Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Burisrawa Gugur

Pegal, sebal, rasa Prabu Duryudana. Kembali ke Astina disela sela perang, dirancang bakal mengendurkan rasa tegang. Tetapi yang terjadi adalah rancangan yang berubah menjadi mentah. Yang ditemui di taman Kadilengeng bukan layanan penuh kasih sang istri yang didadamba siang dan malam sepeninggalnya dari istana. Yang ditemui ternyata hanyalah keruwetan yang menambah kusut masai keadaan hati didalam. Ricuh di taman Kadilengeng masih meninggalkan rasa sebah tetapi rindu terhadap sang istri, belum terlampiaskan. Sehingga rasa hati itu akhirnya terbayang  diwajah kusut sang Prabu.

Untuk mengobati segala rasa itu, segera ia mandi. Didalam mandinya, tetap yang terbayang adalah sang istri, Dewi Banowati.

Setelah mandi ia berganti busana kependitaan hendak bersamadi menenangkan batin. Ubarampe persembahan utama telah disediakan berupa sebongkah kemenyan sebesar kepala kerbau  yang diletakkan diatas pedupaan. Segera disulut dengan api secara hati hati, namun berkali kali gagal. Dalam sekian kali usaha akhirnya berhasil ia menyalakan pedupaan itu. Segera upacara dilakukan dengan duduk bersila, ia berusaha memusatkan perasaan heningnya, menutup semua sembilan lubang tubuhnya.

Bau kembang gadung dan semerbak bunga menur tercampur akar akaran, mewangi tercampur dengan asap dupa yang berkeluk meliuk naik keangkasa berbaur mega, yang bila terlihat bagai bayangan sosok dewata.

Tak lagi samar akan sinar pamor sang  suksma yang melayang dikeheningan sepi. Yang tersimpan didalam kalbu sang Prabu hanyalah kunci pembuka pintu hati. Dalam keadaan yang setengah sadar, bagai pesat laju lepasnya mimpi, sang sukma Duryudana menyusup dalam kesejatian rasa.

Namun belum tuntas dalam melakukan ritual itu, bayangan Dewi Banowati kembali membayang menggoda pemusatan rasa sang Prabu. Gagal sang Prabu mencapai puncak pemuja, kembali ia berusaha dari awal. Namun kembali ia gagal

Berkali kali berusaha, berkali itu pula ia gagal dan gagal lagi. Murka sang Prabu Duryudana, ditendangnya pedupaan hingga pecah berantakan. Dalam hatinya ia memaki dewata yang dikiranya berbuat rencana buruk buat dirinya.

Merasa tak lagi ada gunanya ia kembali ke Astina, segera dipanggilnya tunggangan sang Prabu, berrupa gajah putih bernama Kyai Pamuk. Segera dipacu tunggangan itu kembali ke Pesanggrahan Bulupitu, dengan secepat cepatnya. Ia hendak melampiaskan kekesalan yang menggunung tumpuk menumpuk didadanya.

Tak beberapa lama saking cepat lari sang gajah, sore itu sudah kembali ke pesanggrahan Bulupitu, yang ditinggalkan setelah ricuh tempo hari.
Kembali ia menemukan kenyataan sangat pahit. Berita kematian adik iparnya, Jayadrata, membuatnya semakin murka.

“Paman Pendita Durna, sudah berapa hari andika menjadi senapati ? Kesanggupan andika paman dalam menumpas Pandawa, meringkus Puntadewa selama itu tak kelihatan nyatanya !  Gugurnya anakku yang merupakan kehilangan lebih dari seisi harta kekayaan negara, sekarang telah andika tambahi dengan menyusulnya adipati Banakeling, Jayadrata !  Itukah yang andika telah lakukan dalam ujud pengabdian sebagai senapati ! Kalau boleh aku sebut, andika adalah seorang guru yang telah melakukan pilih kasih. Paduka sang Penembahan telah melakukan perbuatan dengan standar ganda. Raga andika ada di sekitar para Kurawa,namun dikedalaman hati, para Pandawalah yang bersemayam dalam hati.

“Itu dapat dilihat dari pencapaian selama andika menjadi senapati. Hanya matinya Abimanyu-kah yang dapat andika lakukan ?  Taklah itu seimbang dengan gugurnya Pangeran Pati Astina, satu satunya anakku lelaki sebagai penyambung keturunanku. Apakah aku sendiri yang harus maju menjadi senapati !”
Pandita Durna yang dicerca sedemikian bertubi tubi, malu dalam hatinya. Melihat Prabu Duryudana masih hendak menyambung kata katanya, tak tahan ia. Segera pergi ia tanpa pamit. Dalam lubuk hatinya, sangatlah sakit diperlakukan demikian. Apalagi peristiwa kemarin hari, yang menyebabkan tewasnya adik iparnya, dan diusirnya Aswatama, membuat ia merasa bagai terkeping keping hancurnya hati.

Kejadian di Bulupitu menjadikan Prabu Salya sangat prihatin.

“Aduh anak Prabu, sudahkah anak Prabu berpikir jernih dengan kata katamu tadi ?” Salya  yang dari tadi diam, berbicara ia mengingatkan. “Akan susut kekuatan Kurawa bila ia tidak lagi ada pada pihak kita. Ia belumlah melangkah ke palagan dengan kekuatan dirinya. Selama ini ia baru menggunakan kekuatan orang orang disekelillingnya. Seharusnya anak Prabu memberi kesempatan kepadanya dengan lebih luas untuk meringkus para Pandawa dengan kekuatannya sendiri.”

Sesal sang Prabu tiada guna. Dipanggilnya patih Sangkuni “Paman Harya, segera susul Pandita Durna, sampaikan rasa sesalku yang tak kuat menahan beban rasa yang menggelayut didadaku. Mintalah ia segera untuk kembali ke Bulupitu”.

“Daulat titah anak Prabu. Malam ini juga akan aku cari beliau. Tak akan pamanmu pulang,  sebelum Kakang Durna  ditemukan. Namun bolehkah hamba ditemani Aswatama ?”

Tanya Sangkuni ragu, karena setahu ia , Aswatama telah menjadi orang yang tak disukai sang Prabu, ketika terjadi ricuh di Bulupitu. Namun otaknya yang encer mengatakan, Aswatama-lah yang hendak dijadikan pasal untuk merayu kembalinya Dahyang Durna, bila ia ketemu nanti.

“Terserahlah Paman mau ditemani siapa. Yang penting adalah kembalinya Pandita Durna”.

Mundur Patih Harya Sangkuni sambil menghaturkan sembah. Sesampainya diluar, diperintahkan prajurit pecalang untuk menghadirkan Aswatama. Malam gelap itu ia ditemani anak Durna berjalan tanpa tujuan, mencari seseorang dengan jejak yang tak nampak. Sasar susur kedua orang itu malam yang pekat mencari keberadaan Pandita Durna. Tak terasa mereka telah jauh meninggalakan medan Kurusetra.

Sementara di Bulupitu, merenung Prabu Duryudana memikirkan situasi yang terjadi atas barisannya. Setengah menyerah, setengah semangat berganti ganti terrasa didalam hatinya. Bagaimanapun juga, adanya orang tua itu telah menjadikan rasa dan pikirnya semangat, karena kesaktian gurunya itu sebenarnya sejajar dengan keberadaan Resi Bisma ketika itu, yang sama sama murid dari Ramaparasu. Petapa sakti yang panjang umurnya. Pertapa yang hidup sebelum jaman Ramayana berlaku hingga ia mempunyai murid Dewabrata dan Kumbayana yang kemudian ia dipanggil dewata sebagai penghuni kahyangan.

Prabu Duryudana akhirnya ia berpikir akan negaranya, Astina, bila ia maju sendiri ke peperangan sebagai senapati.

Bahkan sempat terlintas dipikirannya, bila ia mati dalam peperangan, maka suksesi kepemimpinan akan dikemanakan.

Teringat tentang hal ini, dipanggilnya adiknya Arya Dursasana. Dalam pikirnya, ia harus menyiapkan pangeran pati baru sebagai pengganti anak sulungnya Lesmana Mandrakumara.

“Adikku Dursasana, tahukah kenapa aku panggil kamu ?” Duryudana membuka pembicaraan dengan maksud menjajagi hati adik kesayangannya.
“Tidak kanda prabu. Kalaupun hamba sudah dipanggil pastilah hamba bakal dipercaya menjadi senapati. Ngiler rasanya bagaikan ngidam rujak cempaluk. Cepatlah kanda Prabu mengatakan, sekaranglah hamba harus melangkah kemedan pertempuran sebagai seorang senapati melawan Pandawa”.

Sudah menunggu sekian lama saya mengharap maju sebagai senapati, ikut perang di hari hari kemarinpunpun serba dibatasi. Apalagi dijadikan senapati.
Hari ini hamba dipanggil, gembiranya hati adikmu ini bagaikan mendapat ganjaran yang tiada ternilai harganya. Perkenankan adikmu ini, untuk segera melangkah ke peperangan “. Harapan akan tugas sebagai senapati memenuhi dada Dursasana.

“Jauh  dari yang kamu harapkan”. Tegas kata sang Prabu.

“Hah . . .  bagaimana sebenarnya ?. Kecewa berat Dursasana mendengar jawaban kakak sulungnya itu dengan seribu tanya dihatinya.

“ Hari ini, kamu saya suruh kamu pulang ke istana”. Makin tak mengerti ia mendengar jawaban kakaknya. Belum jelas apa yang dimaksud kakaknya, ia melanjutkan “Apakah ada musuh yang menerabas dari belakang ?”

“Ada pekerjaan yang harus kamu lakukan. Jagalah kakak mu Banuwati” Kaget setengah tak percaya ia mendengar titah kakaknya. Sampai sampai ia menanyakan kembali perintah itu, tapi jawabannya sama  saja.

Tidak puas Dursasana menawar “Bagaimanapun saya seorang prajurit, yang seharusnya maju ke medan perang. Kenapa haru kembali ke istana ? Kalau boleh kali ini hamba menolak perintah paduka”

“Apa kamu tidak takut aku  ?” tanya Duryudana mempengaruhi adiknya.

“Takut ? Pasti. Karena kanda prabu adalah raja hamba, juga kakak sulung hamba”. Kecewa Dursasana makin dalam. Keringat dingin yang mengalir diwajahnya dibiarkan mengalir. Ia tak peduli dengan keadaan dirinya ketika batinnya berontak hebat.

“Yang saya ingin sampaikan adalah, kekhawatiranku akan terjadinya apa apa terhadap kakak iparamu dan terhadap kamu sendiri”. Dijelaskannya maksud dari semua perintah terhadap adiknya.

Tabiat Dursasana dikenal sebagai seorang Kurawa pemberani cenderung ugal ugalan. Maka ketika diberi tugas menjaga wanita, batinnya sangat tidak terima. Tetapi apa daya, rasa bakti terhadap kakaknya mengalahkan segalanya.

Maka berangkatlah dengan langkah gontai, Raden Arya Prawira Dursasana. Semangat menggebu gebu diawal, terkubur oleh perintah kakaknya yang menyebabkan ia merasa, seakan didandani dengan bedak tebal dimukanya, dipoles bibirnya dengan gincu, sementara gelung rambutnya dirubah seperti bentuk gelung malang, gelung para wanita. Dalam perasaannya ia juga bagai dipakaikan kain minting minting bak dandanan wanita.

**********

Hari telah berganti lagi, pagi baru menjelang. Kekosongan senapati membuat putra Mandaraka, Burisrawa, adik Banuwati, tanpa diperintah telah mengambil alih peran Pandita Durna. Segera ia menyusun barisan tanpa pola menyerang maju ke padang Kuru dengan ampyak awur awur, serabutan membabi buta.
Ketika dilapori bahwa hari itu pasukan Bulupitu datang dengan pimpinan Burisrawa, Werkudara yang sedang berjaga di garis depan, pesanggrahan Randugumbala segera bersiap menghadang.

Tetapi Setyaki, yang dari dulu sudah menjadi musuh bebuyutan, segera menyelonong kehadapan Arya Werkudara.


 “Kanda Arya, ini yang aku tunggu dari kemarin ! Sekaranglah waktunya yang tepat untuk menuntaskan dendam berkepanjangan antara aku dengan Burisrawa” ingatan Setyaki berbalik ke masa masa lalu, yang berkali kali gagal menuntaskan permusuhan bebuyutan dengan Burisrawa. Terakhir kali ingatnya, ia bertempur sewaktu mengikut Prabu Kresna ketika didaulat menjadi kusirnya sebagai duta terakhir sebelum pecah perang.

“Bungkik, apa yang menjadi bekal kamu dalam menghadapi Burisrawa yang berbadan lebih besar dan kekuatan bagaikan orang hutan” Tanya Werkudara meyakinkan tekad Setyaki.

“Yang paling utama adalah tekad !” jawab Setyaki yakin.

“Tekad tidak cukup !” kembali Werkudara menjawab

“Jadi harus bagaimana ?” tanya Setyaki memancing.

“Sebelum kamu maju menghadapi Burisrawa, akan aku uji dulu kekuatanmu !“ Werkudara menawarkan cara

“Silakan kanda Arya !” Setyaki bersiap diri.

“Angkat Gada Lukitasari punyaku, bila kau sanggup mengangkatnya, kamu pantas menghadapi Burisrawa”. Ujian pertama ditawarkan.

Segera disorongkan batang gada kehadapan Setyaki, dengan sekali usaha, terangkat gada super berat Arya Bimasena.

“Bagus , kamu memang pantas menyandang nama Bima Kunting !” . Bima Kunting artinya adalah Bima dengan tubuh kecil. Dijuluki demikian, Setyaki tetap bangga.

“Tapi itu belum cukup ! Satu lagi, bila kamu bisa kuat menerima pukulan gadaku ini, kamu boleh berangkat sekarang !.” Kembali ujian kedua ditawarkan.
“Silakan kanda.” Kembali Setyaki bersiap diri.

Dipukulnya Setyaki dengan gada Rujakpolo. Gelegar suara benturan badan  Setyaki dengan batang gada bahkan menggetarkan tanah tempat Setyaki berpijak. Gelegar suara itu bagai menerpa  batang baja. Setyaki tetap bergeming. Gembira Werkudara menyaksikan kekuatan adik misannya.

“Ayoh berangkat akan aku awasi dari jauh !” Werkudara memberi aba aba

Bangga Setyaki lulus dalam ujian yang tidak ringan itu.

Semakin percaya diri Setyaki menghadapi Burisrawa. Iapun sesumbar. “Nanti siapapun yang kalah, tak ada seorangpun yang boleh membantu !”

Maka berhadapanlah kedua satria yang sudah lama saling mendendam. Bara dendam memercikkan semangat untuk saling mengalahkan dalam arena resmi ini. Mereka berdua bertekad untuk menyelesaikan adu kekuatan dengan kemenangan.

“Heee Setyaki yang datang menjemput aku, sudah bosan rasanya aku melihat kamu lagi. Kali ini adalah kali yang terakhir. Aku tak mau melihat tampangmu lagi. Biar aku tekuk kamu sekarng ! Tidak mungkin kamu mengalahkan aku !”

“Apapun katamu, sekarang tak ada lagi yang bakal menunda kematianmu !”.

“Apa yang kamu andalkan ? Besarnya badan, lebih besar aku. Kekuatan pasti lebih kuat aku. Majulah kemari orang kecil, terkena sambaran kakiku lunas nyawamu !”

“Jangan banyak mulut, serang aku sekarang juga !”

Adu kekuatan mulanya berjalan seimbang. Pukulan tangan kosong dada Setyaki dilancarkan Burisrawa. Berkelit sambil memiringkan badan Setyaki menghindar sambil mengayunkan sapuan kaki kanannya. Tak mau terkena sasaran kaki Setyaki, Burisrawa meloncat. Sambil berbalik badan, kakinya mengarah ke leher Setyaki.

Kali ini benturan tak dapat dielakkan lagi, Setyaki merunduk sambil mengerahkan kekuatan ditangannya, kaki Burisrawa ditebas dengan tangan berkekuatan penuh. Benturan keras terjadi. Sementara tangan Setyaki kesemutan, Burisrawa mendaratkan kakinya dengan terpincang pincang.

Kembali adu kekuatan kaki dan tangan keduanya berlangsung silih berganti. Saling serang dengan kekuatan raksasa, diselingi dengan ketangkasan beradu gada.

Setengah hari telah berlalu. Lama kelamaan kekuatan tenaga dari kedua satria itu makin dapat ditebak keseimbangannya. Walaupun Setyaki bertenaga raksasa penjelmaan raksasa Singa Mulangjaya, namun Burisrawa adalah anak raja Mandaraka yang hampir tak pernah betah tinggal di istana. Ia lebih suka berkelana dihutan hutan hingga kesisi lautan. Berguru pada berbagai orang sakti, hingga Batari Durga dan Betara Kala sekalipun pernah menjadi gurunya. Tak heran ia menjadi manusia dengan kekuatan gorila, karena rajinnya ia mencari kesaktian dan menyadap kekuatan alam.

Maka pada suatu saat, Setyaki terkunci oleh gerak pitingan Burisrawa. Setyaki mengerahkan seluruh kekuatannya, tetapi bagai terjepit ragum baja raksasa, rontaannya tak sanggup ia lepas dari jepitan kekuatan raksasa Burisrawa.

Bangga Burisrawa akan usahanya menjepit Setyaki “Disini akhir hidupmu Setyaki. Akan aku patahkan tulang belulangmu sedikit demi sedikit, agar kamu tahu, betapa sakitnya berani beraninya melawan Burisrawa !”.

Belas kasih Prabu Kresna melihat adik istrinya, Setyaboma, terjepit oleh kekuatan raksasa Burisrawa. Tapi di awal sudah ada perjanjian antar keduanya, bahwa peperangan tanding itu tidak boleh dibantu oleh siapapun. Tak kurang akal, Kresna memanggil Arjuna hendak melakukan sandiwara agar adik iparnya itu dapat ditolong.

“Arjuna, aku masih ragu terhadap trauma atas kematian anak anakmu. Apakah jiwamu sudah penuh kembali seperti semula atau belum ! Karena masih banyak para sakti yang masih bermukim di pesanggrahan Bulupitu. Ujian akan aku berikan, hingga aku tahu  sampai dimana kembalinya pemusatan pikirmu. Sekarang aku uji pemusatan pikiranmu, dengan memanah sehelai rambut yang ada ditanganku ini, kenai dengan panahmu Kyai Pasopati . . !”


“Marilah kanda Prabu, akan aku buktikan kembalinya kekuatan jiwa ragaku” mantap Arjuna menerima tantangan ujian itu.

Terlepas panah Pasupati memutus rambut yang terpegang Prabu Kresna, tetapi sejatinya, arah yang diharapkan Prabu Kresna adalah searah dengan keberadaan Burisrawa yang tengah memiting Setyaki. Maka tak ayal lagi terserempet Kyai Pasupati, lengan Burisrawa terputus, tergeletak jatuh ketanah.

Merasa pitingan lawan kendor, disertai raungan kesakitan Burisrawa, Setyaki punya kesempatan meraih gadanya. Dipukul kepala Burisrawa berkali kali, tewas seketika Burisrawa.

Bangga Setyaki melihat lawannya tergeletak tak bernyawa lagi

“Huh Burisrawa . . . ! Sumbarmu bagai hendak memecahkan langit ! Kepentok kesaktianku, mati kamu sekarang !” berkacak pinggang Setyaki didepan jasad Burisrawa.

“Setyaki siapa yang membunuh Burisrawa ?” Kresna yang menyusul kearah Setyaki menjajagi rasa bangga Setyaki.

“Tentu saja adikmu yang gagah sentosa ini !” kebanggaan Setyaki belum habis juga

“Coba lihat sekali lagi,  apa penyebab kamu bisa lepas dari pitingan lawanmu ?” tanya Kresna.

“Oooh  . . . . . jadi lengannya telah putus lebih dulu sebelum hamba pukul kepalanya ?”


“Makanya jadi orang jangan pandir, hayuh minggir , lihat ayah Burisrawa, Prabu Salya tidak terima !” Buru buru Setyaki diseret Prabu Kresna agar menjauhi jasad Burisrawa.

Memang yang terjadi adalah Prabu Salya hendak maju kemedan perang. Tapi tak tega Prabu Duryudana segera memegangi Prabu Salya, agar berlaku sabar terlebih dulu. Duryudana merasa belum saatnya sang mertua untuk bertindak walaupun tahu betapa sedihnya hati orang tua itu tatkala melihat anaknya lelaki yang tinggal satu itu, setelah kematian kakak Burisrawa, Rukmarata, maka yang tertinggal adalah ketiga anak perempuannya, Erawati, Surtikanti dan Banuwati.

Seri Lengkap Bharatayuda, masuk SINI.

Posting Komentar untuk "Burisrawa Gugur"