Resi Durna
RESI DURNA yang waktu mudanya bernama Bambang Kumbayana adalah putra Resi Baratmadya dari Hargajembangan dengan Dewi Kumbini.
Resi Durna mempunyai saudara seayah seibu bernama: Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani.
Resi Durna berwatak; tinggi hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tetapi kecakapan, kecerdikan, kepandaian dan kesaktiannnya luar baisa serta sangat mahir dalam siasat perang.
Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan, Resi Durna dipercaya menjadi guru anak-anak Pandawa dan Kurawa.
Resi Durna mempunyai pusaka sakti berwujud keris bernama Cundamanik dan panah Sangkali (diberikan kepada Arjuna).
Resi Durna menikah dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji, raja negara Tempuru, dan memperoleh seorang putra bernama Bambang Aswatama. Dalam versi lain, Aswatama adalah anak Kumbayana dengan Dewi Wilutama
Resi Durna berhasil mendirikan padepokan Sokalima setelah berhasil merebut hampir setengah wilayah negara Pancala dari kekuasaan Prabu Drupada.
Dalam peran Bharatayuda Resi Durna diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa, setelah gugurnya Resi Bisma.
Resi Durna sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat menentukan gelar perang.
Resi Durna gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestajumena, putra Prabu Drupada, yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Durna akibat dendam Prabu Ekalaya raja negara Parangggelung yang arwahnya menyatu dalam tubuh Drestajumena.
Baca Pula : Durna Gugur
DAHYANG DURNA
Dahyang Durna masa mudanya bernama Bambang Kumbayana. Ia berasal dari Atasangin, beroman bagus dan sakti.
Kumbayana mempunyai seorang saudara angkat. bernama Bambang Sucitra yang telah meninggalkan negaranya dan pergi ke Tanah Jawa.
Kumbayana kemudian menyusul, tetapi setibanya
ditepi samudera berhentilah ia di situ dengan sedihnya. Lalu ia pun
berkata barang siapa dapat menyeberangkan ke Tanah Jawa akan dianggap
saudaranya bila orang itu laki-laki dan akan dijadikan istrinya bila
orang itu perempuan.
Begitu selesai mengucapkan ujarnya, datanglah
mendekati Kumbayana seekor kuda betina bersayap. Kumbayana merasakan,
bahwa kuda itulah yang akan menolong dia meriyeberangkan. Ditungganginya
kuda itu dan secepat kilat ia diterbangkan ke Tanah Jawa. Setelah
Kumbayana turun, kuda melahirkan seorang anak laki-laki dan kuda pun
berobah menjadi bidadari, bernama Dewi Wilotama dan terus terbang ke
angkasa. Si anak diberi nama Bambang Aswatama.
Kumbayana semakin susah, karena selama perjalanan
ia harus mendukung bayi. Sampai jugalah akhirnya ia di Cempalareja,
negara saudara angkatnya, Bambang Sucitra yang bertakhta di situ dengan
gelar Prabu Drupada.
Dengan sukacita Kumbayana naik ke balairung dan ketika mengenal kembali saudara angkatnya, berserulah ia, “Sucitra, Sucitra!”
Gandamana, ipar Prabu Drupada, sangat murka
mendengar seruan Kumbayana itu yang dianggapnya menghina raja dan
dianiayanyalah Kumbayana, hingga cacad badannya, Prabu Drupada terlambat
mendengar kejadian tersebut. Kumbayana dipeliharanya dan disuruhnya
tinggal di Sokalima, dengan nama Dahyang Durna.
Durna kemudian menghambakan diri pada raja Astina,
Prabu Suyudana dan diangkat sebagai pendeta dan guru segenap korawa dan
Pendawa.
Durna seorang pendeta bijaksana. Wrekodara adalah
anak muridnya yang sejati. Dengan maksud supaya Wrekodara tenggelam di
laut, diperdayanya anak muridnya itu, dan disuruhnya terjun ke dalam
laut. Segala petunjuk Durna yang sebenarnya menyesatkan itu oleh
Wrekodara diikuti dengan taat dan menyebahkan ksatria ini bisa bertemu
dengan dewanya yang sebenarnya, yakni Dewa Ruci yang memberikan
bimbingan kepadanya, hingga menjadikan ilmu Wrekodara lebih sempurna
lagi.
Di kala Durna dan Sakuni dimainkan bersama-sama,
kedua tokoh ini sering bersenda gurau, meski di hadapan raja sekalipun.
Cara memainkan yang demikian ini sebaiknya dihilangkan dari pewayangan,
oleh karena tak masuk akallah, kalau orang bersenda gurau di hadapan
raja.
Dalam perang Barayuda, Durna tewas oleh Raden
Drustajumna karena tusukan keris yang telah kemasukan jiwa Prabu
Palgunadi yang membalas dendam pada Durna.
Dahyang Durna bermata kriyipan (berkejab-kejab)
berhidung mungkal gerang, seperti batu asahan yang sudah aus. Bermulut
gusen (kelihatan gusinya). Berdagu mengerut, menandakan dagu orang tua.
Berjenggot. Berkain bentuk rapekan pendeta. Hanya tangan belakangnya
yang bisa digerakkan. Tangan yang lainnya memegang tasbih. Bercelana
cindai dan bersepatu.
Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982
Posting Komentar untuk "Resi Durna"