Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ricuh juga di Kadilengeng

Diceritakan, yang ada didalam taman sari Astina. Taman yang bernama Kadilengeng.

Yang tengah duduk dibawah pohon Nagasari, duduk diatas batu yang tertata rapi, itulah prameswari raja Astina, putri dari raja Mandaraka Prabu Salya, yang bernama Dyah Banuwati atau Banowati.

Bila diceritakan kecantikannya, maka tak ada kata kata yang sanggup menggambarkan. Dari pucuk rambut hingga ujung jari kaki, sedikitpun tiada cacatnya. Kulit kuning bagai sepuhan emas. Kenes serba pantas, menarik hati. Bila berbicara ceriwis, namun tetap pandai menata kata. Lirikan matanya dan senyum bibirnya, menampakkan aura yang menyinar. Dasarnya ia adalah wanita yang pandai mempadu padan busananya, maka tiadalah aneh, bila ia selalu menjadi buah bibir.

Jangankan golongan jelata atau lebih lagi para  satria, bahkan para raja pun banyak yang terpikat  akan kecantikannya. Ketika Dyah Banuwati masih belia hingga kinipun, sang Prameswari masih menjadi inspirasi kidung cinta. Panjang rambutnya ketika tertiup angin bagai melambai lambai merayu. Dadanya yang terlilhat padat berisi, siapapun yang melihat akan terpesona karena Sang Dewi adalah wanita yang pandai merawat diri dengan segala jejamuan yang menyebabkannya awet muda. Walau kini sang dewi menginjak sudah setengah umur, namun tetap, kecantikannya bagai berrebut dengan sinar rembulan.
Ketika itu, siang dan malam ia merasa prihatin dengan terjadinya perang Baratayuda Jayabinangun.

Keheranan sang dewi, ketika terbuka pintu taman, terlihat datangnya sang suami. Seketika ia bergegas menyambut kedatangannya, ia menghaturkan sembah sebelumnya, kemudian ia menggandeng tangan sang Prabu.

“Sembah bektiku kepada kakanda prabu”. Dengan senyum yang mesra disambutnya sang Prabu. Senyum yang mesra itu sebenarnya adalah senyum sandiwara, karena selamanya sang dewi tak kan pernah mencintai Prabu Duryudana.

“Ya! Kanjeng ratu, sembah bektimu bagiku, menjadikanku bagai tersiram sejuknya air pegunungan”. Prabu Duryudana juga tersenyum melihat istrinya menghaturkan sembah.

“Kenapa begitu bicara kakanda Prabu?” Sang Dewi seolah tak mengerti.

“Itu karena rinduku kepada kanjeng ratu telah memenuhi isi dadaku. Ketika aku melangkah ke peperangan, pisah dengan istri, mulailah rasa rindu itu tertimbun dihatiku”.

Dengan segala kejujuran hati, Prabu Duryudana menyampaikan rasa rindunya. Bila perang telah berhenti dan kesibukan mengatur lasykar sudah usai di hari hari kemarin yang melelahkan, yang tertinggal dalam benak sang Prabu selama ini adalah bayangan istri tercintanya.

Rasa cinta sang Prabu terhadap istrinya, Banuwati, tercurah habis kepadanya. Tetapi sebaliknya, bagi Dewi Banuwati, kenangan indah semasa muda bercengkerama dengan Permadi, Arjuna muda, membekas dalam dihatinya. Sehingga kawin paksa yang terjadi dengan Prabu Duryudana, tak pelak lagi menjadikan rasa penasaran yang tak kunjung terlampiaskan dan membuahkan sebuah janji serta selingkuh berkepanjangan.

“Kita kan sudah bukan lagi penganten baru, sudah berusia lebih dari tigapuluh tahun dan sudah berputra dewasa. Harusnya tidak lagi perasaan itu dimunculkan!”. Tukas sang dewi.

“Ya, terus terang saja  . . . . , rasa itu yang telah menggelayut dalam dadaku”. Jawab Duryudana terus terang.

Akhirnya Duryudana mengalihkan pembicaraan.

“Aku hendak menanyakan beberapa  hal. Pertama, sejak aku meninggalakan puraya agung ke peperangan, bagaimana keadaannya semua yang ada di Kedaton ini ?”.

“Para abdi saling bergilir berjaga jaga, tak ada yang melalaikan pekerjaanya”. Banuwati menjawab singkat.

“Sukurlah . Yang kedua, lalu bagaimana mengenai kesehatanmu ?”. Pertanyaan basa basi terlontar dari mulut Prabu Duryudana.

“Tetep sehat sehat saja. Tetapi bila menanyakan ketentraman hati hamba , pastilah tidak tenteram. Negara yang dalam ancaman pastilah berakibat pada ketenteraman batin hamba, sinuwun”. Jawaban basa basi membalas pertanyaan suaminya.

“Ya !”, jawab singkat Duryudana sambil mengangukkan kepalanya.

“Apakah perang sudah selesai sehingga paduka kembali ?”. Tanya Dewi Banuwati ketika sang Prabu terdiam sejenak.

“Nanti dulu. Yang Ketiga, kamu jangan kaget. Karena kanjeng ratu dan aku sendiri, telah kehilangan harta yang nilainya melebihi seluruh isi istana !.” Ragu Prabu Duryudana hendak mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.

Tak sabar Banuwati mengejar. “Sabda paduka yang tersirat demikian mohon dibuat terang saja, mengapa mengatakan hal yang mengandung perumpamaan seperti itu ?”

“Nanti dulu . . . . , akan aku pikirkan bagaimana caranya aku akan mengatakan kepadamu. Karana dalam hitungan, jangan jangan setelah aku mengatakan berita ini kepadamu, jangan sampai kanjeng ratu menjadi sakit bahkan meninggal. Kalau hal ini yang terjadi lebih baik aku yang menggantikannmu. . . .” Prabu Duryudana terdiam. Demikian juga istrinya yang makin penasaran, namun tetap memberikan waktu bagi suaminya. Dengan lirih akhirnya coba memulai dengan cerita yang hendak dipanjang panjangkannya.

“Yayi kanjeng ratu . . . , memang bukan kemauanku. Pesanggrahan anakmu yang  dikepung wadya penjaga yang jagaannya begitu sangat rapat. Tetapi apa sebabnya, Lesmana yang selalu dalam pandangan mataku. Tanpa ijin dariku, ia maju ke medan pertempuran”. Kemudian Prabu Duryudana terdiam lagi.

“Saya percaya, walaupun begitu Pandawa tak ada satupun yang tega membunuh Lesmana, terutama Arjuna. Kalaupun ia tega maka ia berarti tega terhadap “anunya” sendiri” !. Tak sabar sang Dyah Banuwati menyambar, sampai sampai ia menyerempet menyebut nama selingkuhannya.

“Aku tidak mengerti”. Pura pura tak mengerti Duryudana menjawab dengan tidak senang.

“Anunya itu, artinya keponakannya sendiri”. Banuwati berkilah sekenanya. Pikirnya, diketahui suaminyapun, ia tak akan berani memarahi. Ia mengetahui benar, bahwa Duryudana  adalah tipe suami takut istri.

“Tapi ini beda dengan pengharapanmu, Lesmana bukan bertanding dengan Arjuna”. Pelahan Duryudana memberi penjelasan

“Lalu siapa ?”. Tak sabar Banuwati hendak mencari tahu.



 “Ketika itu ia bertanding dengan Abimanyu. Sewaktu ia berada di peperangan ia mendekati Abimanyu dengan membawa pusakanya kyai Kokop Ludira. Namun ia kalah cepat, ia terkena pusaka Abimanyu. Hari itu anakmu gugur di medan peperangan !!”.

Bersiap Duryudana hendak menangkap istrinya yang dikira akan kaget atau jatuh pingsan, atau lebih jauh lagi akan terhenti detak jantungnya. Namun apa yang terjadi, ia cuma memandang dengan tatapan kosong, termangu, malah sejenak kemudian ia menyalahkan anak dan suaminya.

“Jadi anak selalu semaunya sendiri, bertindak tanpa ijin dari orang tua, ya begitulah jadinya !”.

Terheran Duryudana, sambil menggelengkan kepala, ia bergumam “Dikabari anaknya mati bukannya sedih, susah,  malah tidak kaget sama sekali . . . . .”.
“Apakah susah dan sedih harus dipamerkan?  Kejadian seperti itu bukan salah Lesmana tetapi salah paduka, kalau hamba boleh mengatakan!”. Jawab Banuwati ketus.

“Salahku ada dimana?” Dikerasi istrinya, Duryudana melembek.

“Paduka itu kurang waspada sinuwun”, kali ini ia menyalahkan suaminya.

“Baratayuda bukan perang yang hanya memperhatikan orang seseorang, selain harus menjaga diriku sendiri, aku juga harus bertanggung jawab atas keselamatan semua, tanggung jawab  ada pada pundakku . Dan aku tidak menyangka, bahwa ia berani beraninya maju ke peperangan !”. Ia memberikan alasan.

“Ya itulah, kenapa Lesmana tidak menerima perintah paduka ! ”. Kembali Banuwati menyalahkan anaknya.

“Begitukah ?” Bingung Prabu Duryudana menghadapi keadaan ini.

“Penyesalanku, sedihku, itu harus berdasarkan apa ?” Kembali Banuwati mempertanyakan hal mengapa ia harus menyesal. “Bila ia tunduk dan patuh kepada orang tuanya, makanya tidaklah aku harus menyesal. Hidupnya Lesmana kebanyakan menambah nambah rasa malu, tak ada lain !”.

Kekesalan Banuwati mulai mengungkit ungkit peristiwa lama. “Berapa kali ia gagal menikah? Berapa kali …..? Apakah itu namanya tidak memalukan orang tua…. ? Jadi anak kok begitu sialnya !, yang ditiru itu siapa sih sebenarnya ?!”

Tak mau berlarut larut dalam ketegangan, Duryudana mengalihkan perhatian. “Tetapi ada sebagian yang membuatku bangga,  tidak ada yang melebihi kebanggaan itu. Matinya juga membawa kematian si Abimanyu !”.

Kali ini justru Prabu Duryudana menjadi bertambah heran, terperangah dengan peristiwa yang ada dihadapannya. Dewi Banuwati yang diberitahu kematian Abimanyu malah menangis tersedu sedu. Maka, setengah menggumam, ia menumpahkan rasa herannya.

“Aneh sekali, aneh sekali kejadian ini. Dikabari anaknya, Lesamana, mati, marah marah kepadaku, menyalahkan Lesmana. Tetapi dikabari Abimanyu tewas, kamu malah menangis sesenggrukan….. !”

Setelah beberapa saat didiamkan dalam tangisnya oleh Prabu Duryudana, Banuwati menjawab disela sela sedunya. “Kalau Lesmana mati kan hanya saya dan paduka yang bersedih. Tetapi kalau Abimanyu yang tewas pastilah banyak orang yang ikut  merasakan sedihnya. Seperti Arjuna, aku membayangkan betapa ia kehilangan, bagaimana sikapnya. Yang kedua adalah Wara Subadra, ia telah kehilangan anak nya yang tunggal, belum lagi istri istrinya Siti Sundari dan Utari. Padahal Eyang Utari sedang mengandung, bagaimana rasanya dia.”

Setengah sugal, Duryudana menjawab. “Itu bukan urusanku . . . . !, itu bukan perkaramu !. Abimanyu isrinya dua atau selusinpun, masa bodoh amat !!
“Ternyata rasa cintamu itu telah berpaling . . . . ! “

Kali ini Prabu Duryudana yang marah marah,“Siang malam tak ada gunanya aku menyellimutimu dengan sutra. Aku basuh kakimu dengan air mawar, makan aku ladeni minum aku bawakan, dimanja setinggi langit, aku jaga bagai jimat. Tetapi apa yang terjadi, apakah dasarnya kamu memprihatinkan musuh ?”.
“Hamba manusia juga sinuwun”. Mencoba berkilah Banuwati.

“Ya memang !”. Tak senang dengan jawab istrinya, prabu Duryudana menyahut sekenanya.

“Kalau manusia  itu harus menggunakan rasa kemanusiaan !”. Namun yang terjadi justru sang Dewi yang meneruskan kalimatnya.

Makin tak senang , ditantangnya istrinya berdebat. “Yang tidak mempunyai rasa kemanusiaan itu aku atau Pendawa ?”

“Paduka berkata begitu itu atas dasar apa ?!” yang diajak berdebat malah makin galak.

“Tidak lah aneh kalau Pandawa itu mengerti bahwa Kurawa itu adalah saudara tuanya. Kalau manusia yang masih waras harusnya ingat itu !. Bisma itu gurunya, itupun Pandawa berani membunuhnya !”.

“Jelas, Bisma itu mengikut Kurawa ! Tapi begitu aku melihat gugurnya satria tiga, Seta, Utara dan Wratsangka, yang pernah dingengeri, yang memberi tumpangan ketika ia telah selesai menjalankan pembuangannya selama duabelas tahun, menjadi pengemis sudra. Dihidupi oleh orang Wirata, tetapi akhirnya ia membalasnya dengan mengorbankan orang-orang yang telah berbuat baik. Itulah tandanya bahwa ia adalah orang orang yang terbuang sebenar-benarnya !”

“Pandawa sudah bagaikan hewan hutan yang lapar, yang hendak memakan tuannya !”.

Diungkitnya kejelekan Pandawa dari sudut pandangnya sendiri.

“Sinuwun, apakah aku diperkenankan mengatakan sesuatu kembali ?” Disalahkan para Pandawa yang menjadi pujaan hatinya, panas hati Dewi Banuwati.
Dengan ketus Prabu Duryudana menjawab. “Boleh saja, tetapi aku tidak mau kau kalahkan !”. beringsut Prabu Duryudana, dan kemudian berdiri mendekati jendela. Panas hati dan suasana telah memaksanya mencari semilirnya sejuk angin.

“Hamba  tak mau mengalahkan sinuwun ! Tetapi bila Pandawa dikatakan telah kehilangan rasa kemanusiaan apakah memang begitu semestinya ?! “ Jawab Banuwati dengan nada tinggi.

“Memang begitu !” kembali ketus jawaban Duryudana.

“Yang tipis rasa kemanusiaanya sebenarnya adalah paduka sendiri !”. Jawab Banuwati terus terang
.
“Perkara yang mana ?” kembali tanya Duryudana dengan pandangan yang tajam.

Makin meruncing pertengkaran, tetapi sang istri semakin berani menyampaikan rasa yang tersimpan dalam di lubuk hatinya.
“Tetapi sebenarnya hamba  agak takut  mengatakannya dan ini adalah sebuah rahasia. Sudah lama hamba menahannya tetapi lama kelamaan sudah tidak kuat lagi menahannya. Saya mengatakannya sekarang juga !”.

“Tunggu apa lagi, katakan !” Duryudana mempersilakan istrinya kembali membuka isi hatinya.

“Sebenarnya yang tipis rasa kemanusiaannya adalah paduka sendiri. Kalau dalam lubuk hati paduka yang paling dalam mengatakan, seharusnya yang bertahta di Astina itu Pandawa atau Kurawa ! Namun kapankan Pandawa itu menagih haknya ?.

Tidak pernah ! Bahkan mereka mampu membuat negara dari keringatnya sendiri, Negara Amarta !. Pandawa tidak diberikan secuwilpun tanah Astina. Tapi mereka selalu diusahakan untuk selalu disengsarai, difitnah. Akhirnya dengan dalih permainan dadu, Astina dan Amarta dijadikan taruhan dan para Pendawa diusir paksa, sehingga mereka menjadi manusia hutan selama bertahun tahun. Jadi yang tipis rasa kemanusiaannya itu sebenarnya Pendawa atau Kurawa ?!”
Bagai bendungan yang jebol, segala unek unek ditumpahkan dihadapan suaminya. Dalam hati, inilah saatnya, selagi ia ditantang untuk terus terang.

“Aku tidak peduli . . . . . ! Aku – tidak – peduli . . . ! ” jawab Duryudana tandas.

“Silakan sinuwun mengatakan !” kali ini Sang Dewi yang menantang.

“Perkara permainan dadu, kamu jangan menyalahkan aku. Dimanapun yang namanya permainan pasti tidak ada yang mau kalah !”.

“Itu bab permainan dadu. Lalu bagaimana mengenai negara Astina itu ?!” Saling bantah makin seru.

“Mereeka  tidak becus mengurus negara. Sudah terlalu lama mereka  bergaul dengan segala macam binatang hutan !”. Alasan sekenanya disampaikan, berharap ia tak diserang lagi.

Namun kembali ia dicecar pertanyaan.

“Itu kan waktu setelah pembuangan di hutan ! Bagaiman mengenai sebelum itu ?”

“Itu salah mereka, mengapa mereka tiada pernah meminta negara Astina !”. Jengkel Prabu Duryudana dengan tarik urat yang berlarut larut.

“Itu namanya paduka seperti mengulum madu, terasa manis, hingga tak hendak melepehnya. Sinuwun kalaupun kata kataku sebagai istri, sebagai belahan jiwa,  tak ada satupun yang hendak diperhatikan, bila demikian halnya, silakan hamba  dikembalikan saja ke Mandaraka”. Tak lagi hendak berlarut larut bertengkar, sang Dewi menantang.

“Baik . . . , kapan ?!” Keceplosan kata, sang Prabu menerima tantangan istrinya..

“Ketimbang aku melihat runtuhnya negara Astina atas angkara murka paduka, sekarang juga lebih baik segera pulangkan hamba ke Mandaraka !.” jawab senang Banuwati

“Kamu menantang ?!” gertak Prabu Duryudana.

“Sukurlah bila kehendakku paduka laksanakan !”

Berbalik badan Banuwati hendak pergi dari hadapan suaminya. Tetapi langkahnya tertahan oleh cengkeraman tangan sentosa Prabu Duryudana dilengannya.
Sadar apa yang dilakukan, Prabu Duryudana kemudian ia mengendurkan pegangannya. Katanya memelas.
“Mau kemana ?”

“Bukankan sinuwun sudah mengatakan, bahwa sinuwun merelakan saya kembali ke Mandaraka ?!” masih dengan setengah marah dan nada merajuk, Banuwati  bertanya balik.

Jurus bujuk rayu diterapkan oleh sang Prabu, agar sang Dewi tetap berada di istananya, Kadilengeng, tempat ia memanjakan istrinya setinggi langit, Itulah kenyataannya, di kedalaman hatinya, seluruh jiwa, rasa dan raga serta cinta buta Prabu Duryudana mengatakan, tak ada wanita lain yang sanggup menggantikan keberadaan istri yang cantik molek itu.

Tak kasat mata, bagaimanapun jerat kecantikan Banuwati telah mencengkeram Sang Prabu hingga ke tulang sungsumnya, jauh melebihi kekuatan cengkeraman, tangan sentosa Duryudana . . . . .

Seri Lengkap Bharatayuda, masuk SINI.

Posting Komentar untuk "Ricuh juga di Kadilengeng"