Mahalnya sebuah harga diri
Kembali kita ke taman Kadilengeng. Siang belum lagi menjelang,
Dewi Banowati mencoba menyenangkan hati dengan berjalan jalan ditaman
sari. Taman yang jalur jalannya lajur demi lajur dihampar batu akik
hijau merah biru putih dan keemasan. Diterpa sinar matahari yang belum
naik sempurna memancarkan sinar semburat bagai warna pelangi. Disuatu
tempat yang menjadi kesukaannya, sang Dewi duduk diatas batu marmer
putih mengkilap yang direka pokok kayu. Terpesona sang Dewi memandang
taman yang asri itu dengan berbagai macam tanaman. Tanaman hias dalam
jambangan yang ditata teliti, berpasang pasang, serasi warnanya dengan
paduan bunga bunga yang harum mewangi. Tidak hanya dalam jambangan,
bunga bunga perdu juga menghias hamparan taman bergerombol disela sela
rumput lembut.
Bertambah indah suasana taman dengan terbangunnya rekaan telaga yang berair biru bening dengan berbagai macam ikan warna emas, merah, putih dan warna tembaga yang ditebar. Bila diterpa sinar matahari, seakan ikan ikan itu bagaikan bintang bintang malam yang saling bertukar tempat.
Tersenyum puas sang Dewi dengan kerja para abdi dalem yang setiap waktu memelihara dengan penuh cinta. Sejenak ia melupakan keresahan hati memikirkan perang yang belum juga usai. Resah hati yang membawanya setiap malam membakar sesaji dengan pedupaan yang bertumpuk tumpuk. Dalam setiap pemujaan sang Dewi selalu berharap, agar segeralah selesai perang yang sedang berkecamuk. Untuk kemenangan siapa, hanya Dewi Banowati saja yang tahu.
Belum puas Sang Dewi menikmati indahnya suasana, kali ini ia kembali kaget dengan kedatangan adik iparnya, Raden Dursasana. Ketika diketahui yang datang adalalah adik ipar yang tidak ia senangi, yang bertingkah laku mirip dengan adiknya sendiri, Burisrawa, setengah malas ia melambaikan tangannya agar iparnya itu segera mendekat. Dursasana segera menyampaikan sembahnya, kemudian duduk dengan takzim.
Terheran Dewi Banowati dengan kedatangan adik iparnya bergantian dengan suaminya yang hari hari kemarin datang. Dalam hatinya ia bertanya, ada kejadian apa lagi di peperangan. Siapa lagikah korban peperangan yang hendak dilaporkannya. Mudah mudahan hati ini kuat mendengar apapun yang terjadi. Atau ada sesuatukah yang sangat perlu, hingga adik iparnya yang dikenal sebagai manusia yang penuh kekerasan meninggalkan peperangan yang keras itu, tetapi malah datang ke taman sari. Tempat indah penuh kelembutan. Seribu tanya ia simpan sejenak.
Basa basi sang Dewi bertanya, “Baik baik sajakah kedatanganmu, adikku ?”.
“Sembah hamba kehadapan kakanda Banowati”. Dursasana menghaturkan baktinya.
“Apakah perang sudah selesai ?” tak sabar sang Dewi ingin mengetahui apa yang terjadi.
Dursasanapun mulai mengawali menceriterakan kenapa ia diminta untuk kembali ke istana.
“Pertama, kami mengabarkan kepada kanda Dewi, bahwa adik paduka Arya Burisrawa telah tewas dalam peperangan”.
Dewi Banuwati kembali hanya terdiam sesaat, seperti yang pernah terjadi ketika putranya, Lesmana Mandrakumara, tewas. Ia hanya melihat kedepan dengan tatapan kosong, tak ada rasa sedih yang terbersit dari wajahnya.
Banuwati dan Burisrawa, walaupun kakak beradik, dan pada kesehariannya keduanya sering bersama ada di Astina. Tetapi keduanya tidaklah seperti kakak beradik yang dekat dihati satu sama lain. Banuwati malah lebih dekat kepada adiknya yang jauh, dan lebih senang bersama ayah ibunya di Mandaraka, Arya Rukmarata, yang kini juga telah tewas.
Sama seperti adik iparnya, Dursasana, Burisrawa adalah manusia yang liar dan cenderung ugal ugalan. Kesamaan itu yang membuat Burisrawa dekat dengan Dursasana. Mereka hanya renggang bila Burisrawa sudah bosan dengan suasana resmi istana, dan kabur ke hutan hingga berbulan bulan, baru ia kembali lagi ke Astina. Apalagi setelah Burisrawa gagal mempersunting Wara Sumbadra kala itu, hingga ia bersumpah, tak akan ia pulang ke Mandaraka, bila ia belum bisa mempersunting dewi impiannya yang gagal, atau memperistri wanita yang mirip dengan Sumbadra, seperti yang pernah diceriterakan.
Akhirnya setelah diam sebentar, kata pasrahlah yang terucap dari bibir Banuwati “Perang
itu, kalau tidak kalah ya menang. Kalau tidak membunuh, ia akan
dibunuh. Kalau Burisrawa terbunuh, itu adalah bagian dari kodrat perang
itu sendiri”Bertambah indah suasana taman dengan terbangunnya rekaan telaga yang berair biru bening dengan berbagai macam ikan warna emas, merah, putih dan warna tembaga yang ditebar. Bila diterpa sinar matahari, seakan ikan ikan itu bagaikan bintang bintang malam yang saling bertukar tempat.
Tersenyum puas sang Dewi dengan kerja para abdi dalem yang setiap waktu memelihara dengan penuh cinta. Sejenak ia melupakan keresahan hati memikirkan perang yang belum juga usai. Resah hati yang membawanya setiap malam membakar sesaji dengan pedupaan yang bertumpuk tumpuk. Dalam setiap pemujaan sang Dewi selalu berharap, agar segeralah selesai perang yang sedang berkecamuk. Untuk kemenangan siapa, hanya Dewi Banowati saja yang tahu.
Belum puas Sang Dewi menikmati indahnya suasana, kali ini ia kembali kaget dengan kedatangan adik iparnya, Raden Dursasana. Ketika diketahui yang datang adalalah adik ipar yang tidak ia senangi, yang bertingkah laku mirip dengan adiknya sendiri, Burisrawa, setengah malas ia melambaikan tangannya agar iparnya itu segera mendekat. Dursasana segera menyampaikan sembahnya, kemudian duduk dengan takzim.
Terheran Dewi Banowati dengan kedatangan adik iparnya bergantian dengan suaminya yang hari hari kemarin datang. Dalam hatinya ia bertanya, ada kejadian apa lagi di peperangan. Siapa lagikah korban peperangan yang hendak dilaporkannya. Mudah mudahan hati ini kuat mendengar apapun yang terjadi. Atau ada sesuatukah yang sangat perlu, hingga adik iparnya yang dikenal sebagai manusia yang penuh kekerasan meninggalkan peperangan yang keras itu, tetapi malah datang ke taman sari. Tempat indah penuh kelembutan. Seribu tanya ia simpan sejenak.
Basa basi sang Dewi bertanya, “Baik baik sajakah kedatanganmu, adikku ?”.
“Sembah hamba kehadapan kakanda Banowati”. Dursasana menghaturkan baktinya.
“Apakah perang sudah selesai ?” tak sabar sang Dewi ingin mengetahui apa yang terjadi.
Dursasanapun mulai mengawali menceriterakan kenapa ia diminta untuk kembali ke istana.
“Pertama, kami mengabarkan kepada kanda Dewi, bahwa adik paduka Arya Burisrawa telah tewas dalam peperangan”.
Dewi Banuwati kembali hanya terdiam sesaat, seperti yang pernah terjadi ketika putranya, Lesmana Mandrakumara, tewas. Ia hanya melihat kedepan dengan tatapan kosong, tak ada rasa sedih yang terbersit dari wajahnya.
Banuwati dan Burisrawa, walaupun kakak beradik, dan pada kesehariannya keduanya sering bersama ada di Astina. Tetapi keduanya tidaklah seperti kakak beradik yang dekat dihati satu sama lain. Banuwati malah lebih dekat kepada adiknya yang jauh, dan lebih senang bersama ayah ibunya di Mandaraka, Arya Rukmarata, yang kini juga telah tewas.
Sama seperti adik iparnya, Dursasana, Burisrawa adalah manusia yang liar dan cenderung ugal ugalan. Kesamaan itu yang membuat Burisrawa dekat dengan Dursasana. Mereka hanya renggang bila Burisrawa sudah bosan dengan suasana resmi istana, dan kabur ke hutan hingga berbulan bulan, baru ia kembali lagi ke Astina. Apalagi setelah Burisrawa gagal mempersunting Wara Sumbadra kala itu, hingga ia bersumpah, tak akan ia pulang ke Mandaraka, bila ia belum bisa mempersunting dewi impiannya yang gagal, atau memperistri wanita yang mirip dengan Sumbadra, seperti yang pernah diceriterakan.
Mahfum dengan watak kakak iparnya, Dursasana kembali melanjutkan, “Yang kedua, adikmu diutus kanda Prabu, untuk kembali ke istana”.
“Dan hal inilah yang saya tidak mengerti, kenapa saya sebagai pangeran sepuh yang sekarang dijadikan pangeran pati sekaligus, harus disingkirkan, dan harus dikembalikan ke istana. Terus terang saja, kali ini saya ditugaskan oleh kakanda Prabu, untuk menjagai keberadaan paduka kanda Banowati”.
“Kalau begitu, kanda Prabu sebenarnya sedikit banyak mempunyai rasa curiga terhadap aku, begitukah ? Banuwati mulai kesal dengan apa yang sebenarnya terjadi. Pikirnya, apakah ini buntut dari kericuhan kemarin ketika suaminya datang ?
“Ya, kira kira begitu. Saya juga tidak pernah bertanya lebih jauh kepada kanda Prabu, karena saya ini apalah. Hanya sebagai adiknya dan hanya sebagai abdinya. Dititahkan apapun hamba tidak akan sanggup menolak”. Dursasana sudah mulai jengah. Inilah suasana yang sudah ia ia bayangkan sebelumnya. Suasana yang paling tidak senangi, bergaul dengan wanita, apalagi wanita itu adalah kakak iparnya yang walau cantik, namun dimatanya ada sinar yang warna cahayanya sebagai sorot warna ndaru braja, komet berracun. Hal inilah yang membuat Dursasana menjadi serba salah duduknya. Bergeser geser mencari posisi yang enak, namun tak juga ia menemukan posisi duduk yang nyaman. Gerah rasa seluruh tubuhnya, walau angin pagi masih tersisa bertiup membawa uap embun yang baru saja kering. Tak urung keringat sudah membasahi seluruh tubuhnya.
“ Menungguiku, apaku yang ditunggui. Katakan ! Kamu itu jadi seorang satria kok begitu bodoh, begitu dungunya ! “ berubah menjadi galak Dewi Banuwati. Suasana indahnya taman sudah hilang dari perasaannya.
“Apa sebabnya, saya yang hanya diperintah, kenapa saya dibodoh-bodohkan, didungu dungukan. Silakan kanda Dewi menjelaskan . . ” Dursasana menyabarkan diri. Mungkin bila ini bukan istri kakaknya ia sudah berdiri marah atau bahkan tangannya sudah melayang. Tabiat Dursasana yang tidak sabaran sebenarnya sudah mencapai ambang batas kekuatan menahan, namun rasa hormat kepada kakak sulungnya, tak pelak lagi mengorbankan habis sifat urakan yang menjadi ciri dari lahir. Bahkan gerakan tangannya yang biasanya tak pernah diam seakan terkunci ketat erat.
“Sebenarnya kamu itu sedang dicoba oleh kakakmu itu. Satria itu seharusnya berperang. Tetapi kakakmu mengatakan kamu harus kembali ke istana. Kenapa kamu menerima perintah itu dengan begitu lugunya. Apakah itu bukan dikatakan sebagai satria bodoh yang penakut dan jeri akan tumpahnya darah !”
Menuding nuding sang Dewi sambil bangkit dari duduknya dan berkacak pinggang. Panas hatinya dicurigai akan berbuat yang tidak tidak.
“Bukan itu kanda Dewi, yang memerintah tidak salah, yang diperintah juga tidak salah. Tetapi kenapa hamba yang diperintah dimarahi seperti ini ? Tapi terus terang kemarahan ini menjadi bahan pelajaran dimasa datang. Dan takut hamba terhadap kemarahan paduka kanda Dewi, hamba lebih takut akan kemurkaan kanda Prabu Duryudana”. Masih mencoba sabar Dursasana. “Dan bila hamba disuruh maju perang, maka betapapun saktinya lawan, akan hamba laksanakan titah kanda Prabu dengan senang hati”.
“Duh . . Sumbarmu ! Seperti bisa memecahkan balok besi, menjilat panasnya besi membara ! Sinis dewi Banawati berkata.
“Dapat hamba buktikan ! Bila kanda Dewi mengatakan hamba ini satria bodoh yang takut perang, hal itu adalah sebaliknya. Dan bila hamba diperintah untuk menjagai wanita, yang terjadi sebenarnya adalah . . . . . , kanda Prabu itu orang yang kelewat sabar . .”. Berhenti sejenak Dursasana ragu mengatakan, namun sejurus kemudian ia melanjutkan. “Tidak ada orang yang sabar didunia ini melebihi kanda Prabu. Walaupun di istana ini sebenarnya terdapat tanaman yang sangat berbisa, yang selalu tumbuh dan tumbuh dengan subur, yang pada akhirnya akan membuat gatal orang senegara. Tapi karena besarnya cinta kanda Prabu terhadap tanaman itu, maka yang terlihat, hanya bentuk dan rupanya yang cantik saja, sementara bisa racunnya tidak dihiraukan . . . “.
Kamu mengatakan begitu, aku ini kamu anggap apa ? bagaikan mendidih, darah diubun ubun dewi Banuwati, yang merasa dikenai hatinya.
“Nanti dulu . . , kalaupun hamba mengatakan perumpamaan terdapat tanaman berbisa yang dipelihara kanda Prabu, terus terang saja kanda Banowati, yang sebagai istri kanda Prabu, sebenarnya, paduka kanda Dewi tidak cinta lahir batin kepada kanda Prabu Duryudana. Kalau dilihat sepintas, perilaku kanda Dewi terhadap kanda Prabu itu seperti cinta yang sebenar benarnya. Tetapi hal itu hanya terhenti dalam tata lahir, dan dalam hati kanda Dewi yang sebenarnya, orang dinegara Astina ini sudah tahu semuanya. Termasuk hamba sendiri”. Keterus terangan Dursasana makin menjadi-jadi, ia memuntahkan seluruh isi hatinya. Ia melampiaskan belenggu rasa yang dari tadi menjerat erat
“Bagaimana ? Apa yang kamu ucapkan tadi itu, dihatiku cinta sama siapa ?” Banuwati menantang. Walaupun jawaban yang akan diucapkan oleh adik iparnya itu sebenarnya dirasa mudah untuk ditebak jawabannya, tapi ia masih hendak mencoba mencocokkan dengan perkiraannya.
“Terus terang tadinya hamba tidak akan mengatakan sampai kesitu, tapi karena kanda Dewi sendiri yang menantang, akan hamba buka yang sebenarnya terjadi. Kanda pasti tahu, sesuatu yang tersimpan dihati kelamaan akan menjadi penyakit, sekarang sebaiknya hamba keluarkan unek unek dihati hamba”.
Dibawah sorot mata tajam kakak iparnya ia melanjutkan curahan isi hatinya. Terlanjur basah, mandi sajalah sekalian, pikirnya. Masalah ada aduan yang sampai kepada kakak sulungnya, itu soal nanti. Sekarang sekarang, nanti ya nanti. Kebiasaannya dalam berpikir pendek, menjadikannya ia meneruskan kata katanya dengan lancar.
“Saya memperhatikan setiap kali ada perang tanding antara Kurawa dan Pandawa, bila ada warga Pandawa yang menang, paduka bergembira dengan membagi bagikan hadiah kepada abdi dalem dan siapapun. Itu salah satu buktinya. Sebaliknya ? Contoh terakhir, ketika putra Paduka, Lesmana Sarojakusuma tewas, paduka menyalahkan kanda Prabu dan putra paduka sendiri, tetapi ketika Abimanyu yang tewas, paduka menangis histeris. Itu kejadiannya !
Maka pada setiap semedi, paduka kanda Dewi selalu memohon dewata, kapan kiranya Baratayuda berakhir dan Kurawa kalah serta musnah. Dengan demikian kanda Dewi dapat segera melaksanakan keinginan kanda Dewi untuk menjadi keset Arjuna. Iya kan ? Habis sudah, tumpah ruah segala kesah hati Dursasana tercurah.
“Keparat kamu Dursasana ! Kamu megucapkan sesuatu tanpa perhitungan. Ketahuan kamu sebagai satria yang takut darah, malah menguak rahasia orang lain. Kalau memang kamu sebagai satria sejati, dan kalau aku diberi wewenang untuk menjagokan, kamu aku adu dengan Arjuna, berani kamu ? Habis kesabaran Banuwati. Kebanggaanya akan Arjuna dimunculkan dengan tidak malu malu lagi.
“Jangankan Arjuna, Pendawa lima maju bersama tak akan hamba mundur sejangkah !” Kembali Dursasana sesumbar. Panas hatinya sudah semakin membakar perasaannya. Bahkan tempat yang didudukinya sudah terasa bagai beralaskan paku membara.
“Sumbarmu ! Tetapi kamupun bisa menang bila aku adu kamu dengan Arjuna, bila sudah terjadi kodok memakan liang nya !” Banuwati yang sudah terkena dengan telak isi hati dan kelakuan dibelakang suaminya serta bosan dengan kericuhan yang terjadi segera berbalik badan meninggalkan Dursasana yang tertawa senang sekaligus panas hatinya karena kata kata kakak iparnya.
Berdiri Arya Dursasana, setelah ditinggalkan Banuwati, lega rasanya seakan ia sudah terbebas sangkar yang mengurungnya. Dipandanginya kepergian Banuwati dengan berkacak pinggang dan muka yang ditengadahkan. Puas tetapi panas.
“Kena kamu Banuwati ! lagakmu seperti orang yang suci, tidak menengok ke tengkuk sendiri menuduh orang yang tidak tidak. Aku buka rahasiamu, mencak mencak seperti orang kalap. Kamu anggap aku ini apa ? Kalau kamu bukan istri kakakku sudah aku . . . . . . . Huhh . . ! Apakah aku kelihatan seperti orang yang bergelung malang dengan bibir berpoles gincu, diberi bedak tebal mukaku dan dipakaikan kemben tubuhku ? Lihat apa yang akan aku lakukan untuk membuktikan kata kataku.
Hari ini tak usah aku meminta ijin dari kanda Prabu, akan aku penggal kepala Arjuna, sekaligus semua saudaranya”. Panas hati Dursasana
membawa keputusannya untuk kembali melangkah ke hamparan padang Kuru.
Seri Lengkap Bharatayuda, masuk SINI.
Posting Komentar untuk "Mahalnya sebuah harga diri"