat indah! Kenapa kita tidak menikmati karunia yang telah dewata limpahkan?
Jatuh kedalam pelukan mesra, Dewi Setyawati ke dada suaminya. Sanjungan suaminya yang dikenalnya sejak lama dan selalu saja dengan nada yang romantis telah berkali-kali ia dengar. Tapi kali ini sungguh ia dibuat terbang sukmanya. Dibimbingnya sang istri ke peraduan. Sudah tidak muda lagi keduanya, tetapi kemesraan diantaranya tetap terjalin waktu demi waktu. Tidak heran, bahwa lima orang putra putri telah lahir dari buah kasih mereka. Dan nama Setyawati adalah benar-benar sebagai ujud dari nama Endang Pujawati semasa gadisnya. Mereka berdua adalah manusia manusia yang dikaruniai kasih setia yang dalam satu sama lain.
Dipandangnya wajah istrinya ketika ia sudah terlelap terbuai mimpi indah. Dalam hatinya tak dapat dipungkiri, ia sangat mencintai istrinya. Dan Prabu Salya sangat memanjakan istrinya dengan berlaku setia penuh. Mungkin ia hendak membayar kesalahan yang telah dilakukan atas permintaannya dulu ketika rasa malunya mempunyai mertua berujud raksasa. Tetapi sesampainya di Mandaraka ketika memboyong istrinya, ia malah mendapat murka dari ayahnya, Prabu Mandrapati. Ia mengatakan hal yang sebenarnya terjadi atas mertuanya, tetapi ia tidak mengetahui bahwa Resi Bagaspati adalah saudara seperguruan ayahnya. Diusirlah Narasoma, Salya muda, ketika itu, yang diikuti oleh Madrim adiknya. Dari situlah ia menyerahkan Dewi Madrim dan Dewi Kunti ke tangan Pandu, atas pengakuan kekalahannya. Padahal ia telah memenangkan sayembara pilih dan berhak memboyong Kunti puteri Mandura. Kenangan masa lalu Salya terhenti ketika ia memutuskan sesuci dan masuk ke sanggar pamujan, meninggalkan sang istri yang masih terlelap tidur.
Kokok ayam yang pertama di pagi buta telah lama berlalu. Matahari di hari belum lagi bersiap menerangi semesta dengan cahaya merah diufuk timur. Dalam balutan busana putih di sanggar itu, Prabu Salya dikejutkan dengan kedatangan seorang utusan yang mengatakan telah menunggu dua orang tamu yang hendak menghadap.
Junjungannya dimasa lalu yang telah menilai kecil perannya selama ini. Ia merasa sadar sekarang bahwa dimasa lalunya ia telah dikerdilkan dengan hanya diberi derajat yang hanya dipandang sebelah mata. Kekesalan yang terpendam mencapai puncaknya ketika ia telah dibobot ringan dengan pengusiran yang kedua kali terhadap dirinya.
Dendam membara juga berkobar dalam dadanya kepada Prabu Salya, orang tua Banowati. Ia hanya bisa berkata dalam hati, jangankan kepada menantunya Prabu Salya tega, kepada mertuanya-Resi Bagaspati-pun ia sampai hati menghabisi hidupnya hanya karena perasaan malu mempunyai mertua berujud raksasa. Tapi kata katanya tersekat pada korongkongan, tak terlahirkan oleh perasaan tidak enak kepada Prabu Duryudana. Maka ia hanya dapat mendendam, kepada Banuwati-lah ia hendak lampiaskan. Dan malam dengan hujan rintik itu telah membawanya menuju taman Kadilengeng. Malam ketika melintas kutaraja Astina, ia tak menemui kesulitan apapun. Semua prajurit tunggu istana telah mengenal Aswatama dengan baik. Dan taman Kadilengeng telah ada didepan mata.
Sementara itu di balairung Bulupitu, sepeninggal Aswatama, perasaan marah dan setengah dipermalukan oleh Aswatama., masih mendekam didalam hati Prabu Salya. Hingga ia tak lagi berminat mengatakan sesuatu apapun. Suasana hening melimputi suasana sidang. Mereka yang hadir seperti terpaku ditempatnya. Hanya dalam pikiran masing masing yang berputar putar menanggapi peristiwa yang baru saja terjadi. Ketika kesunyian itu masih saja terjadi, Prabu Duryudana akhirnya berkata kepada pamannya.
“Paman Harya Sengkuni, sungguh tidak masuk akal apa yang dikatakan oleh Aswatama. Seorang ayah menegakan kematian anaknya, walau itu hanya anak menantu. Apakah ia hanya bercerita atas karangan ia sendiri? Apakah ada di dunia peristiwa semacam itu Paman?”
Patih Sengkuni kemudian mengangkat wajahnya. Dipandangi wajah Prabu Duryudana dengan perasaan ragu. Ia hendak menyelami apa sesungguhnya kehendak keponakannya dengan mengatakan demikian. Tapi ini memang menjadi watak Sengkuni, bahkan dengan nada meyakinkan ia mengipaskan kembali suasana yang sudah mengendap dengan jawabannya, “Ooooh Sinuwun, ada saja! Jangankankan mertua yang tega atas menantunya, sebaliknya menantu yang melakukan pembunuhan terhadap mertuanya juga juga ada. Bahkan ia telah membunuh mertuanya dengan tangannya sendiri”.
“Dimana peristiwa itu terjadi Paman? Siapakah orang yang telah tega berbuat demikian?” Prabu Duryudana kembali terbawa oleh arus pembicaraan Pamannya. Ia telah tahu apa yang dikehendaki pamannya.
Dan jawaban Patih Harya Sangkuni dengan tidak lagi ragu “Tidak jauh dari sini, bahkan . . . “
“Cukup . . . . . !” Kali ini Prabu Salya menukas dengan ketus. Bara kemarahan yang belum sempurna padam kini sudah kembali berkobar. Bahkan ia sudah tak lagi dapat mengendalikan nalarnya. Maka tak lagi ia berpikir panjang dan segera menyambung kata katanya, “Jangan lagi sandiwara seperti yang kau ucapkan tadi itu diteruskan. Aku sudah mengerti arah pembicaraan itu, Suman! Bukankah engkau hendak mengatakan bahwa pada masa lalu aku telah membunuh ayah mertuaku sendiri? Itukah yang kamu maksudkan dan kamu hubungkan dengan kematian anakku Basukarna? Sudahlah, aku ini sudah tahu arah tujuan dengan kata katamu. Kamu hendak memanasi aku kembali, agar aku mau maju ke Medan Kurukasetra ! Tanpa kamu panasi dengan kata kata itupun aku sudah mempunyai tekad, besok aku akan maju ke palagan peperangan. Lihatlah, esok anak anak Pandawa akan aku kirimkan ke alam kelanggengan. Aku ulangi, tidak perlu mamakan waktu lama, tak sampai setengah hari semua keinginanmu akan terwujud!”
“Lho Sinuwun Prabu Salya, bukan maksud kami menceritakan tentang Paduka Prabu Salya, tapi bila paduka merasakan itu, ya silakan saja” Patih Sangkuni menjawab dengan nada merendah. Tetapi dalam hatinya ia tertawa terbahak bahak, menyaksikan pancingannya berhasil diasambar sasarannya.
Sesak didalam dada Prabu Salya mendengar Patih Sangkuni yang masih saja memberi jawaban. Namun kini yang bicara adalah paman dari Prabu Duryudana.
Maka ia tidak bisa gegabah menyalurkan kemarahan sebagaimana dilakukan terhadap Aswatama. Tidak hendak berlarut larut dalam kemarahan, ia menghela nafas panjang. Ia berusaha sekuat tenaga untuk memadamkan bara yang membakar hatinya. Karena ia tak lagi mau termakan provokasi Sangkuni, ia berkata kepada Prabu Duryudana dengan berusaha setenang yang ia bisa.
“Baiklah anak Prabu Duryudana, saya meminta waktu sekejap saja. Aku ingin kembali dulu menemui ibumu, Setyawati. Rasa kangenku terhadap ibumu tak lagi dapat ditahan. Mohon jangan bergerak dulu ke medan Kuru sebelum aku kembali dari Mandaraka”.
“Baiklah rama Prabu, doa kami menyertai kepulangan rama” Duryudana melepaskan kepulangan sementara Prabu Salya dengan rasa keraguan yang tetap menekan dadanya. Bahkan dalam hati kecilnya rasa frustrasi telah menuntunnya ke tindakan seorang pengecut.
“Paman Harya Sangkuni, segala merah hijaunya perang dan jalannya pertempuran aku serahkan kepada si paman untuk besok hari. Ikuti segala perintah dari Rama Prabu Salya. Besok aku tidak akan ikut campur urusan perang yang sudah aku berikan sepenuhnya kepada si paman dan rama Prabu Salya”.
Malam itu juga kereta kebesaran Prabu Salya bergerak kencang menuju ke keputren Mandaraka. Prabu Salya pulang ke Mandaraka dengan hati masgul.
Dan kedatangan Prabu Salya pada saat lepas sore itu benar benar mengejutkan Prameswari Mandaraka, Dewi Setyawati.
“Sinuwun kanda Prabu, kaget dan gembira rasa hati ini, ketika melihat Paduka Sinuwun telah berada kembali di Mandaraka. Apakan perang sudah selesai? Siapakah yang unggul dalam perang yang pasti melelahkan jiwa dan raga itu?”
“Pastilah kedatanganku membuat kamu berdua menjadi kaget. Dan perlu dinda Setyawati, bahwa perang belumlah benar benar selesai. Kedatanganku sesungguhnya hanya melepas kangen, sebab, aku merasa sudah terlalu lama, sejak pecah perang, baru kali ini aku kembali ke Mandaraka meninggalkanmu.
Ketahuilah, bahwa esok hari aku akan menjadi senapati perang. Dan sebagai seorang senapati, ibaratnya adalah seperti orang yang siap bepergian. Karena rasa sayangku terhadapmu, bila aku pergi nanti, maka kita harus pergi berdua. Secara kebetulan, bahwa kita berdua adalah orang yang punya hari lahir yang sama, maka bila kita pergi, sebaiknya juga kita pergi juga bersama-sama”.
Mendengar kata kata suaminya, Dewi Setyawati nampak tertegun. Sebagai seorang wanita anak Resi Bagaspati, yang tidak lain seorang pandita yang tak diragukan kewaskitaanya, ia sudah mempunyai firasat buruk terhadap apa yang dikatakan suaminya. Ia telah merelakan anak anak lelakinya habis dalam peperangan itu, tapi kali ini, ia tidak akan lagi rela melepas suaminya menjadi bebanten perang seperti yang terjadi pada anak anaknya. Maka ia bangkit dari duduknya dan bergelayut pada selendang suaminya. Prabu Salya yang melihat tingkah istrinya itu, kemudian tersenyum kepadanya. “Apa yang menjadi kekhawatiranmu Dinda Ratu, aku akan mendengarkan apa yang menjadi isi hatimu”, kata Salya masih dengan senyumnya.
“Kanda, anak anak lelaki kita, satu demi satu sudah gugur dalam membela Negara Astina. Bahkan anak perempuan kita Surtikanti juga telah bela pati atas kematian suminya Basukarna. Terlepas dari siapakah yang benar dalam perang itu, hamba sudah pasrah. Tapi, untuk kali ini, hamba tidak akan melepas kepergian paduka kemedan perang. Cukuplah sudah pengorbanan kita untuk mukti wibawa anak kita Banuwati. Malah bila mungkin, mintalah anak mantu kita menyudahi pertempuran, dan anak kita sekalian diminta untuk kembali ke Mandaraka. Negara Mandaraka sudah tidak lagi mempunyai Pangeran Pati, biarkan anak mantu Prabu Duryudana-lah yang sekiranya dapat kita turunkan negara ini untuknya. Dan kita sudah saatnya untuk menikmati hari tua ini di Pertapaan Argabelah dengan memasrahkan diri kepada dat yang maha kasih. Mohon maaf kanda Prabu untuk kelancangan hamba memberikan pilihan kemungkinan yang tak lagi mengorbankan seorangpun.”
Masih dengan senyumnya, Prabu Salya malah berkata memuji. Makin rapat sang istri memeluk suaminya. Prabu Salya pun membalas dengn memegang tangan istrinya “Itulah kenapa dari dulu aku menyayangimu, seorang anak gunung, yang jauh dari keramaian kota dan tata krama kerajaan. Tetapi dalam dirimu yang dikaruniai kecantikan yang sempurna, yang telah mampu merampas segenap sukmaku. Sampai sekarang walaupun engkau sudah berputra putri dewasa, kecantikan itu tidak pudar dimakan oleh waktu, malah semakin bersinar. Dan tak kalah dari yang telah aku ucapkan tadi, adalah mengenai sosok dirimu secara keseluruhan. Dasar pemikiran cemerlang yang kamu punya itu, selalu muncul setiap kali aku merasa buntu dalam menjalankan tata kenegaraan. Hingga segala pertimbangan atas buah pikiranmu selalu menuntun aku keluar dari masalah pelik. Maka, walaupun kita dikatakan tidak pernah terpisah sejengkalpun seumpamanya, dari muda hingga rambut kita sudah dua warna, tetapi ketika aku berpisah walau sekejap, rasa kangen ini selalu saja memenuhi dadaku. Dan bukan oleh karena permintaan rama Resi Bagaspati, bila aku memperistrimu aku tidak boleh menduakan dinda Setyawati. Tetapi memang tidak ada gunanya aku menduakanmu. Dari dirimu, semua rasa tentram, rasa bahagia dalam mengarungi bahtera kehidupan ini, rasanya sudah dinda berikan tanpa henti hari demi hari, tahun demi tahun. Jangan lagi dipikirkan yang akan terjadi besok, lihat, malam ini suasana sangat indah! Kenapa kita tidak menikmati karunia yang telah dewata limpahkan?
Jatuh kedalam pelukan mesra, Dewi Setyawati ke dada suaminya. Sanjungan suaminya yang dikenalnya sejak lama dan selalu saja dengan nada yang romantis telah berkali-kali ia dengar. Tapi kali ini sungguh ia dibuat terbang sukmanya. Dibimbingnya sang istri ke peraduan. Sudah tidak muda lagi keduanya, tetapi kemesraan diantaranya tetap terjalin waktu demi waktu. Tidak heran, bahwa lima orang putra putri telah lahir dari buah kasih mereka. Dan nama Setyawati adalah benar-benar sebagai ujud dari nama Endang Pujawati semasa gadisnya. Mereka berdua adalah manusia manusia yang dikaruniai kasih setia yang dalam satu sama lain.
Dipandangnya wajah istrinya ketika ia sudah terlelap terbuai mimpi indah. Dalam hatinya tak dapat dipungkiri, ia sangat mencintai istrinya. Dan Prabu Salya sangat memanjakan istrinya dengan berlaku setia penuh. Mungkin ia hendak membayar kesalahan yang telah dilakukan atas permintaannya dulu ketika rasa malunya mempunyai mertua berujud raksasa. Tetapi sesampainya di Mandaraka ketika memboyong istrinya, ia malah mendapat murka dari ayahnya, Prabu Mandrapati. Ia mengatakan hal yang sebenarnya terjadi atas mertuanya, tetapi ia tidak mengetahui bahwa Resi Bagaspati adalah saudara seperguruan ayahnya. Diusirlah Narasoma, Salya muda, ketika itu, yang diikuti oleh Madrim adiknya. Dari situlah ia menyerahkan Dewi Madrim dan Dewi Kunti ke tangan Pandu, atas pengakuan kekalahannya. Padahal ia telah memenangkan sayembara pilih dan berhak memboyong Kunti puteri Mandura. Kenangan masa lalu Salya terhenti ketika ia memutuskan sesuci dan masuk ke sanggar pamujan, meninggalkan sang istri yang masih terlelap tidur.
Kokok ayam yang pertama di pagi buta telah lama berlalu. Matahari di hari belum lagi bersiap menerangi semesta dengan cahaya merah diufuk timur. Dalam balutan busana putih di sanggar itu, Prabu Salya dikejutkan dengan kedatangan seorang utusan yang mengatakan telah menunggu dua orang tamu yang hendak menghadap.
Seri Lengkap Bharatayuda, masuk SINI.
Posting Komentar untuk "Saat-saat Terakhir"